Hal pertama yang Tim lakukan adalah meminta Maddox datang ke kantor sebelum pukul sepuluh. Dengan hati mendongkol, Maddox tiba di kantor sepuluh kurang lima menit. “Kau tahu betapa repotnya menjadi pengasuh dua orang, sementara harus datang sepagi ini? Perempuan itu tidak bisa memasak dan satu-satunya hal yang paling lihai dia kerjakan adalah mengeluh!” protes Maddox dengan wajah berang. “Hei, Mad! Jangan salahkan aku! Peter yang memanggilmu, bukan aku!” kelit Tim, tidak mau disalahkan. Maddox terdiam dan menghela napas sejenak. Pria itu menoleh ke arah Foxy dan Daniel yang sedang menghadapi Chris. Terlihat jelas Foxy menyukai cara Chris yang begitu sopan menunjukkan simpatinya. “Hei, Lockey!” Jean yang sedang membawa kopi menoleh. “Bisakah kau membawa kedua saksi ke kantormu? Aku ada urusan sebentar!” pinta Maddox. Foxy menunjukkan wajah protes, melotot ke arah Maddox yang tidak peduli sedikit pun dengan ekspresi keberatan tersebut. “Okey!” sahut Jean dan mengajak keduanya ke
Pagi itu mereka bangun dan menyadari jika udah pukul sepuluh pagi. Daniel menguap dan menuang kopi ke cangkirnya, sementara Foxy segera menyambar laptop dan memeriksa beberapa email yang masuk. Chloe telah memundurkan semua janji dan pekerjaannya harus tertunda sementara waktu. Beruntung seluruh klien mereka mengerti dan tidak menuntut. Semua paham jika Foxy sedang dalam situasi berduka. Maddox belum muncul dari kamar sebelah dan Foxy mulai resah setelah beberapa saat tenggelam dalam pekerjaannya. “Kau lihat Maddox?” tanya Foxy pada Daniel yang baru kembali dari sebelah. Sepupunya menggeleng dan bersiap mandi. “Seharusnya dia ada di sini dan menjaga kita! Bagaimana jika tiba-tiba ada yang menyerang kita lagi, seperti tempo hari?” Foxy mendesah kecewa sekaligus takut. Daniel menunjuk ke bawah dengan kepalanya. “Ada sekitar empat petugas yang Maddox tugaskan di pintu masuk apartemen. Kau tidak perlu khawatir.” Daniel meninggalkan Foxy yang belum puas akan jawaban atas kecemasa
Maddox benar! Tim menolak permintaan Foxy dan mengatakan jika secara eksklusif Maddox telah menangani kasus tersebut. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima dan pasrah. Sikap Maddox yang ketus dan kasar, membuat si pengacara wanita itu tidak tahan. Detektif tersebut terlalu menyudutkan dirinya dengan kalimat pernyataan yang terang-terangan dan Foxy seperti menjadi tertuduh. Malam sudah beranjak ke pukul sembilan malam. Perutnya berbunyi dan ia merasa lapar sekali. Dengan tubuh lemas, Foxy berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Hanya ada spaghetti dingin yang mungkin bisa menganjal perutnya sementara. Sementara menunggu hingga makanan itu selesai dipanaskan di microwave, Foxy meraih sweater dan memastikan jika laptop dan tasnya di tempat yang mudah untuk ia bawa. Sejak pengalaman pahit diserang malam lalu, dia selalu waspada dan siaga. Tidak ada jaminan hal itu tidak terulang lagi. Bunyi microwave selesai memanaskan mengeluarkan bip beberapa kali. Foxy meraih
Jean mempersilahkan keduanya dan mengatakan jika dia sedang makan malam. “Aku akan sangat membutuhkan itu,” ucap Maddox dan segera menyambar piring serta duduk. Foxy duduk di meja makan dan diam dengan wajah sendu. Rasa laparnya lenyap oleh pikiran yang rumit. Jean mendekat lalu mengangsurkan sepiring pie daging dengan ukuran satu gigitan. Wanita itu menggelengkan kepala. “Kau harus mengisi perutmu, Foxy. Dalam beberapa hari mendatang, mungkin hidupmu akan jungkir balik tidak menentu. Ingat, sekarang ini kau dan Maddox dalam pelarian!” ucap Jean seraya meletakkan piring tersebut di meja. Lawan bicaranya hanya terdiam dan memainkan ujung tas Luis Vitton-nya dengan resah. “Ini tidak akan membaik, bukan?” tanya Foxy dengan pelan. Jean menggelengkan kepala dengan pelan. Maddox yang ada di belakang mereka, tampak tidak peduli dan terus menyantap makan malam dengan lahap. “Aku tidak menyangka akan seburuk ini,” keluh Foxy dengan hati menyesal. “Apa yang kau ketahui, Foxy? Jika ka
