#MPSPart 79 Bertemu KembaliKu lihat wajah umi yang sudah kembali normal. "Fira gak salah dengar 'kan?" tanyaku pada umi. "Selesai sarapan terus siap-siap. Ikut umi pergi," kata umi lalu melanjutkan lagi aktivitasnya. Seperti akan mendapatkan sebuah jawaban dari rasa penasaranku, aku pun dengan hati yang senang lantas mengikuti langkah umi dengan bersemangat. ***"Kenapa kita ke sini, Mi?" tanyaku keheranan. Sebab ternyata umi mengajakku ke rumah bu Darmi yang masih sepi. Entah apa alasan yang mendasari ibuku itu membawaku kembali ke tempat yang bagiku pernah memiliki kenangan pahit terhadapnya. "Sebentar, ya," kata umi. Umi pun mengetuk pintu utama rumah ini. Dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Aku cukup terkejut ketika mengetahui Rumi yang keluar dari rumah tersebut. Ia tampak masih seperti dulu dan keadaannya juga terlihat lebih baik. "Ya Allah, mbak Fira?" Rumi tampak terkejut ketika melihat diriku yang berdiri di hadapannya. "Kamu sehat, Mbak?" Rumi memelukk
#MPSPart 79 Pertemuan Setelah Satu TahunKetakutanku semakin menjadi-jadi ketika mas Abdullah sudah turun dari mobilnya dan melihat keberadaan Tama dan Rumi yang sudah berdiri di dekatku. Jatungku mendadak berdegup kencang berharap semuanya baik-baik saja dan tidak ada keributan sama sekali. Dan saat mas Abdullah sudah berhadapan dengan Tama dan Rumi, hal yang tak ku sangka-sangka pun terjadi. Ya, aku melihat mas Abdullah yang tampak ramah dan biasa saja terhadap Rumi juga suaminya. Bukan di situ saja, aku juga dikejutkan dengan kedatangan abah yang tiba-tiba pulang padahal masih di jam kerja. "Sudah datang semua?" tanya abah yang juga tampak biasa saja. Aku semakin bingung melihat sikap mas Abdullah dan abah yang seperti ini. Meskipun dilain sisi aku juga merasa senang lantaran kedua orang yang ku sayangi itu seperti sudah tak ada lagi rasa benci terhadap anak dan menantu dari bu Darmi tersebut. "Abah? Mas?" ku lihat wajah abah dan suamiku secara bergantian. Mas Abdullah dan a
#MPSPart 80 Last ChapterKu alihkan pandanganku pada kedua orang tuaku. "Abah dan umi yang menyarankan Rosi untuk masuk pondok ya?"Mendengar pertanyaanku abah dan umi malah saling melempar senyum dengan ekspresi wajah yang aku tak bisa memahaminya. Kalau pun memang mereka yang menyarankan Rosi untuk pergi ke pondok, mengapa hal itu harus disembunyikan dariku? Sebegitu besarkah mereka menginginkanku untuk benar-benar menjauhi Rosi? Atau adakah hal lain yang disembunyikan oleh kedua orang tuaku itu?"Abah dan umi gak cuman menyarankan, Mbak. Beliau juga yang memasukanku ke sana dan membiayai kebutuhanku selama di pondok," ujar Rosi lagi. "Tepatnya abah patungan sama Tama. Jadi Tama dan istrinya juga ada andil soal biaya pondok juga kebutuhan Rosi," sela abah yang membuatku menoleh kearahnya. "Terus kenapa selama ini abah gak bilang sama aku?" tanyaku penasaran. Di titik ini aku merasa sedikit kecewa dengan keputusan abah yang tidak memberitahukanku tentang Rosi. Malah yang ada beli
Part 1 Pernikahan SuamikuAku terkejut setengah mati ketika satu persatu pesan foto di WA ku mulai terbuka. Entah siapa yang mengirimnya dan apa maksudnya tujuannya, yang jelas pesan ini membukakan mata hatiku bahwa suamiku telah mengkhianatiku. [Itu nyata, silakan angkat video call saya, dan kamu akan percaya] pesannya lagi membuatku semakin memanas batinku rasanya. Benar saja. Dia pun menghubungiku dengan panggilan video, sesuai instruksinya aku pun mengangkatnya. Kembali dibuat terkejutnya aku, bahwa sabungan panggilan video di seberang memperlihatkan sepasang pengantin yang terlihat bahagia sedang menyalami tamu undangan satu per satu. Pengantin lelaki itu, aku sangat mengenalnya. Suamiku. Dan pengantin perempuannya, meski tak begitu mengenalnya, tapi aku tahu dia. Mantan kekasih suamiku. Preti. Panggilan video terus berputar, terlihat ada juga ipar-iparku disana, mereka tampak bahagia. Dan ibu mertuaku, ia juga ikut berdiri di sebelah kursi pengantin di dampingi anak lelakin
