“Entahlah. Seseorang yang tersesat,” jawab Nora pelan.“Oh, kupikir kenalanmu. Dia membuatku cemburu sedikit.”Senyum itu muncul lagi. Manis. Beracun.“Tapi aku tetap lega lihat kamu bisa jalan. Jadi sebenarnya sakit kamu separah itu atau hanya ingin menyendiri?”Nora menatapnya lekat-lekat. “Kamu juga tahu jawabannya.”Janu tertawa kecil, lalu mengambil satu langkah lebih dekat. Terlalu dekat.“Aku cuma khawatir, Ra. Jangan salah paham. Kamu tahu aku selalu peduli.”Peduli?Peduli sampai tega mencampur racun ke dalam susu?Tenggorokan Nora terasa panas. Tapi dia menahan semuanya. Dia harus tetap berpura-pura.“Kamu bisa melihat rekam medisku, Mas,” katanya sambil tersenyum paksa. “Aku harus kembali. Tidak kuat kalau harus berlama-lama di luar.”Tepat saat dia hendak menghindar, terdengar suara dari ujung lorong.“Bu Nora?”Mereka menoleh bersamaan. Chalia berdiri di sana, tampak agak bingung dan kehabisan napas.“Oh,” kata Chalia pelan. “Aku cari kamu, Mas. Ada pasien yang butuh pers
Udara pagi masih lembap saat Nora berjalan menyusuri koridor administratif lantai atas rumah sakit. Wajahnya dibiarkan pucat tanpa riasan. Dia mengenakan jaket tipis di atas gaun rawat, menyamarkan fakta bahwa dia masih pasien terdaftar. Tidak ada yang menyapanya. Semua tahu, jika putri Direktur sedang berada di rumah sakit, maka jangan ajukan pertanyaan.Pintu ruangan itu terbuka setelah satu ketukan pelan.“Pagi, Pa,” katanya datar.Dr. Harsanta, lelaki berusia akhir 50-an dengan mata tajam dan suara berat, duduk di balik meja kerjanya. Pandangannya langsung terangkat.“Nora? Seharusnya kamu masih di ruang rawat.”“Aku tahu. Tapi aku perlu bicara.”***Tak lama kemudian, mereka sudah duduk berhadapan. Di antara mereka, secangkir teh yang mulai dingin dan selembar berkas yang belum sempat dibuka.“Jadi kamu ingin tetap tinggal di kamar 306. Dan minta agar rekam medis kamu dibuat menurun?” Dr. Harsanta menekankan kata terakhir dengan nada tak percaya.Nora mengangguk.“Bahkan kalau p
Lampu di lorong lantai tiga redup dan lembab. Sepi, nyaris seperti bukan bagian dari rumah sakit. Rindu menggenggam clipboard erat di tangannya saat berhenti di depan pintu kamar 306. Dia menarik napas panjang. Entah mengapa, ada kegelisahan yang merayap sejak panggilan dari ruang jaga tadi.Tiga ketukan pelan.Lalu pintu dibuka.Ruangannya bersih dan senyap. Di tengahnya, berbaring seorang perempuan dengan selimut setinggi perut. Rambut hitam panjang menjuntai ke bantal. Wajahnya pucat, tapi tenang. Sorot matanya tajam, namun ramah. Dan tanpa perlu ditanya, Rindu tahu—ini pasti Nora.“Ibu Nora?” sapa Rindu, berusaha menyembunyikan getaran kecil di suaranya.Perempuan itu mengangguk pelan. “Iya. Kamu dari bagian perawatan malam?”“Residen jaga. Diminta bantu observasi karena Dokter Galang sedang—”“Berhalangan, ya,” potong Nora cepat, tapi tetap sopan. “Silakan.”Rindu melangkah masuk dan mulai mencatat suhu tubuh, detak jantung, kondisi kulit, serta gejala-gejala yang disebutkan dala
Malam sudah turun ketika Janu memarkir mobilnya kembali di area belakang rumah sakit. Dia baru saja mengantar Chalia pulang. Gadis itu masih setengah gelisah, mempertanyakan apakah teh earl grey yang disimpannya beracun. Tapi bagi Janu, kecurigaan Chalia hanya bagian dari efek stres.“Kamu terlalu capek, Chal. Bukan semua hal harus dicurigai,” katanya tadi, sambil merapikan rambut perempuan itu dengan lembut.“Teh basi bisa saja sebabkan gangguan jantung ringan. Lagipula, siapa yang bisa meracuni teh itu? Kamu yang menyimpannya, kan?”Chalia sempat mengangguk, ragu. Tapi seperti biasa, Janu tahu titik lemahnya. Sedikit pelukan, nada suara lembut, dan janji untuk sarapan bersama minggu depan, cukup untuk meredakan segalanya.Sekarang, di lorong rumah sakit yang setengah sepi, Janu berjalan perlahan ke arah ruang data pasien. Pikirannya sepenuhnya pada Nora. Dia ingin tahu. Sedikit saja. Hanya agar bisa tetap selangkah di depan.Namun sebelum mencapai tangga belakang, suara langkah terg
Pintu kamar 306 terbuka pelan. Dokter Galang muncul dengan langkah cepat dan wajah sedikit letih. Tangannya menggenggam clipboard, tapi matanya langsung menatap Nora yang sedang duduk bersandar di ranjang yang mengenakan selimut tipis dan wajah datar seperti biasa.“Kemarin saya janji kontrol siang, tapi maaf saya agak terlambat,” ujar Galang sambil mendekat.“Tidak apa-apa, Dok,” jawab Nora ringan, meski matanya menyorot sedikit tajam. “Saya tahu dokter pasti sibuk.”Galang mengangguk singkat. Dia memeriksa tensi, denyut nadi, lalu menulis sesuatu di lembarannya. Tapi kali ini gerakannya tidak setenang biasanya. Ada jeda dalam gestur tangan. Ada sesuatu di balik tatapannya yang tak sepenuhnya medis.“Sebenarnya... saya baru saja dari IGD. Ada insiden,” katanya sambil meletakkan stetoskop.Nora menoleh. “Insiden?”Galang menarik napas pendek. “Suster Yati kolaps. Tiba-tiba. Kami duga henti jantung mendadak.”Sekujur tubuh Nora menegang. Tapi wajahnya tetap diam. Terkendali. Terlatih.
“SUSTER YATI!” Chalia melonjak dari kursinya, berlutut di sisi perawat itu.Perawat jaga berlari masuk saat mendengar suara benturan.“Kode biru! Cepat!” seru Chalia.Mereka bekerja cepat. Dalam waktu dua menit, tim medis mulai menangani Yati yang kini tak sadarkan diri. Napasnya tak teratur, irama jantungnya memburuk.Chalia berdiri di pojok ruangan, menatap kosong, napasnya naik-turun.Serangan jantung? Tapi Suster Yati jarang sakit …. Dia menoleh perlahan pada cangkir teh yang kini terguling di meja. Cairan cokelat keemasan itu menyebar ke permukaan meja. Harumnya masih tercium.Teh itu …. Mungkinkah teh itu?Dia menggigit bibir.Bukan... bukan itu penyebabnya. Tapi—Tiba-tiba dia teringat. Teh itu bukan dari pantry umum. Itu milik pribadi Janu, yang dia simpan di lemari kecil sejak minggu lalu. Teh earl grey kemasan Inggris, jenis yang tidak dijual di minimarket biasa.Kenapa Janu tidak pernah meminumnya akhir-akhir ini, ya? Pikiran itu hanya sekilas. Lalu dia menggeleng.“Jangan