Pukul 7:55 pagi. Dari arah pintu masuk kantor, Anita berlari sambil memeluk sebuah tas seharga ninja 250cc. Beberapa orang yang juga hendak masuk ke kantor, di serobotnya.
“Maaf,,, permisi, permisi,,,” ucapnya saat menyerobot beberapa karyawan yang berjalan santai di depannya.
Beberapa pegawai yang di serobot secara tidak sopan menjadi geram. Namun saat mereka tahu orang yang menyerobot adalah Anita, mereka malah cepat-cepat memberi jalan sekaligus memberi salam.
“Pagi, Bu,,,” ucap beberapa dari mereka dengan penuh hormat.
Tak ada yang tidak menyapa Anita. Satpam yang berjaga pun juga melepas senyumnya untuk Anita.
Anita sedang berdiri di depan meja pantri sambil melihat satu persatu jenis kopi hitam yang di belinya kemarin sepulang kerja. Ada sekitar 7 merek kopi yang ia beli. Ia melihat kopi-kopi itu dengan saksama, sambil memikirkan kopi mana yang akan ia buat terlebih dahulu.“Waduh mau jualan nih Bu ceritanya?” sapa Jaka menghampiri Anita sambil cengengesan.Jaka baru saja menyelesaikan tugasnya mengisi galon air di lantai 25 sampai 29. Dan kini sedang istirahat sejenak untuk mengatur kembali nafasnya.“Bisa di bilang seperti itu,” jawab Anita tanpa melirik Jaka yang berdiri disampingnya.Jaka beranjak menjauh dan duduk kembali di kursi sofa yang
Anita mulai menyajikan satu demi satu kopi yang iya beli. Mulai dari Moccacino,“Silakan Pak,,,” dengan senyum lebar.Lalu Cappuccino,“Selamat menikmati, Pak,,,” senyum merekah.Lanjut ke kopi hitam dengan kombinasi gula aren,“Semoga Bapak suka,” masih dengan senyum.Lalu kopi Gajah,“,,,,” hanya senyumDan yang terakhir kopi Ekspresso.“Se-la-mat me-nik-ma-ti Pak,” dengan senyum lebar yang di kombinasikan dengan wajah mengerut menahan amarah.Dan dari semua jenis kopi yang menghabiskan gaji hariannya menjadi OB. Tak ada satu kopi pun yang di teguk habis oleh Sagara. Semua cuma di minum seteguk-seteguk.Jaka, Bu Ida dan Lendra yang sedang di pantri merasakan aura mematikan dari arah Anita
Dalam kamar yang sepi dan sendiri, Anita duduk bersandar pada tembok kamarnya. Laptop yang baru ia beli 3 bulan lalu, yang tergeletak di antara rak buku dan gelas pensil, dipandangnya muram.“Haahh.... Padahal baru saja kau aku beli dengan susah payah. Sampai-sampai aku tidak beli stok jajan bulanan hanya agar aku bisa segera membelimu. Tapi kini kau malah hanya tergeletak di sana tanpa melakukan apa-apa,” kata Anita merasa kecewa.Masih dalam ketermenungan, Anita kembali berpikir tentang semua usaha dan pencapaian yang ia lalui selama bekerja di DA.crop. Semua jerih payah dan pengorbanan yang ia lakukan, kini terasa bagai mimpi yang hanya lewat dalam pikirannya. Semua kenyataan yang beberapa waktu lalu ia rasakan begitu nyata. Kini terasa begitu semu dan menyedihkan.&
Pagi hari, di kantor. Sagara sedang memeriksa beberapa dokumen penting di atas mejanya yang kemarin sempat tertunda. Ia membaca dokumen-dokumen itu dengan teliti dan penuh konsentrasi. Namun konsentrasinya menjadi pecah saat ia mulai menyadari bahwa sudah lebih dari 10 menit Anita berdiri sambil memandanginya.“Ada apa kau melihatku seperti itu terus? Aku tahu aku sangat tampan. Tapi bukan berarti kamu boleh melihatku selama hampir 15 menit tanpa berpaling,” seloroh Sagara yang seketika membuyarkan tatapan kasihan Anita padanya.Sejak pagi Anita tak henti memikirkan kondisi hati Sagara. Anita yang pernah merasakan putus cinta tentu merasa prihatin dengan Sagara. Namun rasa prihatinnya seketika melebur saat Sagara melontarkan kata-kata yang mampu membuat urat kesal Anita muncul ke permukaan kulit kepala
