Mentari pagi menyingsing, menyinari Azena yang sudah rapi berpakaian. Kemeja putih lengan panjang yang disetrika rapi, celana panjang hitam dengan lipatan sempurna, dan sepatu hak tinggi hitam yang elegan membentuk siluetnya yang tegas namun anggun.
Di saku celananya, tersimpan pistol Kel-Tec P-32, senjata andalannya yang mungil dan praktis. Ringan, dengan berat hanya 170 gram, dimensi 108mm x 23mm x 73mm, kapasitas tujuh peluru, dan jarak tembak efektif hingga lima puluh meter. Persiapannya sudah sempurna. Azena melangkah ke ruang makan, tempat Jeremy, sang kakek, sudah duduk menikmati sarapan dengan piring berisi nasi dan lauk menggugah selera. “Hai, adikku sayang,” sapa Jeremy ramah. Azena membalasnya dengan tatapan datar, tanpa sepatah kata atau senyum. Julian, sepupunya, tertawa kecil. “Astaga, wajahmu datar sekali, Ze.” “Kamu makan dulu, Ze,” perintah Jeremy dengan nada tegas. Azena duduk di kursi berseberangan dengan Julian, tatapannya tajam. “Sedang apa kamu di sini? Menumpang makan, Julian Draxler Hailey?” ia menyindir, sudut bibirnya tersenyum miring penuh sindiran. Julian manyun, tahu ucapan Azena tepat sasaran. Ia memang hanya menumpang makan. “Mulutmu tajam sekali,” gerutu Julian, sedikit kesal. Azena tak menggubris, mengambil sepotong roti dan mengolesinya dengan selai cokelat. Ia menikmati sarapannya dengan tenang, mengabaikan ocehan Julian. “Dasar gadis menyebalkan! Pantas saja tak ada yang mau mendekatimu. Mulutmu itu tajam sekali, Ze!” cibir Julian, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Azena mengangkat alis, tatapannya tetap dingin, tak bergeming. “Lihat, Kakek! Cucu perempuanmu ini sangat menyebalkan!” keluh Julian pada Jeremy. Jeremy menghela napas panjang. Pertengkaran antara kedua cucunya sudah jadi pemandangan biasa. “Makan saja makananmu, Julian. Jangan ganggu Zena. Cepat habiskan!” perintah Jeremy. Julian mendengus kesal, lalu kembali makan. Azena juga tetap tenang melanjutkan sarapannya. Setelah selesai, Azena menunggu sampai Jeremy menghabiskan makanannya. Kesabarannya patut diacungi jempol. “Kakek, aku berangkat sekarang,” ucap Azena setelah Jeremy selesai. “Hati-hati di jalan,” balas Jeremy. Azena mencium tangan kakeknya dengan hormat, lalu beranjak. Langkahnya terhenti saat Julian memanggilnya. “Tunggu, Ze.” “Apa?” jawab Azena, nada sedikit tidak sabar. “Berangkat bersamaku,” ajak Julian, berdiri di sampingnya. “Tidak perlu. Aku akan berangkat sendiri,” tolak Azena, hendak melangkah. “Ayolah, Ze. Aku sengaja datang ke sini supaya kita berangkat bareng,” bujuk Julian. Azena menghela napas panjang, terlihat lelah. Matanya menatap Julian. “Aku ingin berangkat sendiri, Lian. Setelah urusan di departemen selesai, aku akan pergi ke tempat lain,” jelasnya, suara lebih lembut dan kalimatnya lebih panjang dari biasanya. “Aku tahu kamu harus ke rumah sakit,” lanjutnya. “Kalau aku ikut bersamamu, bagaimana aku bisa pergi ke tempat lain?” Julian terdiam, sedikit terkejut dengan kalimat lembut itu — kalimat terpanjang dan terlembut yang pernah ia dengar dari sepupunya yang biasanya tajam dan dingin. “I-ini... kalimat terpanjang dan suara terlembut yang pernah kudengar,” gumam Julian. Azena berjalan menuju mobilnya. Julian, tersadar, bergegas menyusul. “Tunggu, Ze!” Saat Azena hendak membuka pintu, Julian mencekal tangannya. Azena menatapnya jengkel. “Lepas, Julian!” perintahnya datar tapi tegas. “Dengar aku dulu. Kita berangkat bersama. Ada yang perlu kubahas,” kata Julian dengan nada serius. Ekspresi Azena sedikit melunak. Ia mengangguk setuju. “Bawalah mobilku ke departemen intelijen,” perintah