Share

Konferensi Bawah Tanah

Kalian gila! Itu operasi bawah tanah yang berbahaya. -Peserta Konferensi, Pejabat Pemerintahan-

Kamu memiliki daya analisis tinggi dan ingatan yang tajam. Maksimalkan semua inderamu. Lihat, dengar, raba dan rasakan aura sekitarmu. Perhatikan dengan seksama. Itu penting untuk hidup kita selanjutnya, mungkin juga berguna bagi orang banyak. -The Director (Grissham Aaron)-

                                 ~○0○~

Sebuah ruangan semacam ball room luas menyambut kami. Ruangan ini sama sekali kontras dengan suasana mencekam dalam lorong yang terhubung ke sini. Tempat yang elegan dan futuristik, pendingin ruangan menyala dengan baik serta pencahayaan yang maksimal. Aroma vanilla bercampur wangi manis yang ringan sangat menenangkan syaraf, apalagi mengingat selapa bertahun-tahun yang kucium hanyalah bau alkohol gosok serta beberapa jenis obat-obatan lainnya.

Lantai keramik tanpa motif berwarna caramel yang mengkilap memantulkan bayangan langit-langit atap dengan plafon berundak yang ditengahnya dihias dengan lampu kristal modern yang glamour. Satu set sofa siku panjang berwarna green tea yang biasa ditaruh di ruang tamu menghiasi sudut barat. Di atas meja kaca bagian tengah dengan taplak berornamen itu terdapat bunga hidup yang tumbuh di sebuah vas mini. Dinding sebelah barat berlapis background vintage yang simpel dan manis. Lukisan dan pernak-pernik yang menghiasi dinding juga cukup eye catchy, hal aneh yang cukup menarik bagiku adalah ada mesin otomatis di tempat seperti ini. Ini aneh.

Kami berjalan lurus melalui beberapa ruangan, di ujung lorong kami berbelok dan masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di sana. Sebuah pintu dengan menggunakan sensor panas tubuh terbuka ketika Direktur berada sudah berada setengah meter dari pintu. Mereka semua ada di sini, mata dan telinga Direktur di seluruh lini pemerintahan Metanesia. Lalu untuk apa kita membuang-buang waktu di tempat ini. Pria tua ini, dasar! Aku tak mengerti jalan pikirannya yang kadang berbelit-belit.

“Kita tak akan pernah siap. Ini akan menjadi pembunuhan massal.” Salah satu menteri negeri Metanesia angkat bicara dengan raut memucat.

Sejak awal, mereka tak pernah menganggap virus ini sebuah ancaman lebih serius dari pada ancaman pergeseran kursi politik dari oposisi. Sudah puluhan kali tenaga ahli di bidangnya mengingatkan jajaran elit negeri Metanesia. Orang-orang ini, apakah merasa lebih hebat dari pada ahli virologi? Virus bukanlah sejenis makhluk yang mampu membaca kondisi ekonomi-politik sebuah negeri. Omong-omong, aku lebih suka menyebutnya prototype berprotein alih-alih sebuah makhluk.

Jadi sebenarnya, apa pun keputusan mereka bagiku tak ubah hanya sebuah lawakan yang hanya mengenyangkan ego segelintir orang. Kini, makan saja semua lawakan sosial-politik-ekonomi itu, mari ikuti permainan seleksi alam. Siapa yang tak mampu bertahan, akan menjadi tumbal. Lagipula, sejak awal virus ini menyebar dan berkembang Direktur sudah mengincar benda itu dan vaksinnya sebagai pohon uang selanjutnya yang akan terus berbuah.

“Tutup semua akses, isolasi yang sudah terpapar, karantina semua penduduk. Ini akan sedikit menekan ledakan yang mungkin terjadi.” Salah seorang petinggi Metanesia berkata tegas.

Aku tahu sosok itu, wajah itu jelas tidak asing, orang nomor satu di Kota Metropol, Ibukota negeri ini. Pusat pemerintahan Negeri Metanesia yang diprediksi pula menjadi pusat penyebaran pertama virus Scarlett, salah satu dari sekian banyak pejabat pemerintahan yang masih mampu berpikir jernih.

