Devan telah mengenakkan seragamnya. Setelah semalaman anak itu membuat Nathan kelimpungan, sekarang anak itu terlihat begitu bersemangat untuk bersekolah. Walaupun wajahnya masih nampak sedikit pucat, namun anak itu terlihat begitu sehat dengan keaktifannya.
Nathan menatap Devan khawatir. Sebenarnya, ia melarang putra semata wayangnya itu untuk bersekolah. Akan tetapi anak itu tetap kekeuh bahwa ia akan tetap pergi ke sekolah. Mendengar rengekan terus menerus Devan, terpaksa Nathan mengabulkan permintaan Devan. Daripada membuat anak itu terus merengek layaknya sebuah kereta butut.
"Papa, ayo cepat. Devan tidak mau terlambat hanya karena keleletan Papa!" Ucap Devan kesal.
"Serius kamu mau berangkat ke sekolah? Besok saja ya. Papa temani kamu di rumah. Bagaimana?" Tanya Nathan.
"Atau mau ditemani kakek?" Sahut Dimas.
"Tidak mau
Nathan menyelurusi lorong demi lorong dengan tergesa. Ia tak sabar untuk mengetahui kondisi anaknya. Jantungnya sudah berdegup sejak tadi, semakin berdegup karena ia berlari terlalu cepat. Nathan sedikit bisa bernafas lega saat melihat tulisan "UKS" sudah berada di depan matanya. Dengan segera, Nat membuka pintu itu. Ia melihat Clara yang masih mengelus rambut lepek Devan yang masih belum sadarkan diri."Clara, bagaimana keadaan Devan?" Tanya Nathan."Devan belum sadar dari tadi Pak. Makanya saya telefon Bapak. Saya sudah berusaha membangunkannya, tapi semua usaha saya sia-sia. Saya juga tidak bisa meminta bantuan pada guru, karena mereka semua sedang rapat. Mungkin karena mereka tahu, kalau Devan sudah ada yang menjaganya." Jelas Clara."Terimakasih sudah menjaga Devan. Kalau begitu, saya akan membawa Devan ke rumah sakit. Apakah kamu ingin ikut
Nathan tersenyum gemas saat melihat Clara tersenyum malu-malu. Clara terlihat menggemaskan jika tersenyum seperti itu. Hal itu membuat jantung Nathan seperti lari marathon. Berdetak cepat sekali. Apa mungkin Clara telah membuatnya jatuh hari terhadapnya. Entahlah, biarlah waktu yang menjawabnya. Devan mulai membuka matanya. Ia melihat dua orang yang terpaut jauh usianya berada di depan matanya. Ia yakin, salah satu orang itu adalah Papanya. Tapi, satu orang yang hampir membuatnya tidak percaya adalah sosok perempuan yang ada di samping ayahnya. Setelah mengetahui sosok yang ada di samping papanya, Devan langsung membuka matanya lebar-lebar. Ia tidak menghiraukan rasa pusing yang menjalar pada kepalanya saat ia membuka mata. "Mama? Mama ada disini? Tuhan, apakah ini mimpi? Jika ini mimpi, aku tidak mau terbangun kembali." Ucap Devan pada dirinya sendiri.
Clara mendengus kesal saat namanya disebut-sebut oleh Alvin dan Nathan. Ia tidak suka jika namanya disebut-sebut seperti itu. Ia tidak begitu jelas mendengar apa yang mereka katakan. Akan tetapi,ia tahu betul jika mereka sedang membicarakan mereka. Clara menatap Alvin dan Nathan tidak suka. Hal itu membuat orang yang ditatap mengernyit heran."Ada apa?" Tanya Alvin pada Clara."Kalian ngomongin aku ya? Jika membicarakan orang itu di depan orangnya langsung. Yang keras, jangan bisik-bisik seperti orang yang kena typus." Ucap Clara kesal."Lho, memangnya kami membicarakan tentang kamu? Kamu saja yang memiliki kepedean tingkat dewa." Jawab Alvin dengan nada bercanda."Kata siapa? Aku bisa mendengarkannya sendiri kalau kalian membicarakanku! Kalian tidak membicarakan yang tidak-tidak kan?""Kami tidak membicarakan hal yang tidak-tidak tentang a
