Share

Secret Agent Or Teacher
Secret Agent Or Teacher
Penulis: Appachan

1. Pengajuan Cuti

Penulis: Appachan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-26 15:05:38

Ruangan itu sunyi dan tegang, namun tenang—seperti permukaan air yang tak terusik. Udara di dalamnya dipenuhi ketegangan yang tidak terucapkan. Lampu sorot lembut menebarkan cahaya, menajamkan bayangan di dinding.

Ruangan kecil itu berdekorasi minimalis dinding abu-abu, karpet hijau tua, dan sebuah meja kayu besar yang memisahkan Jenderal Dharma dan Agen Azena. Lampu neon kecil di atas meja menambah kesan serius pada suasana.

Jenderal Dharma, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, duduk tegak. Seragam militernya penuh medali dan lencana yang mencerminkan pengalaman panjang. Ia menatap Azena tanpa berkedip.

Di depannya, Azena duduk tegak. Usianya sekitar akhir dua puluhan, dengan mata yang tenang namun menusuk. Penampilannya anggun, rapi, namun jelas menyiratkan kekuatan.

Azena berbicara pelan, tapi tegas. “Jenderal, saya ingin mengajukan cuti dari tugas.”

Jenderal Dharma menaikkan alis, suaranya rendah. “Alasannya, Nona Hailey?”

Suasana semakin kental. Mata mereka saling bertaut, penuh ketegangan yang terkendali. Namun, di balik semua itu, ada rasa saling hormat yang tumbuh dari tahun-tahun pengabdian bersama.

Azena menunduk sejenak. Rambutnya menutupi sebagian wajah sebelum ia kembali menatap. “Tidak perlu memanggil saya dengan nama belakang, Jenderal. Cukup Azena. Saya ... lelah. Saya butuh waktu untuk memulihkan diri.”

Jenderal Dharma mengangguk pelan. “Berapa lama?”

Keheningan sejenak melanda mereka berdua.

“Kamu tahu risikonya. Kita tidak bisa menunda tugas.”

Azena mengangguk. “Saya siap menanggungnya.”

Jenderal Dharma menarik napas dalam. “Baik. Akan saya pertimbangkan. Tapi ingat, cuti ini tidak membatalkan tanggung jawabmu.”

Azena tersenyum tipis. “Terima kasih, Jenderal. Saya takkan lari dari tanggung jawab.”

Jenderal hanya mengangguk, lalu membalas dengan senyum tipis.

“Saya permisi.”

“Silakan.”

Azena bangkit, memberi hormat, lalu melangkah keluar.

Langkahnya tenang namun mantap menyusuri lorong Departemen Pertahanan. Beberapa orang yang berpapasan menunduk hormat. Tak perlu disebutkan siapa dia—semua sudah tahu.

Azena Stefanie Hailey. Agen kelas A. Ketua Kelompok Alpha. Di antara jajaran elit agen rahasia, hanya sedikit yang menyamai rekam jejaknya.

Setiap agen tergabung dalam empat kelompok utama:

Alpha: Operasi strategis dan kasus rahasia tingkat tinggi.

Bravo: Penyelidikan teknis dan analisis.

Charlie: Operasi lapangan dan pengintaian.

Delta: Kontra-intelijen dan pengamanan dalam.

Azena bukan hanya pemimpin Kelompok Alpha. Ia juga cucu mantan Kepala Pertahanan, putri dari agen senior dan seorang dokter ternama. Tapi tidak banyak yang tahu itu. Ia sengaja menyembunyikan latar belakangnya. Bagi Azena, rasa hormat seharusnya lahir dari kinerja, bukan silsilah.

Langkahnya terus menuju pintu keluar. Hari ini, ia hanya ingin berjalan-jalan ke taman kota. Mengosongkan pikiran. Menenangkan tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar beristirahat.

“Azena .…”

Sebuah suara memanggil. Ia berhenti, tapi tak menoleh.

Langkah kaki mendekat. Pria itu berdiri sejajar dengannya. “Kamu serius akan cuti?” tanyanya.

“Ya. Aku Cuma butuh waktu sebentar. Ada masalah?”

Mereka mulai berjalan berdampingan. “Kenapa sekarang?”

“Aku hanya ingin beberapa hari tanpa kasus menggantung di kepala,” jawab Azena singkat.

“Tapi kasus kemarin belum selesai.”

Azena mendesah. “Astaga, Jo. Aku bukan pensiun. Hanya cuti.”

