Tampak olehnya sang ibu berjalan ke arah pintu tepat di mana ia tengah ditahan oleh Nila.
"Udah pulang, kamu? Tumbenan sore amat? Lembur, ya?" Ibunya memberondong pertanyaan karena cemas Jingga pulang terlambat gara-gara tadi diajak ketemuan oleh Miko sepulang kerja.
"Anu ... iya, Bu. Lembur sebentar tadi, kejar target," jawabnya berbohong.
"Mbak Jingga habis nangis juga, tuh, Bu, kayaknya," celetuk Nila masih dengan memperhatikan kakaknya.
Jingga menggeleng keras dan menjawab cepat, "Nggak kok, Bu. Ini tadi kaca helmnya aku buka jadi mata kelilipan debu dikit, nih." Dikuceknya mata dengan jemari untuk lebih menguatkan alasan yang diutarakan.
Nila dan ibunya saling berpandangan tanpa rasa curiga. Jingga memang terlalu introvert untuk bisa terbuka menceritakan permasalahan pribadinya, bahkan kepada ibunya sekali pun. Segera ditinggalkannya sang adik yang super jahil bersama ibunya yang tengah mengangguk-angguk maklum. Terbersit sedikit rasa bersalah dalam batinnya karena telah berbohong. Namun, apa mau dikata, ia tak ingin sang ibu tahu kejadian yang sebenarnya.
Ia bergegas pergi ke kamar. Di sana adalah spot terbaik yang aman untuk menumpahkan segala sesak di dadanya saat ini. Dihempaskannya tubuh ke atas ranjang berbedcover bugs bunny. Ya, ia memang penyuka karakter kartun kelinci si bugs bunny. Seluruh kamarnya dari mulai hiasan gantung pintu, boneka, stiker di kaca rias sampai lemari, juga printilan aksesori dinding, semuanya all about bugs bunny.
Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Jingga hanya suka warna abu-abu yang mendominasi karakter kartun itu. Meskipun namanya Jingga, menurutnya abu-abu lebih cocok dengan kepribadiannya yang kalem, pemalu dan tidak suka jadi pusat perhatian.
Sembari berbaring tertelungkup, kembali ia menangis sesenggukan. Bukan, bukan menangisi kehilangan sosok Miko. Ia lebih menangisi kemalangan nasibnya yang entah telah melakukan dosa besar apa sehingga telah berkali-kali jatuh cinta dan kesemuanya berakhir dengan mengenaskan.
Saat memutuskan menerima pernyataan cinta Miko, ia merasa Miko bisa menjadi pengganti mantannya. Ia merasa, Miko tampak baik dan setia. Ternyata, dia sama saja dengan yang lain. Hanya baik di depan, sementara di belakang ia mendua. Jingga masih terus tergugu dalam senyap, menutup wajahnya dengan bantal agar isaknya tak terdengar sampai ke luar kamar.
Kilasan-kilasan memori awal pertemuan dan perjalanan kisah cintanya bersama Miko seolah muncul ke permukaan ingatan. Membuat luka patah hatinya semakin terasa perih bagai tengah ditaburi garam. Terasa nyeri di ulu hati, layaknya seonggok daging yang ditusuk dengan sebilah belati.
Saat itu ia tengah menghadiri kondangan di acara pernikahan salah seorang teman kerjanya. Ia datang bersama beberapa kawan sepulang kerja. Hanya dengan mengenakan jaket untuk menyamarkan seragam karyawan, mereka ikut berdesakan dengan para tamu undangan lain.
Sebuah tenda besar berhiaskan kain rumbai warna gading dengan pinggiran keemasan yang tampak elegan terpasang di pelataran dan separuh jalanan depan rumah mempelai. Berset-set meja kursi yang ditata membundar saling berderet dengan tudung berwarna senada.
Suara alunan musik senandung islami yang khas diputar saat acara pernikahan terdengar riuh di telinga bercampur dengan kebisingan para tamu undangan yang tampaknya memang sedang ramai-ramainya saat selepas Maghrib begitu.
Jingga memandang ke arah pelaminan dan mendapati sang kawan tengah duduk berdua di sana. Sungguh cantik dan tampan, perpaduan yang cocok dengan gaun indah serta jas pengantin yang keren.
