Share

Chapter 2 - Elegi Cinta Jingga

Tampak olehnya sang ibu berjalan ke arah pintu tepat di mana ia tengah ditahan oleh Nila.

"Udah pulang, kamu? Tumbenan sore amat? Lembur, ya?" Ibunya memberondong pertanyaan karena cemas Jingga pulang terlambat gara-gara tadi diajak ketemuan oleh Miko sepulang kerja.

"Anu ... iya, Bu. Lembur sebentar tadi, kejar target," jawabnya berbohong.

"Mbak Jingga habis nangis juga, tuh, Bu, kayaknya," celetuk Nila masih dengan memperhatikan kakaknya.

Jingga menggeleng keras dan menjawab cepat, "Nggak kok, Bu. Ini tadi kaca helmnya aku buka jadi mata kelilipan debu dikit, nih." Dikuceknya mata dengan jemari untuk lebih menguatkan alasan yang diutarakan.

Nila dan ibunya saling berpandangan tanpa rasa curiga. Jingga memang terlalu introvert untuk bisa terbuka menceritakan permasalahan pribadinya, bahkan kepada ibunya sekali pun. Segera ditinggalkannya sang adik yang super jahil bersama ibunya yang tengah mengangguk-angguk maklum. Terbersit sedikit rasa bersalah dalam batinnya karena telah berbohong. Namun, apa mau dikata, ia tak ingin sang ibu tahu kejadian yang sebenarnya.

Ia bergegas pergi ke kamar. Di sana adalah spot terbaik yang aman untuk menumpahkan segala sesak di dadanya saat ini. Dihempaskannya tubuh ke atas ranjang berbedcover bugs bunny. Ya, ia memang penyuka karakter kartun kelinci si bugs bunny. Seluruh kamarnya dari mulai hiasan gantung pintu, boneka, stiker di kaca rias sampai lemari, juga printilan aksesori dinding, semuanya all about bugs bunny.

Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Jingga hanya suka warna abu-abu yang mendominasi karakter kartun itu. Meskipun namanya Jingga, menurutnya abu-abu lebih cocok dengan kepribadiannya yang kalem, pemalu dan tidak suka jadi pusat perhatian.

Sembari berbaring tertelungkup, kembali ia menangis sesenggukan. Bukan, bukan menangisi kehilangan sosok Miko. Ia lebih menangisi kemalangan nasibnya yang entah telah melakukan dosa besar apa sehingga telah berkali-kali jatuh cinta dan kesemuanya berakhir dengan mengenaskan.

Saat memutuskan menerima pernyataan cinta Miko, ia merasa Miko bisa menjadi pengganti mantannya. Ia merasa, Miko tampak baik dan setia. Ternyata, dia sama saja dengan yang lain. Hanya baik di depan, sementara di belakang ia mendua. Jingga masih terus tergugu dalam senyap, menutup wajahnya dengan bantal agar isaknya tak terdengar sampai ke luar kamar.

Kilasan-kilasan memori awal pertemuan dan perjalanan kisah cintanya bersama Miko seolah muncul ke permukaan ingatan. Membuat luka patah hatinya semakin terasa perih bagai tengah ditaburi garam. Terasa nyeri di ulu hati, layaknya seonggok daging yang ditusuk dengan sebilah belati.

Saat itu ia tengah menghadiri kondangan di acara pernikahan salah seorang teman kerjanya. Ia datang bersama beberapa kawan sepulang kerja. Hanya dengan mengenakan jaket untuk menyamarkan seragam karyawan, mereka ikut berdesakan dengan para tamu undangan lain.

Sebuah tenda besar berhiaskan kain rumbai warna gading dengan pinggiran keemasan yang tampak elegan terpasang di pelataran dan separuh jalanan depan rumah mempelai. Berset-set meja kursi yang ditata membundar saling berderet dengan tudung berwarna senada.

Suara alunan musik senandung islami yang khas diputar saat acara pernikahan terdengar riuh di telinga bercampur dengan kebisingan para tamu undangan yang tampaknya memang sedang ramai-ramainya saat selepas Maghrib begitu.

Jingga memandang ke arah pelaminan dan mendapati sang kawan tengah duduk berdua di sana. Sungguh cantik dan tampan, perpaduan yang cocok dengan gaun indah serta jas pengantin yang keren.

"Aduduhhh!" Tiba-tiba terdengar dari balik punggungnya suara seorang pria mengaduh.

Rupanya, Jingga tanpa sengaja telah menginjak kaki seseorang di belakangnya saat tiba-tiba ia mundur karena di depan terhalang orang yang hendak berdiri dari kursinya. Spontan ia berbalik dan mengucap maaf berkali-kali tanpa memandang wajah pria malang pemilik suara yang mengaduh tersebut.

Karena tak didengarnya sahutan si pria yang mengaduh, ia terpaksa mendongak dan tampak pria di hadapan yang rupanya lumayan tampan, dengan alis tebal dan rambut sedikit ikal sedang menahan tawa dengan cara menangkupkan tangan ke mulutnya.

Seketika Jingga berubah kesal karena merasa ditertawakan, entah apa yang menurut pria itu lucu, ia membatin bertanya-tanya.