Pria itu, Jonathan Rhys—rekan satu tim sekaligus sahabat Azena sejak pelatihan awal—mengernyit. “Zena, kasus itu penting. Kita belum selesai—”

Azena memotong. “Justru karena itu aku butuh waktu. Kalau tidak sekarang, kapan?”

Selama bertahun-tahun, Azena hampir tidak pernah mengambil cuti. Bahkan dalam misi paling sulit pun, ia selalu ada.

“Aku percaya kamu dan Angel bisa menanganinya. Untuk sementara, kasus itu aku serahkan ke kalian.”

Jonathan meliriknya. “Kenapa cuma kami?”

Azena berhenti, lalu menatapnya serius. “Karena cuma kalian yang ku percaya sepenuhnya. Jangan libatkan anggota lain. Bahkan dari Alpha.”

Jonathan terdiam, mencoba memahami maksud tersembunyi di balik kata-kata Azena. “Lalu siapa yang memimpin? Tanpamu, kelompok ini akan jalan sendiri-sendiri.”

“Aku sudah tunjuk kamu. Jangan khawatir, aku masih bantu dari jauh. Tapi aku tidak akan terlibat langsung. Tidak sekarang.”

Jonathan menghela napas panjang. “Baiklah. Terserah kamu.” Ponselnya bergetar. Ia mengangkatnya dan melihat layar.

“Siapa?” tanya Azena.

“Angel,” jawab Jonathan sambil mengangkat telepon.

“Halo …. Di mana? … oke, tetap di sana. Jangan keluar sampai kami datang.”

Begitu panggilan berakhir, Azena menatapnya tajam. “Apa yang terjadi?”

“Angel dalam bahaya. Kita harus segera ke tempatnya.”

Azena mengangguk. “Ayo.”

Tanpa menunggu lagi, mereka bergegas. Ketegangan mulai merambat di wajah mereka—pertanda, cuti Azena mungkin takkan berjalan semudah yang ia kira.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Secret Agent Or Teacher   24. Liontin

    Azena membuka kotak hadiah itu perlahan. Saat terbuka, matanya membelalak lebar, bahkan bibirnya bergetar, dan rasa sesak kembali menghimpit dadanya. Tangannya gemetar meraih hadiah terakhir dari Ayahnya."Pa, i-ini..." suaranya tercekat. Di dalam kotak itu, tersemat sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati berwarna safir biru yang memancarkan kilau lembut. Kilauan itu terasa familiar, seperti warna mata sang Ibu, namun juga begitu unik.Anthony mengangguk kecil, senyum tipis terukir di wajahnya. "Ya, sayang. Ini hadiah dari Ayahmu."Azena mengangkat kalung itu, merasakan dinginnya liontin safir di telapak tangannya. Matanya masih terpaku pada liontin itu, seolah mengenang kenangan bersama ayahnya. "Tapi... ini lebih dari sekadar kalung, 'kan, Pa?" tanyanya lirih, seolah bisa merasakan sesuatu yang menurutnya agak berbeda dari kalung itu.Anthony menarik napas dalam, matanya menatap lekat Azena. "Ayahmu meminta Papa untuk mendesain kalung ini khusus untukmu. Safir itu bukan sekadar

  • Secret Agent Or Teacher   23. Hadiah Terakhir

    Pagi-pagi sekali Azena sudah berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Lima tahun lebih sejak kepergian mereka, Azena tidak pernah membuka kamar ini, bahkan memasuki kamar kedua orang untuk melepas rindu pun Azena tidak pernah, Azena lebih memilih melepas rindu ke makam kedua orang tuanya. Jari-jarinya gemetar saat meraih gagang pintu besi yang terasa dingin di bawah sentuhannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Dari kejauhan, di ujung tangga, Anthony memperhatikannya. Ia hanya mengamati, tanpa mendekat, memberikan Azena ruang dan waktu yang dibutuhkan.Dengan hati berdebar kencang, Azena membuka pintu. Bau samar parfum Ibu dan aroma kayu dari lemari pakaian dan dokumen sang Ayah masih tercium samar. Kamar ini tampak bersih, terawat, karena setiap harinya pelayan membersihkan kamar ini. Saat memasuki kamar ini, kenangan demi kenangan seolah berputar seperti sebuah kaset, Ayah yang selalu membacakan cerita sebelum tidur, Ibu yang menyanyikan lagu pengant