"Aduduhhh!" Tiba-tiba terdengar dari balik punggungnya suara seorang pria mengaduh.
Rupanya, Jingga tanpa sengaja telah menginjak kaki seseorang di belakangnya saat tiba-tiba ia mundur karena di depan terhalang orang yang hendak berdiri dari kursinya. Spontan ia berbalik dan mengucap maaf berkali-kali tanpa memandang wajah pria malang pemilik suara yang mengaduh tersebut.
Karena tak didengarnya sahutan si pria yang mengaduh, ia terpaksa mendongak dan tampak pria di hadapan yang rupanya lumayan tampan, dengan alis tebal dan rambut sedikit ikal sedang menahan tawa dengan cara menangkupkan tangan ke mulutnya.
Seketika Jingga berubah kesal karena merasa ditertawakan, entah apa yang menurut pria itu lucu, ia membatin bertanya-tanya.
"Nggak sakit, ya? Ya udah gak jadi minta maaf!" ketusnya sambil kembali berbalik mengikuti kawan-kawannya yang tampak telah duduk di deretan kursi undangan dekat pelaminan. Ia mengabaikan pria berkemeja marun lengan pendek dan celana jeans abu-abu yang ternyata jadi terus memandanginya setelah insiden kecil itu.
Selesai sesi makan-makan dan berfoto bersama mempelai, rombongan Jingga pun berpamitan. Mereka berenam kembali ke tempat parkir motor kemudian saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari setelah itu, ada pesan di aplikasi hijau ponsel Jingga dari nomor tak dikenal.
[Hei, tukang nginjek kaki orang]
Spontan kening Jingga berkerut membaca pesan aneh itu.
"Siapa, nih?" Ia menggumam penuh tanya sambil mengetikkannya di papan ketik layar.
[Yah, dia sudah lupa habis nginjek kaki orang sampe bengkak pas kemaren di nikahan Imel]
Jingga segera ingat sosok si pria tampan dengan raut wajahnya yang menyebalkan saat menertawainya waktu itu. Segera diketiknya pesan balasan,
[Ooh, kamu! Kok bisa punya nomorku?]
[Udah inget? Tanggung jawab! Bengkak nih kaki]
[Ah, masa' sih bengkak? Kakiku kecil ini, pake sepatu kets juga, gak ada hak sepatunya, mana bisa bikin bengkak, coba!]
[Ya ampun, yang diinjek aku, yang marah-marah kok situ?]
[Yo dah maaf, sorryyyy. Kamu siapa? Imel yang kasih nomorku ke kamu?]
Itulah awal komunikasi Jingga dan Miko. Ternyata Miko adalah tetangga Imel yang saat itu sedang bantu-bantu di rumah Imel sebagai bentuk solidaritas tetangga. Dia bilang sudah memaksa Imel memberikan nomor Jingga dengan menunjukkan foto di ponselnya. Beruntung Jingga sempat berfoto dengan mempelai di atas pelaminan sehingga Miko pun berkesempatan mengambil foto dengan kamera ponselnya sendiri.
Mereka berdua semakin intens berkomunikasi, karena Jingga menyukai gaya humoris Miko. Setelah semakin tampak rasa saling tertarik mereka, Miko pun memberanikan diri untuk mengajak Jingga berpacaran. Enam bulan sudah mereka menjalin hubungan yang sebelumnya tampak selalu indah dan baik-baik saja. Setidaknya dalam penglihatan Jingga sendiri.
Miko berwirausaha dengan membuka sebuah bengkel motor di daerah dekat rumahnya. Karena itu, jam kerjanya bebas dan bisa dengan mudah baginya pergi ke tempat kerja Jingga di jam makan siang untuk mengajak kekasihnya makan bersama. Atau tiba-tiba datang menjemput saat jam pulang kerja padahal tahu Jingga juga bawa motor sendiri. Kangen, katanya selalu.
Ah, rupa-rupanya semua seakan hanya ilusi sesaat. Kebahagiaan dan kebersamaan mereka selama ini sama sekali tak berarti apa-apa di mata Miko. Dengan mudahnya ia berkata cuma sedang bernostalgia sebentar dengan sang mantan dan berharap Jingga dapat maklum karena wanita itu adalah cinta pertamanya!
“Sialan!" Dipukulinya guling yang sedari tadi ia dekap.
