Home / Romansa / Secangkir Teh Untuk Suamiku / Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

Share

Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

Author: Vargsagen
last update Last Updated: 2025-06-19 12:16:03

Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas.

Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.

“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.

Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.

“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.

“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.

Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.

Seakan tak terjadi apa pun.

Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan memuji masakannya, hal yang sudah lama tak dia lakukan.

Setelah makan malam, mereka duduk di sofa, menonton televisi yang tak benar-benar ditonton. Janu mengusap punggung Nora. Membelai rambutnya pelan. Membisikkan kalimat yang bahkan terdengar tulus.

Di balik senyum dan sentuhan, Janu menyimpan kegelapan yang tak bisa dijangkau oleh cahaya dari rumah sekecil ini.

Pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, membawa cahaya lembut yang memantul di dinding kamar. Janu membuka mata perlahan. Napasnya tertahan. Jantungnya berdegup begitu cepat, seperti genderang perang.

Dia menoleh ke samping. Nora masih terlelap, wajahnya tenang seperti biasanya. Bahkan terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Janu menatapnya lama, mencoba membaca kemungkinan tanda-tanda penyesalan yang mungkin muncul dalam hatinya. Tapi tak ada. Yang ada justru kekosongan dingin.

Dia bangkit, melangkah ke kamar mandi, membasuh wajah, lalu memandangi dirinya di cermin.

“Hari ini,” bisiknya pelan. “Semuanya akan dimulai.”

Ketika keluar, aroma teh melati sudah menggantung di udara.

Nora menyambutnya di meja makan seperti biasa, dengan senyum hangat dan sepiring roti panggang. “Selamat pagi,” ucapnya. “Kamu tidur nyenyak?”

Janu mengangguk kecil, lalu duduk. Tangannya masih gemetar sedikit saat meraih cangkir teh.

“Kamu kelihatan gugup,” kata Nora sambil menuang jus ke gelasnya sendiri. “Ada yang salah?”

Janu buru-buru menyembunyikan kegelisahan dalam tawa pelan. “Bukan apa-apa. Hari ini ada janji dengan pasien penting. Orang besar. Banyak yang harus dipersiapkan.”

“Oh?” Nora menaikkan alisnya. “Sampai segugup itu?”

Janu mengangkat bahu. “Hmm, iya,” jawabnya cepat. “Anak direktur rumah sakit tetangga. Biasa, banyak maunya.”

Nora hanya mengangguk pelan.

Tanpa banyak bicara lagi, dia membuka botol kapsul minyak ikan di atas meja, mengambil satu, dan menelannya sambil meneguk sedikit air. Janu memperhatikannya diam-diam. Pergerakan yang begitu sederhana tapi terasa monumental. Kapsul itu ... sudah masuk ke dalam tubuh Nora.

Janu menunduk, pura-pura membaca pesan di ponsel. Tapi hatinya berdegup lebih kencang dari sebelumnya.

“Terima kasih sudah bangun lebih pagi dan membuatkan sarapan,” ucapnya kemudian, setengah tercekik di tenggorokan sendiri.

Nora menoleh, menatapnya. “Tentu saja. Aku istrimu, Jan.”

Janu mencoba tersenyum. “Iya. Kamu istri yang paling baik.”

Sangat baik, pikirnya. Terlalu baik sampai membuatnya semakin sulit bernapas.

Nora menatapnya beberapa detik. Dia tak tahu. Di dalam dada Janu, badai mulai bergerak. Dia baru saja menyaksikan sesuatu yang tak bisa dibatalkan: kapsul itu tertelan. Racun itu resmi masuk dalam tubuh Nora.

Dan sekarang… yang tersisa hanyalah waktu.

Langkah Janu terdengar mantap di koridor rumah sakit, tapi di balik sepatu kulit yang berdetak rapi di lantai itu, tubuhnya masih terasa ringan karena gugup. Bukan karena pasien penting seperti yang dia katakan pagi tadi. Tapi karena kapsul yang sudah tertelan oleh istrinya. Rencana yang selama ini hanya berupa bisikan kelam kini mulai mewujud dalam kenyataan.

Saat memasuki ruang praktik, Chalia sudah lebih dulu ada di sana. Gadis itu berdiri di samping meja, tubuhnya kaku, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan perutnya.

Begitu mata mereka bertemu, ada kegelisahan tak tersamar di wajah Chalia. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mendekat pelan. Suaranya nyaris hanya gumaman, seolah takut dinding bisa mendengar.

“Sudah?” tanyanya dengan mata membulat penuh kecemasan.

Janu menjawab dengan anggukan kecil, disertai senyum yang dipaksakan. “Sudah. Dia menelannya pagi ini.”

Chalia menelan ludah. “Tuhan .…”

Janu menyentuh lengan gadis itu singkat. “Tenang. Semuanya terkendali. Kita tinggal menunggu saja. Jangan tunjukkan apa-apa hari ini.”

Chalia masih tampak pucat, tapi mengangguk. “Aku… aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar.”

“Sudah terlalu jauh, Chal,” bisik Janu. “Sekarang tinggal sabar sedikit lagi. Setelah semua ini beres, aku akan menepati janjiku.”

Mereka saling diam beberapa detik sebelum suara ketukan di pintu membuat keduanya tersentak. Pasien pertama hari itu tiba.

Mereka berdua kembali menjalankan peran masing-masing. Janu sebagai dokter yang tenang dan ramah. Chalia sebagai asisten yang tanggap dan profesional. Tapi di balik senyum dan tatapan sopan, keduanya menahan ledakan gugup dalam dada.

Setiap detik terasa panjang. Setiap panggilan dari ponsel membuat jantung mereka hampir meloncat.

Dan di sela-sela pasien, saat ruangan sempat kosong, mata mereka kadang bertemu lagi. Tak banyak kata, hanya anggukan kecil untuk memastikan bahwa mereka masih berada dalam satu rencana, satu kebohongan, dan satu dosa yang semakin dalam.

*

Pagi itu, rumah terasa terlalu penuh oleh ketenangan yang artifisial.

Janu baru saja berangkat. Seperti kemarin, sikapnya tak bercela. Bahkan terlalu manis untuk ukuran seseorang yang seminggu lalu nyaris tak pulang dan lebih sering menghabiskan malam dengan diam atau pura-pura lelah.

Nora berdiri lama di depan wastafel. Tangannya masih menggenggam cangkir teh melati yang tinggal setengah. Aroma bunga-bunga itu biasanya menenangkan. Tapi pagi ini justru memicu gelombang mual halus yang entah dari mana datangnya.

Ada yang aneh.

Bukan hanya pada sikap Janu yang mendadak penuh perhatian. Tapi lebih pada caranya seolah sedang berusaha melebihkan segalanya. Cara Janu mengusap punggung Nora saat lewat di belakangnya. Cara dia mengucapkan, “Hati-hati,” dua kali. Dan cara dia menyentuh tangan Nora saat berpamitan, terlalu lama.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 8 Terhimpit

    Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin. Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak. Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf. Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus. Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi. Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa. Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya. Mungkinkah hanya kebetulan? Mungkin

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

    Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas. Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.Seakan tak terjadi apa pun.Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 6 (Bukan) Permainan Kecil

    Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara. “Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi perma

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 5 Pertanyaan Beracun

    Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya. Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi s

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 4 Jejak Yang Tertinggal

    Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia. Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pag

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 3 Yang Tersembunyi

    Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu. Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status