  • Secret Agent Or Teacher   22. Topeng Wajah

    Matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya keemasan yang lembut saat Azena meninggalkan taman. Udara sore terasa lebih sejuk, membawa sedikit ketenangan yang ia butuhkan. Ia menuju ke tempat yang selalu memberinya kedamaian—makam orang tuanya.Di sana, di antara susunan batu nisan yang terukir nama orang tuanya, Azena duduk termenung. Bunga-bunga sedap malam yang harum semerbak memenuhi udara, seolah menenangkan jiwanya yang masih bergolak. Air mata kembali mengalir, membasahi pipinya, bukan lagi air mata keputusasaan, tetapi air mata kerinduan."Ayah, Ibu," bisiknya lirih, suaranya terisak. "Aku... aku merasa sangat kehilangan. Aku merindukan pelukan kalian, nasihat kalian, keceriaan kita bersama." Ia menceritakan semuanya kepada makam orang tuanya, tentang trauma yang dialaminya, tentang obat penenang yang hampir merenggut nyawanya, tentang rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia menceritakan tentang Dokter Evian, tentang saran bernapas dalam-dalam, tentang usahanya unt

  • Secret Agent Or Teacher   21. Terapi

    Di bangku taman yang teduh, di bawah naungan pohon rindang, Azena duduk termenung. Pandangannya kosong menerawang, menerobos dedaunan yang menari lembut diterpa angin. Suasana taman yang ramai oleh anak-anak yang tengah bermain dan keluarga yang asyik bercengkerama tidak membuat Azena terusik. Ia masih termenung dalam dunianya sendiri.Desiran angin seolah membisikkan kembali kata-kata dokter Evian, psikiater pribadinya, yang terus menghantuinya sejak sesi terapi terakhir. Bahaya penggunaan obat penenang berlebihan. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, menciptakan kecemasan yang perlahan menyelimuti.Azena memejamkan mata, dan seketika adegan itu kembali terulang. Flashback OnRuangan praktik dokter Evian yang hangat dan rapi. Aroma lavender yang menenangkan selalu memenuhi ruangan itu, mencoba meredakan kegelisahan setiap pasien."Azena," suara Evian terdengar lembut namun tegas.Evian memecah keheningan dalam ruang prakteknya. Sorot matanya yang penuh empati menatap Azena deng

  • Secret Agent Or Teacher   20. Boneka Sang Tuan

    "Tuan, pengiriman barang ke luar negeri sudah dalam perjalanan. Berkat informasi dari tuan muda, tempat pengiriman berhasil di alihkan," lapor seorang pria berbadan besar.Pria paruh baya yang dipanggil 'Tuan' itu hanya mengangguk tenang, gelas berisi wiski di tangannya bergoyang pelan seiring gerakannya. Matanya yang tajam tetap terpaku pada cairan amber itu."Bagaimana pergerakan para agen sialan itu?" tanya sang tuan datar, matanya terus fokus pada whisky ditangannya.Sang bawahan masih menunduk hormat tanpa berani menatap tuan besar di hadapannya. "Saya belum mendapatkan informasi lebih lanjut tuan, hanya saja ketua dari tim alpha tengah mengambil cuti.""Pantau terus mereka, jangan sampai mereka menghancurkan Bisnisku." "Baik tuan," Pria berbadan besar itu undur diri, meninggalkan ruangan yang minim cahaya. Di sana, sang Tuan Besar masih setia menikmati wiski mahalnya. Di hadapannya terhampar rak besar mewah yang berisi botol-botol alkohol dari berbagai jenis dan negara, memanc

  • Secret Agent Or Teacher   19. Obat Penenang

    Jari jari lentik itu perlahan bergerak pelan, perlahan Azena menggeliat kecil. Kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan sisa-sisa mimpi buruknya selama ini. Peristiwa semalam, reaksi paniknya, dan obat penenang yang ditelannya—semuanya kembali terlintas.Azena menoleh kearah jendela yang masih terbuka, langit malam dengan bintang yang bertaburan terlihat jelas di balik jendela kamar tidurnya."Sudah malam," gumamnya lirih.Azena meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya. Jemarinya bergerak ragu sebelum akhirnya mengetikkan nomor yang sudah sangat ia hafal. Setelah beberapa dering, suara yang familiar itu terdengar di ujung telepon."Halo, Dr. Evian?" Azena memulai, suaranya serak khas orang baru bangun dari tidurnya. "Maaf mengganggu malam-malam begini."Terdengar jeda singkat dari seberang. "Tidak apa-apa, Azena. Ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Dr. Evian dengan nada khawatir.Azena menarik napas dalam-dal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status