"Semua cowok di dunia sama aja br*ngs*knya!" Ia mengomel sebal. Terus dipukulinya guling tak bersalah itu demi untuk meluapkan sedikit amarahnya setelah lelah menangis.
“Jingga! Makan malam, Nak!"
Tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil dari ruang makan. Jingga spontan menoleh ke arah jam dinding dan mendapati hari sudah petang. Astaga! Dia menangis terlalu lama sampai tak sadar waktu.
"Jingga udah makan di luar tadi. Tinggal aja, Bu!" serunya menjawab dengan suara diusahakan sewajar mungkin.
Selera makannya sama sekali hilang. Tak ada rasa lapar meski semenjak siang tak sedikit pun makanan masuk ke perutnya. Yang terasa kini hanya sakit hati saja. Sakitnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam, semakin lama terasa semakin dalam menghunjam dan meninggalkan perih berkepanjangan.
Jingga segera bangkit dari ranjang, lalu beranjak ke meja rias untuk memeriksa seberapa sembab wajahnya. Setelah dirasa tak seberapa terlihat, ia keluar untuk ke kamar mandi yang berada di sebelah dapur.
"Udah makan beneran, Mbak?" Nila bertanya saat Jingga melewati seberang meja makan.
"He-em," Dengan sedikit menyembunyikan wajah di balik handuk yang ia bawa, Jingga menjawab pelan.
"Kalo gitu rendangnya buat aku semua, ya?" Mata Nila berbinar riang.
"Terserah!" jawab Jingga sekenanya
"Assseeek!" Nila bersorak sambil memindahkan jatah lauk sang kakak ke atas piringnya sendiri. Beruntung ayah dan ibunya sedang sibuk mengomentari tingkah adiknya itu, sehingga Jingga lolos dari perhatian mereka.
* * *
Jingga Kartika Putri, begitu ayahnya memberi nama anak sulung yang lahir di tanggal 11 bulan Juli 1996 itu. Dia memang lahir pada saat senja di ufuk barat sedang berwarna jingga begitu indahnya setelah sejak Subuh sang ibu menggeliat-geliat kesakitan akibat kontraksi di sebuah klinik bidan terdekat dari rumah mereka. Anak pertama memang selalu merupakan kejutan istimewa. Dulu di masa itu, belum marak ada pemeriksaan USG untuk memeriksa jenis kelamin si janin. Namun, biasanya para tetua di keluarga, nenek kakeknya memiliki keyakinan dengan melihat ciri-ciri dari si ibu hamil mengenai kelak bayi yang lahir itu laki-laki atau kah perempuan. Saat itu nenek dari pihak ibu Jingga meyakini bahwa calon cucu mereka adalah laki-laki. Karena itulah, mereka sekeluarga menyiapkan nama bagi anak lelaki. Namun, yang lahir ternyata perempuan, sehingga ayahnya berpikir cepat tanpa perencanaan mengenai namanya. "Jingga saja namanya,
“Jingga, bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?" Bu Tutik, sang Kepala Bagian menghampiri meja kerjanya beberapa menit setelah jam kerja dimulai. Jingga yang baru saja sedang memulai tugasnya menyusun bahan sepatu dari bagian persiapan untuk dicek kemudian disetorkan ke bagian jahit, mendongak dan menjawab, "Maaf, Bu. Boleh saya panggil Nindy untuk nerusin cek bahan ini dulu? Soalnya hari ini sudah harus masuk job Line jahit." Line adalah sebutan untuk pembagian departemen jahit karena bentuk tim kerjanya yang berderet memanjang. Bu Tutik mengangguk sembari berkata ia menunggu Jingga secepatnya. "Baik, Bu. Nanti saya langsung nyusul." Ia pun bergegas menuju ke arah ruangan bagian jahit dan memanggil Nindy--salah seorang dari Line yang memang seringkali kebagian menggantikan dirinya saat Jingga sedang ditugaskan ke bagian lain atau membantunya saat job berbarengan datang sehingga J