Tentu saja dia akan mengambil tindakan itu, jika aku menjadi gubernur di kota itu pun, akan kulakukan hal senada. Insting peneliti memberi alarm keras di kepala, bahwa setelah konferensi sinting ini, badai besar segera menghempas Ibukota, sedangkan insting pengintaiku mengatakan akan ada permainan menarik di balik wabah yang tengah tersebar. Bisa dipastikan pula bahwa kami -jajaran medis-, sudah tentu menjadi komoditi relawan siap mati. Ya, nyawa mereka akan digadaikan sebagai tumbal kapitalisme yang ironinya berkedok pengorbanan dan profeaionalisme. Orang-orang yang menjadi boneka kayu bagi sekumpulan manusia lain, bukankah hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme.

“Kamu gila! Menutup semua akses? Kita akan habis. Tinggal menunggu hari untuk inflasi. Itu tak akan terjadi. Tidak bisa!” Tuan Gatta, salah satu pemilik perusahaan multinasional yang juga termasuk dalam jajaran pejabat elit pemerintahan di Negeri Metanesia.

Ini forum penting yang dihadiri oleh puluhan petinggi negeri Metanesia dan entah apa alasan pria tua berpenampilan parlente ini justru memintaku menjadi pendampingnya dalam konferensi kali ini. Mendengar mereka bicara berbuih-buih sungguh menjenuhkan, apa pun yang mereka katakan, semua tak lebih dari retorika tanpa dasar. Aku sudah akan menguap di menit-menit pertama mereka mulai berbicara, jika tidak mengingat reputasi diri dan Medica Center berada di atas pundakku, maka aku sudah tidur di setengah jam pertama konferensi lalu berlalu keluar di setengah jam berikutnya. 

“Ini semua gak ada gunanya. Sebenarnya, ngapain kita diundang ke sini, sih? Jadi penonton parodi? Kita pulang, Direktur.” Setengah berbisik kuutarakan pendapat pada pria bertubuh atletis itu.

Panas rasanya telinga ini mendengar perdebatan mereka, bahkan tak seorang pun di ruangan ini yang terlihat hendak mempersilakanku untuk memberi penjelasan ilmiah atau sekedar didengar argumennya. Bukankah seharusnya urusanku hanya sebatas berada di balik mikroskop dan zat-zat kimia laboratorium saja. Ini sungguh di luar perjanjian, aku harus meminta imbal balik yang lebih banyak untuk waktu yang terbuang-buang di tempat ini.

Menjadikan -pria malang berwajah tampan- ini peneliti khusus berkedok dokter spesialis apakah belum cukup baginya? Sekarang, dia ingin aku belajar ilmu politik juga. Ya Tuhan, tolong ingatkan aku untuk meminta gelar nobel Einstein dicopot.

Direktur hanya tersenyum kecil mendengar keluhanku. Tatapannya masih tetap awas, sorot mata itu tajam dan tenang mengamati satu demi satu pembicara. Sesekali menyapukan pandang pada para peserta konferensi.

“Tutup mulutmu, Lang, dan perhatikan mereka. Kita di sini tidak untuk mengikuti konferensi atau mendengar bualan mereka. Kita datang untuk mengamati. Itulah alasan aku mengajakmu, bukan dia.” Pria berusia lebih dari setengah abad berwajah oriental itu membalas dengan berbisik pula.

Penglihatan dari mata tua itu masih selalu tajam dan siaga dengan tetap menjaga senyum di wajah, dia duduk dengan menyandarkan punggung, terlihat santai bahkan sesekali sengaja menutup kelopak matanya. Namun, Direktur selalu dikenal sebagai seseorang dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi, bahkan lalat yang terbang dua meter dari tubuhnya pun, tak luput dari penglihatannya.

Aku mendengus, “Apanya yang tutup mulut,” batinku,  jika begini lebih baik tadi tidak usah ikut sekalian.

Libur satu hari dalam sebulan dan justru kuhabiskan di tempat ini, sudah dua jam lebih telinga ini mendengar bualan mereka. Padahal sudah sengaja bulan lalu tak ambil cuti demi bisa bersantai sejenak selama 2 hari di villa. Semua seharusnya berjalan sempurna, jatah libur di hari Kamis dan mengambil cuti tahunan hingga Senin tiba. Bahkan sejak awal bulan lalu, surat permohonan cuti itu tergeletak dengan manis di meja Direktur.