Jam istirahat kerja masih tersisa 15 menit. Anita pun masih duduk mengobrol lepas dengan pak Braham. Namun di tengah obrolan yang terdengar bagai obrolan anak dan ayah, sebuah panggilan telepon masuk di handphone Pak Braham dan menghentikan obrolan keduanya.Pak Braham segera mengangkat teleponnya.Wajah Pak Braham terlihat serius dan tegang saat mendengar pembicaraan orang di balik telepon itu. Sesekali, ia melirik ke arah Anita. Seolah-olah, yang sedang di bicarakan oleh penelepon itu berkaitan dengannya.“Ah, iya Pak. Baik, iya baik, Pak,”Anita memandang wajah Pak Braham selidik. Ia menebak-nebak dalam hati, siapa orang yang telah menelepon Pak Braham sam
Belajar dari pengalamannya, untuk hari ini, Anita sudah membuat 50 gelas kopi sekaligus. Ia mengantar kopi sebanyak itu menggunakan meja troli seperti yang ada di restoran-restoran.Awalnya ia merasa kesulitan saat membawa kopi sebanyak itu. Namun Anita tetap melakukan hal berlebihan tersebut sebagai bentuk protesnya atas sikap Sagara yang kian menjadi.“Hoi! Kau mau membunuhku? Untuk apa kau membawa kopi sebanyak ini? Apa kau lupa kalau aku punya mag? Aku bisa mati karena kopi sebanyak ini!” protes Sagara saat mejanya sudah dipenuhi 20 gelas kopi, sisanya masih ada di meja troli.“Memang lebih baik Bapak mati saja! Aku sudah lelah membuatkan kopi untuk Bapak. Sudah hampir 500 gelas kopi dalam 2 minggu ini, dan Bapak masih t
Di dalam sebuah mall. Dua wanita berparas cantik sedang berjalan sambil membawa barang belanjaan yang jumlahnya cukup banyak dan menyusahkan. Mereka adalah Anita dan Cecilia.“Hei, apa sebanyak ini barang yang mesti dibeli?” tanya Cecilia cemberut sambil membawa berkantung-kantung belanjaan di kedua tangannya.“Ya,,, begitu lah. Pokoknya kita harus membeli semua yang ada di catatan itu. Tidak kurang tidak lebih,” jawab Anita sambil tersenyum senang.Cecilia mengernyitkan kening. Dia merasa ada yang tak beres pada Anita. Dugaannya bukan dilandasi akan jumlah belanjaan yang cukup banyak. Namun, pada ekspresi Anita yang sudah begitu bahagia sejak berangkat dari rumah. Dan ekspresi itu tetap bertahan sampai detik ini juga.
Suara dengkuran lirih terdengar dari bibir tipis tanpa lapisan lipstik, yang di mana di ujung bibir itu terdapat genangan air yang membasahi batal bersarung putih dengan motif bunga di pinggirannya.“Cih, dasar wanita. Di luar selalu tampak rapi dan anggun. Tapi jika sudah di tempat tidur seperti ini, penampilannya menjadi sangat mengerikan!” gerutu Sagara yang sudah berpakaian santai namun tetap menampilkan sosok cool serta tampannya. Ia kini berdiri tepat di samping Anita sambil terus memandangi wajah tidurnya.“Hoi, bangun! Mau sampai kapan kamu tidur? Ini sudah siang, bukankah seharusnya kamu membangunkan aku jam 7?” seru Sagara dengan kesal.Kemarin malam Sagara sudah berpesan pada Anita untuk membangunkan dirinya