"Duke apa tidak ingin menemui, Viola. Dia baru sadar," ucap Duchess Lilliana seraya menaiki ranjangnya, ia duduk menyamping menghadap Duke Cristin yang memejamkan matanya, bersendekap dan menyandarkan lehernya ke bantal yang di sisi ranjangnya.
"Aku tidak ada waktu menemuinya, membuang waktu ku saja," ujar Duke Cristin seraya menoleh ke samping, menatap istrinya.
"Viola pasti senang, jika Duke menengoknya walaupun sebentar." Duchess Lilliana mencoba menawar, mungkin saja Duke Cristin mau menemui Viola. Memberikannya semangat agar cepat pulih.
"Dia datang kesini karena dirimu, Duchess. Bukan karena diriku. Aku menikahinya juga karena dirimu. Bagi ku sudah cukup menghargainya sekaligus menerimanya menjadi istri ku." Tegas Duke Cristin. Ia langsung membenarkan posisinya, membaringkan tubuhnya dalam posisi miring, memunggungi Duchess Lilliana. Ia kesal, Duchess Lilliana selalu memaksanya untuk melihat Viola yang tak berarti apa-apa untuknya.
Keesokan harinya.
Viola mengucek matanya saat merasakan sinar matahari yang mengganggu tidurnya. "Nona, bangunlah ini sudah pagi," ucap seorang wanita tersenyum melihat Viola masih mengucek matanya."Aku ngantuk, jangan mengganggu ku," ucapnya seraya menarik selimutnya kembali.
"Nona, jika Tuan Duke tau, pasti Nona akan di marahi."
Viola beranjak duduk dengan mata terpenjam. "Apa kamu tau? Aku tidak peduli mau dia marah atau tidak, yang jelas aku mengantuk."
"Nona, pasti tuan Duke dan Nyonya Duchess menunggu Nona untuk sarapan pagi."
Viola tersenyum, menurut ingatannya. Duke Cristin tidak peduli mau dia makan atau tidak yang peduli hanyalah Duchess Lilliana saja. Dia membuka matanya. "Apa kamu lupa? Dia tidak pernah menginginkan aku ikut sarapan? Apa perlu aku memutar otak mu? Agar kamu mengingatnya?"
Viola menyingkapi selimutnya dengan kasar. Ia merasa kesal dengan perkataan pelayannya, Milea.
"Nona, maaf aku hanya."
"Sudahlah, aku haus. Mulai saat ini siapkan teko air di atas nakas." Ucapnya berlalu pergi.
Dengan baju tidur berwarna putih dan rambut yang terurai panjang sampai ke punggungnya. Ia berjalan ke ruang makan. Setiap pelayan meliriknya dan saling berbisik-bisik. Viola melirik dua pelayan yang berhenti mengepel dan langsung menunjuk kedua matanya kemudian menunjuk kedua mata pelayan yang berbisik itu. Kedua pelayan itu langsung pergi dengan wajah menunduk, mengerti ancaman Viola.
"Kenapa dia keluar dengan pakaian seperti itu? Apa dia tidak tau sopan santun."
Viola menghentikan langkah kakinya. Ia mundur beberapa langkah tepat di hadapan kedua pelayan itu. "Katakan sekali lagi." Ia menarik rambutnya sampai mendongak. "Kamu hanya pelayan, setidaknya kamu ingat status mu, bukan. Katakan sekali lagi, aku pastikan mulut mu akan aku robek."
Viola melepaskan rambutnya dengan kasar. Sampai wanita itu membentur dinding. Sementara satu pelayan itu. Viola langsung menamparnya dengan keras sampai tubuh pelayan itu jatuh ke lantai.
"Aku sudah biasa membaca novel dan komik sampai aku harus mendengarkan sendiri."
Viola berjongkok, "Jika telinga ku mendengarkannya lagi. Aku pastikan kalian akan di tendang dari kediaman Duke."
Viola berdiri, tersenyum sinis. Dia melihat kanan dan ke kiri, menatap para pelayan yang menunduk melihat semua apa yang dia lakukan.
Viola memutar tubuhnya, melanjutkan langkah kakinya di ikuti Milea.
"Nona,"
Kedua pelayan yang menyambutnya di ambang pintu merasakan hawa dingin saat Viola menatapnya satu per satu.
"Adik,"
Duchess Lilliana berdiri, ia menyambut Viola dengan senyum ramah. "Kenapa kamu bangun? Aku bisa mengantarkan sarapan untuk mu."
"Tidak perlu kak, sudah ada Milea. Aku kesini hanya ingin minum."
"Sayang kamu tidak perlu memanjakannya. Dia akan manja dan lupa akan statusnya," ucap Duke Cristin tanpa melihat Viola.
Viola tersenyum miring. Ia mengambil sendok selai itu dan langsung menjatuhkan ke piring membuat Duke Cristin mendongak. Ia menatap Viola dari atas ke bawah. Baru kali ini dia melihat seorang wanita memakai baju tidur. Kain putih yang menerawang.
"Status ya, aku tidak pernah melupakan status ku sebagai istri kedua yang tidak di anggap." Viola memperlihatkan jari tangannya. "Kedua, istri di abaikan, ketiga, istri perusak, keempat, pengganggu kehidupan rumah tangga orang dan penghasil keturunan. Aku pun Viola, tidak pernah menginginkan menjadi istri mu." Viola menarik dagu Duchess Lilliana yang terkejut. "Jika bukan karena kakak tersayang dan balas budi. Demi apa pun, aku tidak akan mau dengan mu. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Setelah aku melahirkan keturunan mu. Aku ingin bercerai Oh, jangan berfikir aku mau di sentuh oleh mu Tuan Duke yang terhormat. Aku melakukan itu, karena aku tidak lupa hutang budi ku."
Setelah mengatakan unek-uneknya. Viola menuju ke dapur. Ia menuangkan air di dalam teko itu ke cangkir gelas itu. Ia meneguk airnya untuk meredakan amarahnya.
"Viola, jaga sikap mu. Apa kamu tidak tahu sopan santun."BrakViola menjatuhkan gelas di tangannya secara kasar. "Aku tahu sopan santun ku, setelah sarapan, aku akan menemui mu," ucap Viola. Dia melanjutkan meneguk air di gelasnya kemudian menatap sinis ke arah Duke. Lalu menaiki tangga menuju lantai atas.Seusai makan malam, Duke Cristin mengantarkan Viola ke kamarnya. Kedua berjalan dengan rasa canggung tanpa menimbulkan suara."Selamat malam Vio.."Duke Cristin tersenyum dan hendak pergi. Namun sebuah tangan menghentikannya. "Apa Duke tidak tidur di kamar ini? Maksudnya kita tidur bersama."Seulas senyum muncul di kedua sudut bibir Duke Cristin. Ia lalu menoleh dan mengelus tangan Viola yang sedang memegangnya. Duke Cristin memeluk Viola, mendekapnya dengan erat. Menumpahkan tangisannya ke bahunya. Tubuhnya bergetar di irikan isakannya."Aku mencintai mu, Viola. Sangat! Sangat mencintai mu. Demi apapun, akan aku lakukan."Dalam sekali kedipan, buliran bening itu mengalir deras. "Viola." Hatinya sangat sakit mengingat semua perlakuannya.Demi membentengi hatinya, ia menyakiti wanita yang rela untuk Duchess dan dirinya, tapi ia tidak pernah tahu, bahagiakan dia? Seharusnya ia menanyakannya. "Viola."Viola melerai pelukannya, meng
Viola menatap ke arah langit, buliran salju turun mengenai wajahnya.Duke Cristin yang melihatnya dari jauh pun menghampirinya, tangannya bergerak membuang buliran salju yang mengenai pipi kanannya."Duke."Duke Cristin menahan air matanya, wanita yang berdiri di hadapannya, wanita yang dulunya ia abaikan demi Duchess, mencoba membencinya karena takut akan ada hati yang terluka. Namun perasaan itu tumbuh dan semakin tumbuh, sehingga ia tidak bisa mengabaikannya dan malah ingin menggenggamnya.Diam-diam ia mencintai wanita itu, mengorbankan perasaannya demi seorang wanita, tapi sekarang ia bahagia sangat bahagia. Meskipun ia tidak ingin Duchess pergi, karena bagaimana pun juga. Wanita itulah yang hadir untuk pertama kalinya dalam hidupnya."Terima kasih telah bersedia kembali."Viola diam, ia masih belum memberitahukan. Bahwa hatinya telah menerima Duke. Ia ingin tahu, seberapa besar cinta sang Tuan Duke padanya."Ya,
Viola mengetuk pintu Javier, ia mengetuk dengan hati-hati. "Sayang."Tidak ada sahutan, Viola memberanikan diri memasuki ruangan itu.Diedarkannya pandangannya itu ke seluruh ruangan, namun tidak menemukan sosok yang ia cari. Hingga pandangannya melihat gorden yang terombang-ambing terbawa angin."Sayang...""Jangan memohon, Bu. Ibu tahu, aku tidak bisa melihat air mata Ibu. Aku tidak bisa.... "Viola berusaha menahan air matanya. "Apa yang harus ibu lakukan, Sayang?""Apa Ibu masih mencintai Ayah?""Ibu tidak tahu, yang ibu tahu. Ibu masih kecewa. Bisakah kami egois menginginkan orang tua bersama. Bisakah kami egois menginginkan Ibu dan Ayah bersama, kita lalui bersama."DegViola tersenyum, berusaha meyakinkan hatinya. "Ibu akan menuruti mu, ibu akan berusaha menerima Ayah mu."Javier seketika memutar tu
Duke Cristin semakin terpukul, sangat jelas Viola menolaknya dan hal itu membuat Duke Aland tertawa sinis."Viola apa maksud mu? Kita belum bercerai dan tidak ada kata cerai di antara kita." Duke Cristin mengalihkan pandangannya. "Lebih baik kalian pergi, kalian tidak di undang di sini.""Aku memiliki urusan, aku tidak bisa menemani kalian," ujar Viola dengan halus. Ia tidak mau menyinggunga keduanya.Lagi-lagi Viola membuatnya cemburu, perkataan Viola yang halus membuat cemburu. "Viola."Viola berdiri, ia memilih pergi dari pada harus mendengarkan perkataan Duke."Tunggu Duke!" Cegah Duke Aland. "Sebaiknya Duke menjauh dari Nyonya Viola.""Apa maksud mu?" Duke Cristin menarik kerah baju Duke Aland, kemudian melepaskannya dengan kasar. "Dan kamu, kamu hanyalah masa lalu atau mantan kekasih Viola. Dia sekarang adalah istri ku, jadi jangan mengganggunya lagi." Duke Cristin menatap laki-laki di samping Duke Aland. Peringatan tegasnya membuat la
Sepanjang malam Viola memikirkan perkataan Eryk, sebuah surat yang berada di tangannya. Memikirkan nama Jasper dan Javier."Apa aku kembali saja?""Tapi rasanya."Tak terasa sinar matahari mulai memasuki kaca jendela, Viola masih tak bergeming di kursinya, lelah berdiri. Ia memilih untuk duduk.TokTokTok"Nyonya sarapan sudah siap," ujar Milea.Viola pun mendekati pintu, ia keluar dengan hati tak karuan. Duduk di tengah-tengah kedua putranya, di raihnya susu di sampingnya itu, dalam sekali teguk, susu itu pun tandas tanpa tersisa."Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu?" Tanya Javier. Mungkin karena sosok ayahnya yang datang dan mengganggu pikiran ibu. Ia sudah tahu semuanya, Duke Cristin adalah Ayahnya dan Eryk adalah kakak angkatnya.Sejujurnya ia sangat ingin memiliki keluarga lengkap, tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak akan memaksa keinginan sang ibu. Kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaannya.E
Duke Cristin memegang pergelangan tangan laki-laki di sampingnya, kedua ekor matanya pun melirik laki-laki itu.Ia ingat betul, sebelum menikahi Viola. Ia sudah menyelidiki semua identitas Viola termasuk kekasihnya."Lepaskan tangan anda dari istri ku."Laki-laki itu langsung melepaskan tangannya. Namun sorot matanya mengisyaratkan permusuhan yang mendalam."Vio, bisakah kita bicara." Pinta laki-laki itu memohon."Apa maksud anda?" Duke Cristin berpindah tempat. Dia menjajarkan tubuhnya dengan tubuh Viola. Kemudian merangkul pinggangnya. "Viola adalah istri ku, jadi anda harus meminta ijin pada ku, tapi aku tidak mengijinkannya."Duke!"Viola menggoyangkan bahu kanannya agar Duke Cristin memundurkan tubuhnya. Ia merasa risih dengan lirikan orang."Sayang, apa kamu merasa malu? Emm baiklah, aku akan meminta jatah pada mu nanti malam. Kamu ingat kan, nanti malam janji mu.""Duke!""Ah, iya. Aku tahu, jangan ma