"Udah sampai mana, Ndy?" Jingga mengawasi sebentar pekerjaan Nindy di meja cek bahan di mana biasanya ia yang menempati. Nindy mendongak sebentar kemudian menjawab lancar sambil kembali fokus pada bahan sepatu yang tengah ia susun per seri. "Ini aku tinggal size 37 dan 36 aja, besok udah bisa selesai dan bantuin si Via ngerjain job barunya." "Sip, kamu emang andalanku," ucap Jingga seraya mencubit lengan Nindy gemas. Nindy yang berbody chubby nan menggemaskan dengan kulit putih dan rambut ikal yang selalu dikuncir model cepol itu memonyongkan bibirnya lucu. Jingga terkekeh sambil beranjak meninggalkan mejanya menuju ke meja Via di seberang. Si empunya sedang mengambil bahan ke departemen Cutting, sehingga Jingga hanya mengecek buku berisi tabel laporan size dan jumlah yang telah dicek dan yang telah disetorkan ke Line. Dua hari ini Jingga tak pernah duduk di meja. Ia harus terus berkeliling untuk men
Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan. Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi, [Tes] Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya, [Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah. Terkirim. Tanda centang hitam dua buah. "Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu. Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wan
"Nak,"Jingga berjengit terkejut mendengar suara lembut ibunya yang entah sejak kapan berada di situ. Di pojokan ruang tamu."I-Ibu ... bikin kaget aja, deh," ujar Jingga terbata, mengira-ngira apakah ibunya telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Miko barusan atau tidak."Kamu nggak apa-apa, Nak?" si ibu yang biasanya cerewet itu menanyainya lembut, seakan tahu putrinya tengah sekuat tenaga menahan gejolak dalam hati.Jingga menghela napas lemah. Ibunya pasti telah mendengar ihwalnya dengan Miko barusan. Tak ada gunanya lagi menyangkal, begitu pikirnya.Tanpa kata, Jingga menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan hangat wanita separuh baya tersebut. Ditumpahkannya air mata yang semenjak melihat raut wajah cemas sang ibu tadi telah menggenangi pelupuknya.Bu Setyowati mengelus-elus punggung juga membelai-belai rambut hitam panjangnya, berusaha memberikan ketenangan. Dibiarkannya Jingga menangis puas-puas agar ia bisa lega
Bu Setyowati yang duduk di sebelah Jingga segera menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Jingga pun langsung minum dengan sekali teguk."Duh, kekenyangan, nih. Jingga ke kamar dulu, ya," pamitnya, mencoba menghindar dari Nila yang mulai merecoki. Biarlah ibunya yang mungkin akan memberi penjelasan kepada Bapak dan Nila nanti, pikirnya. Dirinya sendiri sama sekali tak ingin mengungkit ataupun mendengar masalah itu lagi.Di kamar, ia melanjutkan aktivitas mengumpulkan barang dan foto kenangan bersama Miko. Tak lupa ia juga menghapus jejak digital dari HP maupun akun-akun sosmednya setelah memblokir nomor dan akun Miko.Sesegera mungkin ia harus move on. Hidup terus berjalan. Akan ditemukannya kebahagiaan-kebahagiaan lain di luar sana. Keluarga yang disayanginya, pekerjaan yang disukai, serta prestasi yang diperjuangkannya, itu semua layak mendapat perhatian lebih daripada sekedar mengingat masa lalu bersama mantan yan
Hari-hari kemudian dilalui Jingga hanya fokus kepada pekerjaan. Beberapa pandangan mencibir dan meremehkan yang diterimanya dari sesama karyawan yang tampaknya merasa iri atau tersaingi, dianggapnya justru sebagai penyemangat diri agar lebih meningkatkan prestasi lagi. Yang penting berikan yang terbaik, maka hasil yang terbaik pula yang akan mengikuti. Itu sudah hukum alam yang tak terbantahkan.Demi untuk melupakan rasa sakitnya akibat kehilangan cinta untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia curahkan seluruh energi dan perhatiannya untuk bekerja. Nindy yang menyaksikan betapa keras usaha Jingga, terkadang menanyainya penasaran,"Tadi sarapan apa, sih? Manusia kok kayak nggak ada capeknya?"Jingga hanya tergelak mendengar seloroh temannya. Ia semakin dekat dengan Nindy semenjak mengerjakan job bersama. Tak disangkanya gadis gemoy itu ternyata cukup pengertian dan care. Seringkali ia memeriksa laci meja Jingga, hanya untuk mengecek apakah kotak bekal ada di situ a
Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihw