Cahaya sore merayap masuk melalui celah tirai ruang rawat inap, membentuk garis-garis tipis di lantai. Aroma antiseptik bercampur samar dengan bau teh manis yang mulai dingin di meja kecil sebelah ranjang. Nora duduk di bersandar di tempat tidur. Tangan kanan memegang mug yang sejak tadi tidak dia teguk.Di hadapannya, Papa duduk dengan punggung sedikit membungkuk. Seperti sedang menahan sesuatu yang berat di pikirannya. Pria itu menatap putrinya lama, lalu tersenyum tipis. Senyum yang terlihat dipaksakan tapi penuh niat melindungi.“Nora,” katanya pelan, “apa pun yang mereka katakan, jangan terlalu dipikirkan. Keluarga Janu itu suka membesar-besarkan. Dulu saja waktu Janu jatuh dari sepeda motor, mereka bilang itu ‘karena ada yang mendorong’. Kalau sekarang mereka ribut-ribut soal racun, papa yakin itu cuma omong kosong.”Nora menoleh pelan. Mata hitamnya memantulkan cahaya redup dari jendela, tanpa ekspresi yang bisa dibaca. “Mereka bilang begitu?” suaranya datar, tapi ada nada ing
Kesadaran Nora datang perlahan, seperti kabut pagi yang terangkat pelan dari udara basah. Nora belum membuka matanya, tapi dunia mulai merayap masuk ke pikirannya. Samar tapi jelas. Cukup untuk membuat dadanya terasa berat.Yang pertama kali muncul di benaknya bukan tanya, bukan kekhawatiran, tapi wajah itu. Wajah pucat Janu yang terbujur diam di ranjang semayam.Mati. Sudah mati.Wajah itu. Yang dulu dia kecup setiap pagi dengan harapan. Yang dulu dia tatap saat tidur. Saat menangis, saat bahagia, saat ingin menyerah. Kini hanya tinggal potret beku. Terlalu pucat. Terlalu tenang untuk seseorang yang pernah begitu kejam.Nora merasakan ada sesuatu yang menyayat di dadanya. Sakit. Tapi hanya itu. Tak ada air mata. Tak ada gejolak. Tak ada sedih.Hanya kekosongan yang menggantung, dingin, dan asing.Perlahan, telinganya mulai menangkap suara-suara. Samar. Mengambang. Dia masih membiarkan kelopak mata tertutup.“Dia mulai siuman.” Suara seorang perempuan. Mungkin perawat.“Oh, Nora…,”
Langkah-langkah Nora terdengar berat dan hampa ketika melintasi lorong rumah sakit. Dinding putih yang dulu tampak steril kini terasa mencekik. Udara penuh aroma disinfektan, tapi bagi Nora, semuanya tercium seperti sisa luka yang tak sempat diobati.Dia tiba di ruang persemayaman jenazah tanpa ekspresi. Seorang perawat membukakan pintu untuknya. Di dalam, aroma bunga lili menyergap, menusuk seperti ironi yang kejam. Di tengah ruangan, terbaringlah tubuh Janu, diselimuti kain putih. Papa Nora berdiri di dekat pintu. Keningnya berkerut samar. Berulang kali dia menyeka pelipis. Pak Harsanta sedang dipenuhi duka dan kekhawatiran. Saat melihat Nora masuk, lelaki tua itu segera menghampiri dan meraih tangan putrinya.“Turut berduka, Nora...” bisiknya sambil menggenggam erat. “Kamu kuat, ya.”Nora mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Tidak ada air mata. Tidak ada tangis. Hanya dada yang kosong dan berat, seperti ada batu yang ditanam permanen di dalamnya.Di sudut ruangan, du
Detak jantung Janu seperti palu besar yang menggedor dari dalam dada. Suara di sekeliling terdengar seperti gema dari sebuah lorong yang sangat jauh. Teriakan, langkah kaki, instruksi cepat yang dilemparkan para paramedis. Semuanya terdengar samar, seperti diputar dalam slow motion. Janu masih sadar. Tapi hanya sebagian. Tubuhnya sudah tidak merespons. Dia merasa terkurung dalam kulitnya sendiri. Nafasnya berat. Setiap helaan terasa seperti usaha mendaki tebing curam tanpa tali pengaman. Dingin mulai menjalar dari ujung jemarinya ke lengan, lalu merambat ke dada. Tapi bukan rasa sakit yang paling mengusiknya. Melainkan apa yang muncul dalam pikirannya. Bukan Chalia. Bukan Rindu. Bukan para pasien. Tapi Nora. Dan setelah itu, kilasan demi kilasan datang, seperti sorotan lampu yang berkedip dalam sebuah ruangan gelap. Dia melihat wajah Rindu yang menangis di pojok ruangan setelah dipaksa untuk diam. Lalu suara tangis Chalia, saat dia berjanji akan menikahinya tapi kembali men
Langkah kaki Janu begitu ringan menyusuri lorong rumah sakit. Seolah hari itu hanya milik orang-orang yang baru saja lepas dari masa karantina batin. Jas dokternya berkibar pelan saat membuka pintu ruang praktik. Tapi belum sempat menarik napas, Chalia sudah berdiri di sana. Perempuan itu bersandar di meja dengan tangan menyilang dan sorot mata menusuk.“Jadi... kamu bertemu dia semalam?”Nada suara Chalia tajam layaknya ujung pisau bedah yang menembus kulit. Janu menutup pintu perlahan, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi.“Rindu?” tanyanya ringan, berpura-pura tak paham. “Iya. Aku hanya ingin minta maaf. Itu saja.”Chalia tertawa sinis. “Cuma minta maaf? Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu kira aku tidak tahu kamu mencari dia? Kamu mengikuti Rindu seperti anak anjing kesepian!”Janu menatapnya datar, tapi suaranya tetap tenang. “Chal, kamu terlalu posesif. Kita sudah membahas ini berulang kali. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya secara dewasa.”“Tapi kamu janji sama aku!” suara C
Rindu menatap tangan Janu yang menggenggam jemarinya. Untuk sesaat, jantungnya berdebar lebih kencang. Sentuhan Janu memang selalu berefek seperti itu. Namun, detik berikutnya Rindu ingat apa yang dikatakan lelaki itu di ruang sidang. Seketika amarah memuncak. Dia langsung menarik diri dengan kasar."Jangan sentuh aku, Dok,” ujarnya tajam.Janu sempat terdiam, tak menyangka reaksi itu akan begitu dingin dan tegas."Aku sudah cukup bersabar selama ini," lanjut Rindu. "Dan aku sudah muak jadi bagian dari kebohongan kamu."“Rindu…” Janu mencoba menenangkan, tapi gadis itu sudah berdiri.“Aku tidak peduli kamu mau memperbaiki hidup atau apapun. Aku sudah tidak peduli lagi!”Wajah Janu menegang. Tapi dia tetap memasang ekspresi tenang. “Aku cuma ingin kita bicara baik-baik. Tanpa harus saling menyakiti.”Rindu tertawa miris. “Sayangnya, kamu tidak pernah bisa bicara tanpa menyakiti orang lain.”Dia meraih tasnya dengan gerakan cepat, lalu berbalik menuju pintu. Bunyi berdebam bergema cukup