Share

Part 5

         Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan.

"Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan.

"Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya.

"Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin."

"Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu."

          Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.

           Clara melirik Audrey, berniat meminta pertolongan. Tapi, Audrey malah menggedikkan bahunya, pertanda ia juga tak tahu.

            Pak Mamang dan Bi Inah segera menghampiri Devan. Mereka merasa tak enak jika Devan akan berbuat lebih. Dengan pelan. Bi Inah segera menarik Devan dari pelukan Clara.

"Aden, pulang yuk. Papa pasti udah nungguin Aden. Tadi papa den Devan katanya pulang lebih awal." Ucap Bi Inah lembut.

"Nggak mau! Devan maunya sama Mama. Devan nggak mau sama Papa!" Sentak Devan.

"Adek, pulang ya. Nanti papa kamu nungguin." Ucap Clara.

"Nggak mau! Devan maunya pulang sama Mama. Nanti Mama bohong lagi sama Devan! Pokoknya Devan mau pulang sama Mama!"

            Clara menghela nafas. Ia harus menemukan cara agar terlepas dari bocah ini.

"Dek, kakak ke toilet dulu ya. Kak Audrey, ayo."

           Kemudian Clara membisikkan beberapa kalimat pada Bi Inah. "Bi, maaf saya tinggal ya Bi. Saya benar-benar tidak tahu anak ini. Bibi bisa ajak dia pulang. Selamat tinggal dan terimakasih."

           Clara segera meninggalkan Devan yang menatap tak rela diikuti oleh Audrey. Devan melengkungkan bibirnya kebawah. Tak rela jika ditingal 'mamanya' pergi lagi.

"Bi, mama nggak akan tinggalin Devan lagi kan?" Tanya Devan pada Bi Inah.

"Katanya dia memiliki urusan, jadi pergi lebih cepat. Kita pulang yuk, papa udah nunggu di rumah."

         Devan hanya mengangguk lesu. Ingin sekali ia menunggu kedatangan Clara. Namun, ia tak mau lagi berharap. Hatinya terlanjur sakit karena beberapa kali dibohongi. Tapi, Devan tak akan menyerah. Ia harus bisa membawa mamanya pulang kembali.

                              ***

           Nathan memijit kepalanya pelan. Ia baru saja mendapat kabar bahwa salah satu karyawannya melakukan kesalahan besar. Ia tak menduga jika ini terjadi. Karyawan kepercayaan melakukan korupsi yang cukup besar. Hal itu menyebabkan perusahaannya mengalami sedikit masalah. Beberapa investor tiba-tiba mencabut saham yang telah di tanam di perusahaannya. 

             Tangan Nathan begitu gatal. Ingin sekali  ia mencabik-cabik tubuh itu sampai tak berbentuk. Tapi ia ingat. Negara ini menganut sistem HAM, jadi ia tak mau mendekam di penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati akibat mencabik-cabik salah satu karyawannya yang begitu kurang ajar terhadapnya. 

          Nathan harus menghubungi seseorang. Iya. Ia masih membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan masalah ini, walaupun ia bisa menyelesaikannya sendiri, tetap saja, dikerjakan secara bersama-sama akan membuat pekerjaan itu akan cepat selesai. Dengan perasaan dongkol ia segera menghubungi sekretarisnya, Jovian.

                              ***

            Jovian baru saja pulang dari perusahaannya. Ia begitu bahagia bisa pulang lebih awal di banding biasanya. Tak tahu kenapa, sang bos begitu baik hati hari ini. Semua karyawan diperbolehkan pulang lebih awal. Mungkin sang bos sedang dalam keadaan yang cukup baik. Tidak seperti biasanya.

           Baru saja ingin melangkahkan kaki ke dalam rumahnya, tiba-tiba ponselnya bergetar hebat, membuat dada Jovian terasa geli karena ponselnya di letakkan pada saku kemejanya. Dengan segera ia mengangkat ponsel itu, sebelum ia mati karena kegelian.

"Halo." Ucap Jovian.

"Halo. Jovian, cepat datang ke rumah saya sekarang!" Ucap seseorang dari seberang sana.

