Langkah-langkah Nora terdengar berat dan hampa ketika melintasi lorong rumah sakit. Dinding putih yang dulu tampak steril kini terasa mencekik. Udara penuh aroma disinfektan, tapi bagi Nora, semuanya tercium seperti sisa luka yang tak sempat diobati.Dia tiba di ruang persemayaman jenazah tanpa ekspresi. Seorang perawat membukakan pintu untuknya. Di dalam, aroma bunga lili menyergap, menusuk seperti ironi yang kejam. Di tengah ruangan, terbaringlah tubuh Janu, diselimuti kain putih. Papa Nora berdiri di dekat pintu. Keningnya berkerut samar. Berulang kali dia menyeka pelipis. Pak Harsanta sedang dipenuhi duka dan kekhawatiran. Saat melihat Nora masuk, lelaki tua itu segera menghampiri dan meraih tangan putrinya.“Turut berduka, Nora...” bisiknya sambil menggenggam erat. “Kamu kuat, ya.”Nora mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Tidak ada air mata. Tidak ada tangis. Hanya dada yang kosong dan berat, seperti ada batu yang ditanam permanen di dalamnya.Di sudut ruangan, du
Detak jantung Janu seperti palu besar yang menggedor dari dalam dada. Suara di sekeliling terdengar seperti gema dari sebuah lorong yang sangat jauh. Teriakan, langkah kaki, instruksi cepat yang dilemparkan para paramedis. Semuanya terdengar samar, seperti diputar dalam slow motion. Janu masih sadar. Tapi hanya sebagian. Tubuhnya sudah tidak merespons. Dia merasa terkurung dalam kulitnya sendiri. Nafasnya berat. Setiap helaan terasa seperti usaha mendaki tebing curam tanpa tali pengaman. Dingin mulai menjalar dari ujung jemarinya ke lengan, lalu merambat ke dada. Tapi bukan rasa sakit yang paling mengusiknya. Melainkan apa yang muncul dalam pikirannya. Bukan Chalia. Bukan Rindu. Bukan para pasien. Tapi Nora. Dan setelah itu, kilasan demi kilasan datang, seperti sorotan lampu yang berkedip dalam sebuah ruangan gelap. Dia melihat wajah Rindu yang menangis di pojok ruangan setelah dipaksa untuk diam. Lalu suara tangis Chalia, saat dia berjanji akan menikahinya tapi kembali men
Langkah kaki Janu begitu ringan menyusuri lorong rumah sakit. Seolah hari itu hanya milik orang-orang yang baru saja lepas dari masa karantina batin. Jas dokternya berkibar pelan saat membuka pintu ruang praktik. Tapi belum sempat menarik napas, Chalia sudah berdiri di sana. Perempuan itu bersandar di meja dengan tangan menyilang dan sorot mata menusuk.“Jadi... kamu bertemu dia semalam?”Nada suara Chalia tajam layaknya ujung pisau bedah yang menembus kulit. Janu menutup pintu perlahan, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi.“Rindu?” tanyanya ringan, berpura-pura tak paham. “Iya. Aku hanya ingin minta maaf. Itu saja.”Chalia tertawa sinis. “Cuma minta maaf? Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu kira aku tidak tahu kamu mencari dia? Kamu mengikuti Rindu seperti anak anjing kesepian!”Janu menatapnya datar, tapi suaranya tetap tenang. “Chal, kamu terlalu posesif. Kita sudah membahas ini berulang kali. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya secara dewasa.”“Tapi kamu janji sama aku!” suara C
Rindu menatap tangan Janu yang menggenggam jemarinya. Untuk sesaat, jantungnya berdebar lebih kencang. Sentuhan Janu memang selalu berefek seperti itu. Namun, detik berikutnya Rindu ingat apa yang dikatakan lelaki itu di ruang sidang. Seketika amarah memuncak. Dia langsung menarik diri dengan kasar."Jangan sentuh aku, Dok,” ujarnya tajam.Janu sempat terdiam, tak menyangka reaksi itu akan begitu dingin dan tegas."Aku sudah cukup bersabar selama ini," lanjut Rindu. "Dan aku sudah muak jadi bagian dari kebohongan kamu."“Rindu…” Janu mencoba menenangkan, tapi gadis itu sudah berdiri.“Aku tidak peduli kamu mau memperbaiki hidup atau apapun. Aku sudah tidak peduli lagi!”Wajah Janu menegang. Tapi dia tetap memasang ekspresi tenang. “Aku cuma ingin kita bicara baik-baik. Tanpa harus saling menyakiti.”Rindu tertawa miris. “Sayangnya, kamu tidak pernah bisa bicara tanpa menyakiti orang lain.”Dia meraih tasnya dengan gerakan cepat, lalu berbalik menuju pintu. Bunyi berdebam bergema cukup
Nora tidak ingin duduk diam di rumah hari itu. Dia tahu jika tinggal terlalu lama di rumah, kegugupannya bisa meledak menjadi kepanikan. Maka sejak pagi, dia mengenakan gaun kasual biru muda, mengaplikasikan lipstik tipis, dan melangkah keluar seolah dunia sedang baik-baik saja.Dia berjalan di antara toko-toko kecil di pusat kota, mampir ke butik kesukaannya, mencicipi beberapa parfum tester, lalu membeli satu botol wewangian dengan aroma cedar dan bunga iris. Setelah itu, Nora menuju salon untuk perawatan singkat. Rambutnya dikeriting lepas, sedikit volume ditambahkan. Wajahnya diberi perawatan. Hanya agar dirinya terlihat lebih hidup. Lebih percaya diri. Lebih tak tergoyahkan.Namun jauh di balik semua itu, jantungnya berdetak tak menentu.Aconitine. Dia sudah menyelundupkannya ke dalam teh. Kotak itu pasti sudah diterima Chalia pagi tadi. Dan jika semuanya berjalan sesuai rencana, racun itu akan mulai bekerja. Diam-diam. Menyebar ke dalam tubuh Janu. Meninggalkan jejak samar yang
Langkah kaki Janu terdengar mantap menyusuri lorong rumah sakit. Jas dokternya masih rapi dan licini. Wajahnya bersih. Rambutnya tersisir rapi. Di balik senyum tipisnya, tersimpan semacam antusiasme aneh. Namun semua kesiapan itu goyah begitu membuka pintu ruang praktiknya. Chalia sudah ada di sana. Duduk di kursi tamu dengan tangan terlipat di depan dada. Tak ada senyum. Tak ada tawa manja seperti biasanya. Hanya tatapan lurus dan kaku, penuh api yang tertahan. Janu mengerutkan dahi. “Pagi,” ucapnya sambil melirik ke meja kerjanya. Di sana, tergeletak sebuah kotak kado mungil dengan pita putih. Di atasnya tertera kartu kecil bertuliskan satu nama, Rindu. Janu sempat menyentuh kotak itu, lalu menoleh ke arah Chalia. “Kamu yang taruh ini?” “Bukan,” jawab Chalia cepat. “Tapi aku yang menerima paket itu saat diantar tadi pagi. Aku kira dari pasien atau temanmu. Ternyata Rindu, ya?” Janu menarik napas. “Chalia—” “Jawab saja pertanyaanku!” Chalia berdiri, membuang muka sejenak sebel