Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah tirai jendela. Monitor detak jantung di samping ranjang menunjukkan angka stabil. Meski tubuhnya masih lemah, otak Janu mulai menyusun rencana. Dia tahu, ini bukan waktu untuk sembarangan percaya.Pintu kamar diketuk pelan sebelum terbuka.“Pagi, Mas,” suara Chalia terdengar hangat seperti biasa, tapi matanya menyimpan kekhawatiran. Dia membawa nampan berisi sarapan dari rumah sakit.“Aku ambilkan bubur ayam dan teh tawar hangat. Katanya Mas Janu belum boleh makanan berminyak.” Dia tersenyum, berusaha tampak santai.Janu menatapnya. Lama. Terlalu lama.Mata itu tak sekadar melihat, tapi seperti membedah isi hati. Tatapan yang dulu membuat Chalia merasa dihargai, kini terasa menginterogasi.Chalia mengernyit. “Kenapa kamu melihatku begitu?”Janu tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh pada gelas teh.“Kamu yang buatkan?” tanyanya lirih, tapi tajam.“Dari rumah sakit,” jawab Chalia cepat. “Disiapkan petugas. Aku cuma bawa ke sini.”Janu me
Langkah mereka berdua terdengar pelan menyusuri lorong sunyi rumah sakit. Chalia berjalan setengah langkah di depan, masih gelisah, sedangkan Nora menyusul di sampingnya. Wajah tampak letih tapi senyumnya tetap terpasang anggun."Nanti aku pulang sendiri," kata Nora ringan. "Kamu masih kerja, kan?"Chalia hanya menjawab dengan anggukan kecil.Beberapa langkah lagi sebelum pintu lift, Nora menoleh ke arah Chalia. "Boleh kita bicara sebentar di taman depan? Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Chalia ragu sejenak, tapi mengangguk juga. Mereka berdua berbelok ke arah taman kecil di sisi rumah sakit. Matahari sore mulai turun, langit meredup ke jingga yang dingin.Di bangku taman yang sepi, Nora duduk lebih dulu, lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Chalia duduk, menjaga jarak. Sikapnya tetap waspada.Nora menatap lurus ke taman. Nadanya lembut saat mulai bicara."Aku tahu, mungkin aku bukan istri terbaik. Dan aku juga tahu hubunganku dengan Janu sudah hancur sejak lama
Langkah kaki Nora terdengar berulang di lantai marmer, menyelinap di antara bayangan lampu malam rumah sakit. Rambutnya digerai asal. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, tapi mata itu, mata yang menyimpan bara kemarahan yang terpendam lama berkilat dingin.Ponsel masih di tangan. Pesan dari dokter jaga tadi baru saja masuk.“Pasien atas nama Dr. Janu Prada Adhyaksa sudah stabil. Masih belum sadar, tapi kondisi mulai menunjukkan perbaikan.”Jari Nora menekan layar hingga layarnya padam.Mulutnya menegang.“Stabil?” pikirnya. “Stabil?”Dadanya bergemuruh. Langkahnya semakin cepat, nyaris menyeruduk udara yang menghalangi.“Harusnya dia mati. Harusnya dia berhenti bernapas di lantai itu. Kenapa... kenapa selalu ada yang menyelamatkannya di menit-menit terakhir?”Wajahnya memerah karena amarah yang ditahan.Dia sudah merencanakan semuanya dengan rapi. Kopi. Gula diet. Dosis yang cukup untuk membuat jantungnya menyerah. Tak ada yang akan curiga, karena semua akan percaya Janu sedang stres, dro
Tangan Chalia menggenggam tangan Janu yang dingin, mencoba menenangkannya. Tapi di balik rasa panik dan naluri medis, pikirannya mulai menjerat dirinya sendiri.“Ini sama dengan kejadian yang menimpa Suster Yati…”“Teh earl grey. Dan sekarang kopi.”Dia menoleh cepat ke meja, menatap cangkirnya sendiri yang belum tersentuh. Tapi dia tahu, kopi dan gula itu dibeli sendiri oleh Janu. Sama seperti teh earl grey. Chalia hanya menyimpannya. Tidak mungkin kopi atau gula itu kadaluarsa. Pasti ada sesuatu. Sesuatu yang entah bagaimana caranya tercampur di sana dan membuat Janu kolaps. Pelan-pelan, kulit leher Chalia meremang.“Tidak mungkin…” gumamnya.Tapi bagian dari dirinya tahu. Jika memang ada yang mampu meracik semuanya diam-diam, menyusun rencana dengan sabar dan dingin, itu bukan orang asing. Mungkin salah seorang di rumah sakit ini. Mungkin Rindu. Atau Nora?Suara langkah cepat terdengar dari luar. Beberapa perawat dan seorang dokter jaga berlari masuk. Mesin EKG portabel didorong k
Langkah Janu cepat dan berat. Wajahnya tegang. Napasnya tak beraturan. Percakapan terakhir dengan Pak Harsanta masih terngiang di telinganya. Tentang racun, tentang Nora, tentang perceraian yang akan dikawal pengacara. Tangannya mengepal saat mendorong pintu ruang praktiknya.Brak! Dia membuka pintu dengan kasar. Chalia yang tengah berada di dalam ruangan itu terkejut. Dia menoleh cepat dari kursi di sudut ruangan. Masih memegang map yang tadi belum sempat diserahkan. “Dokter…”Janu tidak menyahut. Dia langsung menuju lemari. Mengambil kotak kecil, meraih beberapa buku, mencabut foto dari bingkai. Semua dilakukannya dengan kasar. Tergesa. Hampir meledak.“Kalau memang mereka mau membuang aku, ya sudah,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Tiga belas tahun kerja dibayar dengan surat skorsing dan ancaman.”Chalia berdiri perlahan, mendekat dengan hati-hati.“Kamu butuh bantuan untuk membereskan ini?”Janu menggeleng keras. “Tidak. Aku cuma butuh sesuatu untuk menenangkan kepala.”Chalia m
Langit mendung. Di balik kaca jendela lorong, bayangan hujan menggantung. Di ruang kecil yang sepi, Janu duduk di bangku kayu. Masih mengenakan jas putih yang kini tak lagi berarti apa-apa. Jas itu tak bisa menyelamatkannya dari skorsing. Dari aib. Dari kejatuhan yang terasa pelan tapi pasti.Chalia berdiri tak jauh darinya, menyandarkan punggung di dinding. Matanya menatap kosong ke lantai. Mereka tidak bicara selama beberapa menit.Akhirnya, Janu bersuara. Suaranya serak, seperti ditarik paksa dari tenggorokannya yang kering.“Menurutmu siapa yang merekamnya?”Chalia tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahu kecil, seperti enggan terlalu dalam.“Ruangan itu dulu pernah dipasang sistem pengawasan. Tapi katanya sudah dicabut. Mungkin ada yang menyimpan aksesnya atau diam-diam memasang lagi.”Janu mengangguk pelan. Tapi pikirannya tidak di situ. Pikirannya memutar ulang hari demi hari. Raut wajah. Tatapan orang-orang. Detail kecil yang dulu diabaikannya. Lalu, seperti desis ul