"Pak Nathan? Memangnya ada apa pak sampai saya diperintahkan untuk kesana? Apa ada masalah?" Tanya Jovian.

"Jangan banyak tanya! Cepat kamu ke rumah saya sekarang. Cepat datang, kalau kamu terlambat datang. Jangan harap gajimu akan sama seperti biasanya!"

"Aduh pak. Jangan dipotong gaji saya. Kalau dipotong, saya tabungan untuk saya menikah akan berkurang."

"Tidak perlu banyak bicara. Datang sekarang!"

          Jovian menghela nafas. Baru saja ia memuji bahwa bosnya baik hati. Tiba-tiba saja sang bos langsung berubah menjadi sosok iblis. 

           Hancurlah semua rencana yang telah ia susun saat perjalanan pulang. Ia ingin berkencan dengan kekasih cantiknya. Kemudian mereka akan melakukan hal-hal romantis layaknya sebuah drama. Namun, rencaba itu tinggalah sebuah rencana. Gara-gara bosnya yang super , dengan terpaksa Jovuian harus menghapus semua rencana yang telah ia susah payah. 

                              ***

   

           Alvin sedang menunggu kedatangan Audrey dan Clara. Ia terlihat begitu asik bermain sebuah game di tangannya. Sesekali ia berteriak dengan keras saat ia memenangkannya. Saking asiknya bermain game, ia sampai tak menyadari kedatangan sang istri dan Clara.

         Audrey gemas sendiri melihat tingkah sang suami yang tak jauh beda dengan anak kecil. Dengan kesal, ia memukul pundak sang suami dengan keras. Dengan tak berperasaan, Audrey mengambil ponsel sang suami cepat.

"Audrey? Kamu sudah pulang? Seharusnya kalau kamu pulang pencet tombol dulu, atau minimal ngucapin salam kek." Ucap Alvin.

"Aku sudah memencet tombol berkali-kali. Kamunya aja yang budeg, sampai nggak denger suara bel yang segitu kerasnya. Asik banget ya kayanya sampai lupa jemput istri sendiri."

           Alvin menepuk keningnya sendiri. Ia benar-benar lupa, jika ia berjanji pada sang istri bahwa ia akan menjemputnya.

"Aduh sayang, maaf. Aku lupa. Tapi kamu ada ongkoskan buat pulang?" Tanya Alvin.

"Hm."

           Clara cukup merasa jengah dengan drama picisan di depannya ini. Ia ingin segera meninggalkan mereka berdua. Daripada menjadi nyamuk yang tak diperdulikan keadaannya.

"Kak Alvin, Kak Audrey, Clara ke kamar dulu ya. Mau bersih-bersih sekalian istirahat dulu." Ucap Clara.

"Kamu capek? Yaudah, sekarang kamu mandi terus istirahat. Kasihan sekali adik kakak." Sahut Alvin.

         Clara mengangguk pelan. Kemudian ia meninggalkan Audrey dan Alvin yang masih melanjutkan drama picisan itu.

"Sayang, Clara gimana?" Tanya Alvin pada Audrey.

"Gimana apanya?"

"Maksudnya dia bisa nggak bantuin kamu?"

"Bisa kok. Walaupun masih dalam tahap belajar, Clara sudah termasuk cekatan sebagai anak baru. Dia juga cerdas, bisa melayani pembeli dengan baik. Tapi, aku cukup kasihan dengannya. Dia terlihat kelelahan sekali, mungkin karena sebelumnya dia belum pernah bekerja."

"Memang belum. Kamu tahu sendiri kalau usianya belum legal. Apalagi kedua orang tuanya sangat memanjakannya. Jadi sangat tak mungkin jika Clara bekerja. Terimakasih ya, sudah menjaga Clara dengan baik hari ini."

"Sama-sama. Clara kan sudah aku anggap sebagai adik aku sendiri. Jadi, aku melakukan semua itu dengan senang hati."

          Alvin memeluk tubuh Audrey dengan perasaan membuncah. Ia bersyukur memiliki istri yang begitu perhatian dan selalu memahami akan keadaan. Sedangkan Audrey dengan senang hati menerima pelukan Alvin. Pelukannya terasa hangat sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status