Kecanduan membunuh adalah penyakit yang sangat membahayakan. Ada banyak pembunuh berantai di negara paman Sam ini dan terkadang polisi tidak mampu menindak mereka sebelum kejadian terjadi. Bukan karena kurangnya kepedulian, namun sosok manusia dengan karakter seperti itu sangat sulit dideteksi. Dia bisa jadi adalah tetangga, atau seseorang yang selama ini dekat dengan kita. Bagi Foxy, Josh Bill Harten adalah paman yang memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Satu kali dia bisa muncul sebagai figur ayah yang ia dambakan, kali berikutnya Josh bisa menjadi pemaksa yang mengintimidasi dirinya dengan kejam. Hanya Foxy yang tahu juga, jika Josh seorang pria dengan penyimpangan seksual. Pria itu cenderung menyukai kedua jenis lawan main. Dia bisa bercinta dengan pria ataupun wanita. Setelah sekian lama menjadi orang yang pamannya percayai dalam berbagai hal, Foxy tumbuh sebagai ia pribadi yang getir. Namun hal yang baru Foxy ketahui setelah dia tumbuh menjadi wanita dewasa adal
Maddox membuktikan dirinya mampu menjadi pilot yang handal. Setelah terbang selama setengah jam, akhirnya mereka mendarat di sebuah lapangan luas, jauh dari pemukiman. Pesawat mendarat di atas tanah yang berbatu dan cukup tandus. Mirip padang dengan tiupan angin yang sangat keras. Ada sebuah pondok tembok batu, tak jauh dari tempat tersebut. “Kenapa kau mendarat di sini? Tempat ini jauh dari siapa pun!” protes Foxy mulai cerewet dan tidak puas akan keputusan Maddox. Maddox mematikan mesin pesawat dan mereka turun. Dengan langkah cepat, Maddox mendekati pondok yang berjarak sekitar lima puluh meter dari mereka. Foxy mengikuti dengan wajah cemberut. Setelah pintu diketuk dua kali, seorang wanita Indian keluar lalu menyapa Maddox dengan hangat. Dia memeluk serta menepuk pipi detektif itu dengan lembut. “Apa yang membuatmu mampir ke Indian Spring, Mad? Jangan bilang kau merindukanku! Masalah apalagi yang melibatkanmu?” Maddox hanya tertawa dan mengecup pipi wanita tua itu dengan gem
Sebelum matahari terbit, Maowi bangun dan menemui Maddox yang belum tidur dari semalaman. Sementara mereka mengobrol dekat jendela dapur, Foxy terlihat duduk di atas batu besar, yang tidak jauh dari rumah itu, memandang ufuk langit seakan berharap bisa menikmati matahari terbit. “Dia akan menjadi dilemamu, Mad. Gadis itu akan mengubah hidup dan cara berpikirmu selama ini.” Maowi meletakkan teko berisi kopi di meja bulat serta tiga cangkir. “Aku tidak butuh nasehat dan ramalanmu, Maowi. Aku datang untuk mengetahui jika kau tahu mengenai Joe Black.” Mendengar nama itu disebut, Maowi mengerutkan kening. Seketika raut mukanya berubah, menambah efek keriput di wajah. Entah berapa usia wanita Indian tersebut, yang pasti Maddox sudah mengenal sejak sepuluh tahun lalu. “Pembunuh bayaran,” ucap Maowi dengan suara pelan. Maddox menyeruput kopi dan tampak puas dengan rasa khas yang terkecap lidahnya. “Aku tahu itu, ada informasi lain lagi?” Perlahan wanita itu duduk, menatap cairan pekat
Dengan sekuat tenaga, Maddox berusaha terus menerbangkan pesawat hingga kembali ke hanggar. Mendarat dengan posisi pesawat terseok juga miring, segenap orang mendekati mereka. “Kau baik-baik saja?” Pria berkulit hitam yang berjaga sore itu menanyakan dengan sedikit panik akan kondisi keduanya. “Telepon 911,” pinta Maddox sebelum akhirnya jatuh pingsan. ** Hanya kegelapan yang Maddox rasakan ketika tersadar. Setelah mengerjap beberapa kali, pandangannya mulai tampak buram dan perlahan membentuk bayangan. “Hei, Tuan Maddox! Bisakah kau menghitung jumlah jari di tanganku?” Seruan laki-laki itu terdengar seperti dari kejauhan. Detektif itu mengerjapkan mata berulang kali, semakin lama kian jelas. “Tiga,” sahut Maddox lemah. Dokter itu memerintahkan untuk melakukan CT scan dan MRI. Maddox merasakan semua di sekelilingnya memutar cepat, ia kembali terhempas dalam kegelapan. ** Pertama kali yang Maddox rasakan adalah rasa nyeri di leher, lengan dan kepalanya berdenyut sakit. Ki