Part 2 Memalsukan garis duaAku bersiap, kurang dari setengah jam lagi mas Arga pulang. Sekitar sepuluh menint yang lalu, ia mengabariku kalau ia dan rombongan temannya sudah sampai di rumah Iwan yang hanya berbeda satu kelurahan dengan rumahku. Ia juga teman kerja mas Arga yang juga ikut mendaki. Katanya."Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar pintu depan. Akhirnya yang ku tunggu-tunggu pulang juga. Saatnya beraksi. "Waalaikumussalam," balasku seraya membuka pintu. Aku mencium punggung tangan suamiku, berpura-pura seperti tak mengetahui apa-apa.Mas Arga melongos masuk dan meletakkan barang-barangnya di dekat meja ruang tamu. Ia menyandarkan badannya di kursi tamu. Berpura-pura kelelahan sepertinya. Hmm, pintar juga aktingmu,mas. "Ini, Mas, yang mau aku kasih lihat ke kamu," ucapku seraya meletakkan benda kecil di atas meja.Dengan malas mas Arga meraihnya. Ia tampak bingung melihatnya. "Ga-garis dua?" tanyanya gugup."Iya, Mas," balasku antusias.Sebenarnya aku tak benaran
Part 3 SindiranAku dan mas Arga pun sampai di rumah ibu. Setelah memarkirkan motor matic tepat di depan teras rumah, aku dan mas Arga pun masuk setelah mengucap salam.Sudah kebiasaan mas Arga kalau pulang ke rumah ibunya, mengucap salam lalu masuk melongos begitu saja. Kalau ditegur alasannya selalu bilang kalau ini rumah ibuku. Ya, memang benar, sih.Terlihat semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tengah seraya menonton sinetron ikan terbang. Termasuk Tara, anak satu-satunya Tama dan Rumi. Kadang kasihan melihat Tara, anak yang baru menginjak usia enam tahun itu lebih sering menonton sinetron yang unfaedah menurutku, karena ibunya tak pernah menegur jika Tara ikut duduk bersamanya ketika di depan tv. "Bu, aku dan Fira punya kabar baik buat Ibu," ujar mas Arga mendudukan badannya di bawah sebelah ibunya. Sementara aku, duduk di atas sofa tak jauh dari mereka. "Kabar apa?" tanya ibu mertuaku yang tetap fokus ke layar tv."Fira hamil,Bu!" "Apa?!" kali ini ibu menoleh ke
Part 4 Ke Rumah Ibu Mertua, lagi"Iya, kan, aku cuma denger kemarin pas belanja sayur, " aku mencoba mengeles. "Lagian, kalau hal seperti itu terjadi di rumah tanggaku, yasudah aku pasrah aja. ""Hah? Serius, Mbak? " tanya Rosi sedikit terkejut. "Iya, Ros, buat apa mempertahankan laki-laki yang sudah mengkhianati istrinya. Laki-laki seperti dia itu pantasnya di buang, nih seperti ini, " aku melempar kulit pisang ke tempat sampah di sebelahku. "Nggak guna, Ros, apalagi kalau laki-lakinya kere, nggak pakai pikir panjang, ku usir dia dari rumah! ""Kamu kenapa, sih, Fir? " mas Arga terlihat jengkel dengan penuturanku. "Apa sih, Mas? Orang cuma seumapanya doang, kok. Ya, kan, Ros? " Entah kenapa, Rosi bersemangat sekali membahas hal seperti ini. Tapi apapun alasannya, ia sudah seperti mendukungku. "Betul, Mbak. ""Rosi sudah, dibilang jangan ngomporin tetep aja ngomong, " ujar ibu menengahi. Rosi tampak bete dengan ucapan ibunya. Ia kembali melihat layar ponselnya dengan wajah cember
Part 5 Surat Perjanjian Rumi datang menghampiriku, ia duduk di kursi sampingku, juga dengan ibu yang ikut membersamai kami. "Kenapa, Mbak? "Aku mengeluarkan selembar kertas dari saku gamisku, meletakkannya di atas meja. "Tanpa basa-basi ya Rum, aku mau kamu tanda tangan ini, sekalian nanti suamimu, ibu dan mas Arga juga."Rumi mengambil kertas tersebut. Matanya membelalak ketika ia mulai membacanya. Karena rasa penasaran, ibu pun ikut membacanya. Selembar surat perjanjian yang dibubuhi materai di dalamnya. Ini ku gunakan sebagai pengikat agar, jika terjadi sesuatu diluar dugaanku kedepannya, mereka tetap membayar angsuran bank, dimana sertifikat tanah tempatku tinggal yang dijaminkan. "Loh, maksudnya apa ini, Mbak?" Rumi tampak bingung. "Iya, Nduk, kenapa tiba-tiba pakai surat perjanjian segala?""Buat kesepakatan aja, biar Tama atau Rumi nggak telat bayar angsurannya. Kan, masalahnya pakai sertifikatku, jadi buat jaga-jaga. "Raut wajah Rumi mulai berubah. Ia seperti kesal mend