"Nggak sakit, ya? Ya udah gak jadi minta maaf!" ketusnya sambil kembali berbalik mengikuti kawan-kawannya yang tampak telah duduk di deretan kursi undangan dekat pelaminan. Ia mengabaikan pria berkemeja marun lengan pendek dan celana jeans abu-abu yang ternyata jadi terus memandanginya setelah insiden kecil itu.

Selesai sesi makan-makan dan berfoto bersama mempelai, rombongan Jingga pun berpamitan. Mereka berenam kembali ke tempat parkir motor kemudian saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing.

Dua hari setelah itu, ada pesan di aplikasi hijau ponsel Jingga dari nomor tak dikenal.

[Hei, tukang nginjek kaki orang]

Spontan kening Jingga berkerut membaca pesan aneh itu.

"Siapa, nih?" Ia menggumam penuh tanya sambil mengetikkannya di papan ketik layar.

[Yah, dia sudah lupa habis nginjek kaki orang sampe bengkak pas kemaren di nikahan Imel]

Jingga segera ingat sosok si pria tampan dengan raut wajahnya yang menyebalkan saat menertawainya waktu itu. Segera diketiknya pesan balasan,

[Ooh, kamu! Kok bisa punya nomorku?]

[Udah inget? Tanggung jawab! Bengkak nih kaki]

[Ah, masa' sih bengkak? Kakiku kecil ini, pake sepatu kets juga, gak ada hak sepatunya, mana bisa bikin bengkak, coba!]

[Ya ampun, yang diinjek aku, yang marah-marah kok situ?]

[Yo dah maaf, sorryyyy. Kamu siapa? Imel yang kasih nomorku ke kamu?]

Itulah awal komunikasi Jingga dan Miko. Ternyata Miko adalah tetangga Imel yang saat itu sedang bantu-bantu di rumah Imel sebagai bentuk solidaritas tetangga. Dia bilang sudah memaksa Imel memberikan nomor Jingga dengan menunjukkan foto di ponselnya. Beruntung Jingga sempat berfoto dengan mempelai di atas pelaminan sehingga Miko pun berkesempatan mengambil foto dengan kamera ponselnya sendiri.

Mereka berdua semakin intens berkomunikasi, karena Jingga menyukai gaya humoris Miko. Setelah semakin tampak rasa saling tertarik mereka, Miko pun memberanikan diri untuk mengajak Jingga berpacaran. Enam bulan sudah mereka menjalin hubungan yang sebelumnya tampak selalu indah dan baik-baik saja. Setidaknya dalam penglihatan Jingga sendiri.

Miko berwirausaha dengan membuka sebuah bengkel motor di daerah dekat rumahnya. Karena itu, jam kerjanya bebas dan bisa dengan mudah baginya pergi ke tempat kerja Jingga di jam makan siang untuk mengajak kekasihnya makan bersama. Atau tiba-tiba datang menjemput saat jam pulang kerja padahal tahu Jingga juga bawa motor sendiri. Kangen, katanya selalu.

Ah, rupa-rupanya semua seakan hanya ilusi sesaat. Kebahagiaan dan kebersamaan mereka selama ini sama sekali tak berarti apa-apa di mata Miko. Dengan mudahnya ia berkata cuma sedang bernostalgia sebentar dengan sang mantan dan berharap Jingga dapat maklum karena wanita itu adalah cinta pertamanya!

“Sialan!" Dipukulinya guling yang sedari tadi ia dekap.

"Semua cowok di dunia sama aja br*ngs*knya!" Ia mengomel sebal. Terus dipukulinya guling tak bersalah itu demi untuk meluapkan sedikit amarahnya setelah lelah menangis.

“Jingga! Makan malam, Nak!"

Tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil dari ruang makan. Jingga spontan menoleh ke arah jam dinding dan mendapati hari sudah petang. Astaga! Dia menangis terlalu lama sampai tak sadar waktu.

"Jingga udah makan di luar tadi. Tinggal aja, Bu!" serunya menjawab dengan suara diusahakan sewajar mungkin.

Selera makannya sama sekali hilang. Tak ada rasa lapar meski semenjak siang tak sedikit pun makanan masuk ke perutnya. Yang terasa kini hanya sakit hati saja. Sakitnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam, semakin lama terasa semakin dalam menghunjam dan meninggalkan perih berkepanjangan.

Jingga segera bangkit dari ranjang, lalu beranjak ke meja rias untuk memeriksa seberapa sembab wajahnya. Setelah dirasa tak seberapa terlihat, ia keluar untuk ke kamar mandi yang berada di sebelah dapur.

"Udah makan beneran, Mbak?" Nila bertanya saat Jingga melewati seberang meja makan.

"He-em," Dengan sedikit menyembunyikan wajah di balik handuk yang ia bawa, Jingga menjawab pelan.

"Kalo gitu rendangnya buat aku semua, ya?" Mata Nila berbinar riang.

"Terserah!" jawab Jingga sekenanya

"Assseeek!" Nila bersorak sambil memindahkan jatah lauk sang kakak ke atas piringnya sendiri. Beruntung ayah dan ibunya sedang sibuk mengomentari tingkah adiknya itu, sehingga Jingga lolos dari perhatian mereka.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status