Perjalanan menuju villa di hari itu tak akan semacet pada akhir pekan, aku bisa mengemudi dengan santai, menghabiskan 3 malam di villa, lalu pulang tanpa perlu tergesa-gesa. Kha sudah mengatur segala hal, dia selalu detail mempersiapkan sesuatu dan aku lupa mengabari jadwal pembatalan yang mendadak ini. Padahal sudah sejak dua pekan lalu kuminta ia mempersiapkan segala keperluan di villa, termasuk untuk proyek yang sedang kukembangkan.

“Kamu memiliki daya analisis tinggi dan ingatan yang tajam. Maksimalkan semua inderamu. Lihat, dengar, raba dan rasakan aura sekitarmu. Perhatikan dengan seksama. Itu penting untuk hidup kita selanjutnya, mungkin juga berguna bagi orang banyak.” Sang direktur masih tetap menyandarkan punggung ke kursi, kini dengan memejamkan mata seolah ia tertidur.

Kepala ini sama sekali belum mencerna dengan baik maksud dari kalimat pria berusia lebih dari setengah abad penggandrung anagram itu. Namun, tubuh dan otak mencoba menuruti perintahnya, mencatat, merekam, dan megamati mereka satu demi satu. Mendengarkan setiap kalimat dengan seksama.

Hingga sampai pada satu sesi, instingku mulai menyadari ada hal menarik yang tersembunyi di dalam hingar-bingar ini. Permainan yang seru, kepada kalian kuucapkan ‘selamat datang di negeri Neo Metanesia’. Suatu negeri di atas bumi yang mulai resah sebab wabah yang tak tertangani.

“Elang, tajamkan instingmu. Temukan pola tersembunyi yang tercipta dari perdebatan ini. Cari dan manipulasi hal-hal vital yang mampu membangun kembali proyek itu. Kita di sini, bukan untuk siapa pun. Kita di sini demi sains dan masa depan yang layak.”

Tiba-tiba saja aku ingin bersantai di kebun belakang pondok teh samping villa. Pemandangan pucuk teh yang menghijau dengan latar pegunungan sungguh sangat memanjakan mata serta angin gunung yang dingin menyejukkan, jauh dari polusi dan residu. Membayangkan kabut yang turun di pagi hari, membuat paru-paru yang lama sesak karena menghidu udara busuk Ibukota meronta-ronta.

“Kamu janji akan kemari lagi ‘kan, Za? Kunjungi aku, kami di sini akan ... rindu.” Sinaps-sinaps dalam otakku melompati genangan memori itu memunculkan kembali wajah gadis kecil menyebalkan dan tempat usang yang selalu mengganggu tidurku.

Dia yang selalu memiliki tempat sembunyi paling sulit untuk ditemukan. Selalu saja, seperti hilang ditelan bumi. Gadis kecil manis yang cerdas. Za, kamu di mana sekarang?

Senyuman gadis cilik itu selalu mengingatkanku pada senja dan candik ayu yang semarak. Menari di atas pucuk-pucuk teh yang mulai bertunas. Wajah oval dengan pipi tembam dan hidung khas gadis asianya sungguh menggemaskan.

Mata itu seperti purnama di malam cerah. Berbinar-binar bak gemerlapnya gemintang di tengah malam, paripurna. Dia memiliki daya tarik fisik yang luar biasa -walau usianya masih terbilang muda-, selaras dengan ketulusan hatinya. Di mana pun kamu berada, Za, semoga selalu baik-baik saja. Tunggulah, tunggu aku menemukanmu.

Arggh ... Aku mengusap wajah dengan kasar berulang-ulang.

Fokus, Tirta, fokus! Kamu adalah sang Elang yang sedang mengintai mangsa, jangan lengah sedikit pun, tak boleh lemah, dan jangan biarkan hal sepele memanipulasi fokusmu. Masalah ini adalah bom waktu yang dapat membunuh kita semua.

Hanya perihal hitungan masa hingga batas limit terpenuhi lantas kita semua mati karenanya. Maka untuk menemukanmu Za, aku harus jinakkan bom waktu ini dulu. Tunggulah, sebentar saja.

“Kalian gila! Itu operasi bawah tanah yang berbahaya.” Salah seorang peserta konferensi dengan wajah pasi berdiri sembari berteriak gemetaran.

Operasi bawah tanah, kalimat itu mengingatkan akan sesuatu yang seolah terlupa dari daftar. Ah, tanpa sadar telapak tangan refleks menepuk dahi, ruang laboratorium bawah tanah! Bagaimana bisa aku melupakan itu. Semoga Kha mengerti akan tugasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status