"Maaf, Nona. Tuan sedang sibuk dan tidak ingin di ganggu," ucap seorang laki-laki yang menghalangi jalannya saat memasuki ruangan kerja Duke Cristin.
Viola melirik, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Dia langsung menepis tangan yang mengalangi jalannya. Kemudian membuka handle pintu di depannya. "Nona, jangan lancang." Bentak sang Kesatria.
Viola menghentikan kembali langkahnya. Saat tubuh kekar itu di depannya. "Duke!" Teriak Viola menggelagar di ruangan itu.
"Nona!" Bentak laki-laki itu seraya menatap tajam.
Duke Cristin menghentikan aktivitasnya. Dia menatap sang kesatria dan istri keduanya. "Biarkan dia menemui ku, Luis."
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa mencegah nona Viola memasuki ruangan Tuan."
Duke Cristin mengangguk, kemudian Kesatria Luisa memberikan hormat dan berlalu pergi.
"Ada apa?" Tanya Duke Cristin datar. Dia tidak memiliki banyak waktu meladeni wanita di hadapannya. "Langsung ke intinya saja."
Dasar sombong, siapa juga yang mau menghabiskan waktu dengan mu batin Viola menyunggingkan bibirnya.
Viola melangkah, dia memberikan sebuah kertas. Tulis tangannya sendiri dan sudah tercantum tanda tangannya. Entah bagaimana dia bisa melakukannya, mungkin karena jiwanya telah melekat pada pemilik tubuhnya aslinya. "Ini,"
Duke Cristin mengekrutkan keningnya.
"Bacalah," ujarnya ketus. Tanpa Duke Cristin menyuruhnya duduk. Dia sudah mendaratkan bokongnya ke kursi di belakangnya.
Duke Cristin membaca tulisan tangan Viola. Sebuah perjanjian tertulis dimana Duke Cristin menjadi pihak pertama sedangkan Viola menjadi pihak kedua. Di dalam perjanjian itu tertulis. Pihak kedua, atas nama Viola Wilson akan memberikan anaknya dan setelahnya bercerai dan selama pernikahan, Duke Cristin maupun Viola tidak akan ikut campur urusan masing-masing.
"Baiklah, aku tidak perlu repot-repot menyuruh mu keluar dari kediaman Duke." Tanpa ada keraguan apapun, Duke Cristin membubuhkan coretan indahnya ke kertas itu. Pertanda, perjanjian itu telah resmi.
Miris sekali hidup mu Viola. Tidak ada kesedihan di matanya. Justru matanya mengatakan kesenangan. Ah, ingin sekali aku membotakin kepalanya.
"Baiklah, setelah menikah. Aku akan tetap menemui putra ku. Dan Duke tidak boleh memisahkan aku dengan anak ku. Aku anggap Duke tidak membicarakan masalah ini." Seru Viola.
"Ini,"
Duke Cristin memberikan kembali kertas itu ke Viola.
"Tidak perlu, Duke saja yang menyimpanya," ucap Viola seraya berdiri.
Duke Cristin masih menatap punggung itu menghilang di balik pintunya. Kemudian matanya menatap kertas di tangannya. "Apa yang terjadi dengannya? Apa karena terjatuh, membuat otaknya tak berfungsi. Viola sangat berbeda, tatapan matanya, gaya bicaranya dan gaya tubuhnya. Seolah aku berbicara dengan orang asing. Ck, ya sudahlah, masa bodoh. Aku tidak akan berfikir panjang, biarkan saja dia melakukan sesuka hatinya."
Sesampainya di lantai bawah. Viola melihat Duchess Lilliana sedang mondar mandir dengan wajah cemas.
"Duchess,"
Duchess Lilliana berlari, dia memeluk tubuh Viola. Kecemasan terlihat jelas di matanya. "Viola aku takut, Duke berbuat sesuatu pada mu."
Duchess Lilliana melepaskan pelukannya.
"Tidak," Viola menaikkan kedua bahunya. "Tidak ada yang terjadi, aku hanya ingin ijin keluar. Itu saja," ujar Viola menghilangkan kecemasan Duchess Lilliana.