Devan baru saja bangun dari tidurnya. Ia mencari keberadaan sang papa. Ia panik saat tak melihat batang hidung papanya. Devan takut sendirian. Ia bukan anak lelaki pemberani yang bisa melakukan semuanya sendiri saat ia ditinggal sendirian. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berusaha mencari keberadaan papanya. Devan panik saat tak ada seorang pun yang ada di dalam ruang rawatnya. Ia takut jika mengalami seperti yang ia lihat di televisi. Saat ada seseorang sendiri, banyak sekali hantu yang mengintip. Saking takutnya, Devan sampai merinding sendiri. Ia ketakutan, ruangannya begitu sepi dan mencekam. Tidak ada suara sama sekali."PAPAAAAAA!!!!!!" Teriak Devan ketakutan. Nathan yang masih berada di luar ruangan Devan kalut. Anaknya berteriak begitu keras. Dengan segera ia berlari menuju ke ruangan sang anak. Benar saja,
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Ini kedua kalinya Clara memasuki rumah Nathan. Namun, Clara masih berdecak kagum saat memasuki kediaman Nathan. Suasananya masih sama seperti saat ia datang pertama kali. Ia menatap Nathan yang membawa Devan dalam gendongannya. Sebenarnya, Devan belum diperbolehkan pulang. Namun, anak itu terus menerus merengek agar segera pulang. Berakhir sang dokter mengabulkan keinginan Devan karena anak itu menangis kencang sekali. Nathan segera membawa Devan ke dalam kamarnya. Disusul oleh Clara yang terus mengekori Nathan di belakangnya. Tidak tahu kenapa Clara melakukan itu. Yang jelas ia tidak tahu harus melakukan apa di rumah sebesar ini. Lagipula, ia belum terlalu mengenali Nathan. Jadi, ia merasa sungkan untuk melakukan apa yang ia inginkan."Kenapa kamu mengikuti saya?" Tanya Nathan sembari merebahkan Devan."Tida
Clara hanya terus mengangguk-anggukkan kepalanya saat Dimas terus saja bercerita. Jujur, ia sudah bosan mendengar celotehan dari pria itu. Jika ia tidak ingat tentang sopan santun, mungkin ia sudah menyuruh pria itu berhenti berbicara. Namun, ia segera sadar. Ia hanyalah orang yang sedang menumpang disini. Ia tidak memiliki kuasa sedikitpun untuk menyuruh pria itu segera menutup mulutnya. Nathan pun sama. Ia sudah beberapa kali menguap lebar. Ia sangat mengantuk mendengar cerita dari Dimas. Ia beberapa kali melirik jam, menghitung berapa lama Dimas berceloteh. Jika Nathan menyela, mungkin Dimas akan marah besar kepadanya. Dima merupakan type orang yang tidak suka disela.".... Jadi seperti itu." Final Dimas. Clara bisa bernafas lega. Setelah telinganya panas karena mendengar cerita dari Dimas, akhirnya ia bisa terlepas dari suara celotehan i
Clara langsung merebahkan tubuhnya pada ranjang berukuran sedang milik Devan. Ia sudah tidak memperdulikan dimana tempat ia berada. Yang ia fikirkan hanyalah bagaimana ia bisa memejamkan matanya dengan nyaman. Clara langsung memeluk Devan yang berada disampingnya. Ia merasakan rasa hangat yang masih menjalar pada tubuh anak itu. Berharap, dengan mendapatkan pelukannya Devan bisa lebih baikan. Hati Devan sorak bergembira. Tanpa meminta pun, Clara sudah memeluknya dengan senang hati. Ia tidak menyangka jika Clara akan mudah luluh hanya karena ia sedang sakit. Devan yakin, jika dalam posisi sehat, Clara akan sulit untuk memeluknya. Mendapat kesempatan emas, Devan balik memeluk tubuh Clara dengan erat. Ia senang sekali hari ini. Jika sakit bisa dipeluk Mama, Devan rela jika setiap hari merasakan sakit.  
Clara baru saja bangun dari tidurnya. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Ia melihat Devan yang masih terlelap. Sepertinya tidur anak itu begitu lelap, sampai-sampai ia tidak menyadari pergerakannya sedikitpun. Bahkan, posisi anak itu masih sama seperti sebelumnya. Clara bangkit. Ia, tidak nyaman dengan rasa lengket do tubuhnya. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya. Ia harus mencari seseorang. Ya, siapa lagi kalau Nathaniel? Orang itu yang telah membawanya ke tempat ini. Jadi, ia harus bertanggung jawab atas semuanya. Clara memfokuskan pandangannya pada seseorang. Sepertinya itu Nathan. Benar, dugaan Clara tidak salah. Ia adalah Nathan. Ia sedang memfokuskan pandangannya pada sebuah laptop di depannya."Pak Nathan?" Panggil Clara ragu. Nathan sedikit terlonjak. Hampir s