"Kami ikut aku, aku ada undangan perjamuan teh," ucap Duchess Lilliana. Sejak tadi, dia memang menunggu Viola selain menanyakan apa yang di bahas oleh Viola. Dia juga ingin mengajak Viola ke perjamuan teh.
"Perjamuan?"
Viola mencoba mengingat apa yang terjadi di pesta perjamuan itu. Dan ingatan itu, membuatnya memejamkan matanya mengingat betapa menyedihkannya Viola saat di hina oleh bangsawan. "Baiklah, aku akan ikut."
Aku akan membuat wanita bangsawan itu bungkam. Kalau perlu aku akan menjahit mulut bebeknya.
Duchess Lilliana tersenyum, "Ayo."
Keduanya melangkah beriringan keluar kediaman Duke. Lalu menaiki kereta megah di halaman depan. Viola lebih dulu memasuki kereta itu, di susul Duchess Lilliana.
"Viola, kamu tidak perlu takut. Aku akan melindungi mu," ujar Duchess Lilliana mengelus rambut Viola.
Viola akui, Duchess Lilliana kerap sekali membelanya. Tapi tidak membuat para bangsawan itu terdiam. Justru sebaliknya, para bangsawan wanita mencibirnya.
"Aku tahu, Duchess akan melindungi ku."
"Jangan di ambli hati perkataan mereka nanti. Mereka hanya iri pada mu."
Tak butuh waktu lama, Kereta kuda itu berhenti di depan kediaman Marquess. Duchess Lilliana turun di ekori oleh Viola. Keduanya melangkah menuju rumah kaca di halaman samping.
Para wanita bangsawan yang melihat kedatangan Viola dan Duchess Lilliana, mereka saling lirik dan berbisik-bisik di belakang kipasnya. Viola bisa meraskan, auranya mencekam.
"Duchess." Sapa seorang wanita menghampiri keduanya. "Ayo duduklah, kami memang menunggu kedatangan mu." Wanita itu menggiring Duchess Lilliana. Sedangkan Viola, hanya di anggap patung berdiri. Dia tidak di sapa bahkan di lihat saja. Viola pun melangkah, mengikuti langkah kaki kedua wanita di depannya.
"Kenapa Duchess bisa membawanya? Baik sekali hati Duchess, alangkah baiknya Duchess tidak membawanya. Aku takut pernikahan ku juga mendapatkan kesialan." Ucap salah satu wanita bangsawan yang berpakaian warna hijau.
Jadi selama ini aku di anggap wanita sial.
"Benar Duchess, aku heran. Terbuat apa hati mu sehingga mau mempertahankannya."
Viola mendengatkan dengan nikmat, setelah di rasa puas. Dia langsung berdiri, membuat kelima wanita bangsawan itu terkejut.
"Penggoda, perusak rumah tangga, pembawa sial." Viola semakin geram. "Kalian tahu, apa yang kalian perbuat aku bisa saja menggoda suami kalian, tapi aku tidak melakukannya. Kalian lihat, aku sangat cantik, tubuh ku mungil dan sexy. Oh iya jangan lupakan, wanita dengan sejuta senyuman. Dan ingat ini,"
Jari telunjuknya mengetuk meja di depannya. "Aku bukan wanita penggoda. Aku datang kesana atas permintaan Duchess sekaligus karena hutang budi ayah ku. Perlu kalian ketahui, selama ini aku tidak pernah mengharapkan cinta dari Duke Cristin. Aku tidak pernah mencintainya, camkan kata-kata ku."
Viola berjalan tanpa arah dan tujuan di ekori Milea. Sepanjang langkahnya, bibirnya tak berhenti menggerutu. Dia bahkan mengeluarkan semua unek-uneknya. Entah berbagai macam sumpah serapah apa yang dia keluarkan. Viola berdecak pinggang sambil menghentikan langkahnya."Ini tidak bisa di biarkan, aku harus membuat wanita bangsawan itu diam tak berkutik. Enak saja dia membentak ku, memarahi ku dan menghakimi ku."Viola berjalan tanpa memperhatikan, ia kembali menunduk dan menggerutu. Hingga tanpa ia sadari, tubuhnya menabrak seseorang."Maaf, maaf, saya tidak sengaja," ucap Viola seraya memegangi lengannya yang hampir terjatuh.Rahang orang itu mengeras, dia tidak suka di sentuh. Namun ada rasa aneh di tubuhnya. Tiba-tiba jantungnya berdisko. Dia langsung menoleh, melihat siapa yang sedang memegangi lengannya.Seperti sebuah cahaya dan bunga baru mekar. Matanya menatap wanita di depannya yan
"Kemana dia?" Duke Arland celingak-celinguk kanan kiri. Dia mencari seorang gadis yang menggemaskan dan lucu.Sang Kesatria yang berada di sampingnya pun langsung menawarkan diri. "Tuan, biar saya saja yang mencarinya.""Tidak! ayo kita cari bersama-sama," ucap Duke Arland mempercepat langkahnya seraya melihat kanan-kiri."Itu dia," Duke Arland berlari dengan cepat. Menerobos orang yang berlalu lalang. Dia tidak boleh kehilangan wanita itu. "Hey, Nona."Viola dan pelayan Mia menoleh ke belakang. Sejurus kemudian, Viola kembali menghadap lurus dan melanjutkan langkahnya. Ia tak memperdulikan pria aneh di belakangnya."Hey, Nona. Mau kemana?" Tanya Duke Arland berbasi-basi. Langkahnya, dia sejajarkan dengan langkah Viola dan pelayan Mia.Sedangkan sang Kesatria ingin memuntahkan darah. Junjungannya berbicara lembut, bahkan wanita yang baru dia temui. Seumur hidupnya, junjungannya membaut benteng pertahanan. Hanya ada Lilliana dan Lillian
Mendadak pikiran Viola langsung berhenti. Dia melebarkan telinganya mendengarkan ucapan Duke Cristin. Semenjak kapan dirinya di pandang seorang istri. Bukankah dirinya hanya patung penghias kediaman Duke.Duchess Lilliana tersenyum, artinya Duke Cristin sedikit demi sedikit telah membuka hatinya. Baru kali ini dia mendengarkan pengakuan Duke Cristin meskipun dalam keadaan marah."Istri? Semenjak kapan?" Viola tersenyum, ia menepuk bahu Duke Cristin. "Jangan menganggap ku istri. Aku tidak menyukainya."Viola mengelus tangannya yang di tepis oleh Duke Cristin. Laki-laki itu sepertinya sangat marah. Bahkan kilatan petir itu muncul di matanya. Layaknya Harimau yang akan mengoyak mangsanya.Sedangkan Duke Cristin menahan nyeri di hatinya. Dulu wanita itu ingin sekali dia akui. Tapi sekarang, dengan mudahnya mengatakan tidak menyukainya."Status mu, istri ku, suka tidak suka itulah kenyata
Keesokan harinya.Nampak seorang gadis masih bergelut di dalam selimutnya, rasa hangat di dalam selimut sangat pas di musim dingin itu.Butiran demi butiran berjatuhan, hingga halaman depan di kediaman Duke Cristin terpenuhi oleh bola kecil putih itu."Nona, bangun." Gadis muda itu menggeleng pelan, matanya menatap wanita yang masih setia meringkuk di bawah selimut. "Duchess Lilliana memberikan pakaian hangat untuk nona." Sambungnya lagi."Sudah lah taruh saja di atas sofa, aku ngantuk plus dingin. Jangan ganggu aku." Kesal Viola di dalam selimut tebalnya. Bahkan ia begitu enggan menyentuh air. Tubuhnya pasti membeku bak patung es."Tapi Nona sudah di tunggu oleh Duke dan Duchess."Viola menyibak selimutnya, ia bangkit dengan rambut acak-acakan. "Bilang pada mereka aku ngantuk dan akan makan di sini," ucap Viola mendaratkan tubuhnya ke atas empuknya bantal dan kasurnya itu. Matanya me
"Viola!" Sentakan Duke Cristin membuat ruangan itu seakan runtuh. Rahangnya mengeras, matanya memerah. Ia pun memejamkan kembali matanya untuk meredakan amarahnya. Dulu, ia memang mengatakannya. Bahkan hatinya tidak merasa berat sedikit pun, ia hanya menganggap Viola adiknya saja dan tanpa melibatkan perasaan apapun, namun sekarang, semuanya berbeda. Ada rasa yang tak menentu di hatinya."Aku tidak mengijinkan mu." Tolaknya secara halus. Perasaannya dulu hanya sebatas adik, tidak lebih. Membuatnya tidak betah di kediamannya, membuatnya membenci, ia sudah memutuskan membuat benteng yang kokoh, tapi kenapa sekian lama ia membuat benteng. Tiba-tiba benteng itu seakan runtuh dalam sekejap.Viola menggaruk pipinya yang tidak gatal. Tidak ada alasan baginya untuk tidak pindah. Tidak ada alasan baginya untuk bertahan. "Sudahlah, aku akan membicarakan pada Duchess."TokTokTokPelayan Milea muncul di de
"Viola, tetaplah tinggal di sini." Duchess Lilliana menghentikan langkahnya tepat di belakang Viola. Matanya menatap Duke Cristin. Mata itu, mata yang mengisyaratkan untuk menghentikan Viola. "Tetaplah di sini, Vio." Sambungnya tanpa mengalihkan pandangannya. Ada kesedihan di dalam matanya, namun bibirnya tak mengucapkan apapun.Duke Cristin memalingkan wajahnya. Duchess Lilliana pasti mengerti kemauan dirinya."Terima kasih Duchess dan terima kasih Duke."Viola melanjutkan langkahnya, ia terus berjalan tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya. Hatinya sangat lega, ia bisa bernafas teratur."Viola." Suara bariton itu memekik di telinga Duchess Lilliana."Bisakah kamu tinggal di sini." Sebuah ucapan yang sangat berat, namun hangat. "Tinggalah di sini Vio,"Telinga Duchess Lilliana memanas, entahlah, ia tidak suka dengan suara hangat itu. Ia menepis pikirannya yang bercabang, mengatakan tidak masalah dan tidak akan terjadi apa-apa.
CitCitCitSapaan burung menari-nari di dalam telinga, kelopak mata indah itu pun terbuka. Kepalanya tak seperti tadi malam yang lumayan tak berdenyut. Ia merasakan sesuatu yang menumpu di atas perutnya, menatap ke perutnya, satu tangan kokoh yang memeluk perutnya. Kedua ekor matanya mengikuti tangan kokoh itu, melihat seorang laki-laki yang tertidur pulas.Dia beringsut duduk, dari dahinya terjatuh sebuah kain. Di liriknya ke atas nakas, ternyata sebuah baskom yang berisi air. Mengingat-ngingat kejadian tadi malam. Duke Cristin mendatangi paviliunnya seperti maling dan merawatnya saat demam."Tidak buruk," ujar Viola.Ditatapnya wajah yang pulas itu, sebuah senyuman tersungging di mulutnya. Seandainya laki-laki di hadapannya tidak memiliki istri lainnya, pasti akan terpukau dan memujinya, tapi mengingat perlakuannya, membuatnya jengkel."Duke,"Viola mencoel pi
EkhemDuke Cristin gelagapan, ia langsung berdiri seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ekor matanya melirik sedikit, mengatur nafasnya untuk berbicara."Duchess, kamu datang kesini untuk bertemu dengan Vio, ah iya aku lupa. Aku membantu Vio karena Vio sakit, jadi ya aku ...""Tidak perlu Duke, kamu sudah merawatnya sesuatu yang membuat ku senang. Aku senang, Duke mau berbaikan dengan Viola. Seperti ini, jaga hubungan Duke dengan Viola. Agar usaha ku tidak sia-sia." Duchess Lilliana memotong perkataan Duke Cristin. Ia tahu, Duke Cristin pasti akan menjelaskannya, tapi percuma saja, hatinya sudah cemburu, perubahan yang Duke Cristin berikan, menohok hatinya yang peling dalam.Duke Cristin menunduk, samar-samar dia tersenyum tipis dan tentunya tanpa semua orang sadari. "Aku akan mengusahakannya.""Maksud Duke,"Duke Cristin menggigit bibir bawahnya, mulutnya tidak bisa di ajak kom