Azena pada salah satu pengawalnya. “Baik, Nona,” jawab pengawal itu. Azena mengikuti Julian ke mobil, dan mereka pun berangkat meninggalkan mansion. Mobil melaju di tengah hiruk-pikuk kota. Julian membuka pembicaraan dengan suara serius, “Ze, kamu tahu tentang kasus remaja hilang beberapa bulan lalu? Yang ditemukan dalam kondisi mental terganggu itu?” Azena, yang selama ini fokus mengamati jalan, menoleh. “Yang katanya sering menyebut ‘laboratorium’ dan ‘uji coba’? Aku sudah dengar. Ada beberapa agen yang sedang menyelidiki.” Nada suaranya datar, tapi matanya tajam, mencerminkan pengalaman dan profesionalismenya. “Sebentar, aku ingin mengambil alat perekam ku dulu.” Azena mengambil sebuah alat perekam berbentuk pena dan menyalakannya. Julian mengangguk. “Temanku, seorang dokter jiwa, menangani salah satu korban. Remaja itu pintar, tapi sekarang... kacau. Terus bicara soal eksperimen, kelinci percobaan, dan...” Julian berhenti, memilih kata-kata, “... laboratorium rahasia.” Azena menyipitkan mata, tertarik. “Laboratorium rahasia? Ada detail lain?” Ia condong sedikit ke depan, insting agennya menyala. Ini bukan kasus biasa. Julian melanjutkan, “Dokter bilang remaja itu trauma berat, seolah diprogram ulang. Pikirannya penuh kode-kode aneh, simbol yang tak bisa dimengerti. Dia juga menyebut nama-nama kode, tapi tak satu pun bisa diidentifikasi.” “Kode-kode?” ulang Azena, jari-jarinya bergerak seperti mengolah data dalam pikirannya. “Bisa jadi ini terkait proyek rahasia pemerintah, atau organisasi gelap. Kita harus cari lokasi laboratorium itu.” “Itu yang sulit,” kata Julian, menggeleng. “Temanku hanya tahu sedikit. Dia takut jadi target berikutnya.” Azena mengernyit. “Takutnya masuk akal. Organisasi yang melakukan eksperimen gelap pasti punya jaringan luas dan kekuatan besar. Kita harus sangat berhati-hati.” Ia mengeluarkan alat perekam suara kecil dari tasnya. “Aku akan rekam semua ini. Bahan untuk penyelidikan kita.” Mereka terus berdiskusi, mengurai setiap detail. Azena dengan kecerdasannya mengolah info menjadi gambaran yang jelas, sementara Julian melengkapi dengan perspektif medisnya. Saat tiba di gedung departemen intelijen, Azena mengakhiri pembicaraan. “Terima kasih, Lian. Informasi ini sangat berarti. Aku akan teruskan penyelidikan. Kita akan bertemu lagi.” Julian mengangguk, penuh pengertian. “Hati-hati, Ze. Ini bukan kasus biasa.” Azena tersenyum tipis, penuh tekad, lalu melangkah masuk ke gedung, meninggalkan Julian yang masih merenung, merasa kemitraan mereka bukan sekadar hubungan sepupu, tapi kerja sama profesional berlandaskan kecerdasan dan rasa tanggung jawab.Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi berbaur dengan obrolan pelan dari meja-meja lain. Evangeline mengaduk teh lemon nya, sementara Jonathan menyeruput latte-nya, tatapannya menyapu jendela kafe yang menampilkan hiruk pikuk jalanan di siang hari. Mereka duduk di sudut kafe "The Haven" yang nyaman, jauh dari keramaian, seolah dunia di luar sana bisa menunggu."Jadi, laporan intelijen terbaru menunjukkan pergerakan mencurigakan di sektor timur, Jonathan," ujar Evangeline pelan namun santai. "Indikasinya mengarah pada sindikat 'Black Swan' lagi. Mereka jauh lebih terorganisir dari perkiraan kita."Jonathan mengangguk. "Ya, aku sudah melihatnya. Analisis data kita menemukan pola anomali di transaksi keuangan mereka. Modus operandinya mirip kasus yang kita tangani tahun lalu, tapi kali ini mereka lebih lihai menyamarkan jejak." Ia meletakkan cangkirnya. "Bagaimana menurutmu, Angel? Apa ada kemungkinan ini hanya pengalihan?"Evangeline menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarin
Suasana pagi di halaman utama mansion Hailey begitu tenang, hanya diselingi desir angin dan suara anak panah menghantam target. Azena fokus menarik busur, matanya menajam, lalu melepaskan anak panah dengan presisi. Panah menancap tepat di tengah sasaran. Dua pengawal berbadan tegap berdiri tak jauh darinya, mengawasi dengan seksama."Bagus sekali, Nona Azena," puji salah satu pengawal.Azena hanya mengangguk tipis, tanpa mengalihkan pandangannya dari target. Ia kembali menarik anak panah berikutnya, namun gerakan di sudut matanya membuatnya berhenti. Kakeknya, yang selama ini menjadi sosok paling penting dalam hidupnya dan juga satu-satunya yang menjaga dirinya, berjalan mendekat dengan tongkat di tangan.Azena segera menurunkan busurnya. "Kakek.""Latihanmu semakin sempurna, Azena," ujar sang Kakek dengan senyum bangga."Tapi sepertinya ada hal yang lebih penting pagi ini."Azena mengangguk, meletakkan busur dan anak panahnya. "Baik, Kek."Mereka berdua berjalan menuju sebuah gazebo
Malam telah larut, namun kamar Azena masih terang benderang. Ia duduk di meja kerjanya, di hadapan layar tablet yang menampilkan berbagai data misi dan laporan. Namun, pikirannya tidak tertuju pada deretan angka dan kode di tablet itu. Matanya menerawang, menatap kosong ke dinding, seolah mencoba menembus pikiran yang ada dibenaknya.Pengkhianat. Kata itu terus berputar di kepalanya. Siapa pengkhianat sesungguhnya di departemen intelejen atau justru di timnya sendiri.Satu per satu wajah anggota timnya melintas di benaknya, Evangeline gadis yang ceria, ekspresif, terkadang terlalu banyak bicara, namun loyal. Jonathan pria yang tenang, cerdas, ahli teknologi, dan selalu bisa diandalkan. Jonathan adalah pilar yang kuat dalam tim. Rachel gadis yang teliti, dan seorang analis data yang brilian. Ia selalu memastikan setiap detail misi tercover. Daniel pria yang kuat, sigap, dan ahli dalam pengintaian lapangan walaupun terkadang ceroboh dan bertingkah konyol, tapi keahliannya cukup bisa di
Azena segera menghubungi sopirnya, meminta mobilnya dibawa ke bengkel utama seperti yang diminta Alex. Dalam waktu singkat, terdengar deru mesin mobil Azena yang menjauh, diikuti keheningan sesaat di mansion. Azena kembali fokus pada Edward dan Alex yang masih sibuk dengan denah dan skema."Jadi, apa langkah selanjutnya?" tanya Azena, mendekati layar besar.Edward menunjuk ke beberapa titik di denah mobil. "Alex akan fokus pada penguatan struktur dan pemasangan kaca anti peluru. Sementara aku akan memprioritaskan integrasi sistem elektronik. Aku perlu memastikan semua kamera, mikrofon, dan pelacak tersembunyi dengan sempurna dan terhubung ke sistem kontrol di laptop mu.""Dan jam tangan?" Azena menatap jam tangan vintage yang tergeletak di meja Edward."Aku sudah pilih salah satu," Edward mengangkat jam tangan kulit berwarna cokelat tua. "Desainnya klasik, tidak mencolok, dan ada cukup ruang untuk menyematkan perangkat. Aku akan mulai mengerjakannya setelah ini."Alex mengangguk setuj
Pagi harinya, Azena bangun lebih awal, guna mempersiapkan segala sesuatu yang telah menjadi diskusi semalam. Ia memutuskan untuk menemui Edward yang sudah berada di ruang kerja sementara yang disediakan untuknya, sebuah ruangan yang dulunya perpustakaan pribadi Hailey namun kini telah disulap Edward menjadi lab mini dadakan dengan laptop, peralatan elektronik kecil, dan beberapa gadget yang belum diketahui oleh Azena.Azena mengetuk pintu dan masuk. Edward sudah sibuk dengan tablet dan beberapa chip kecil di meja."Pagi, Ed," sapa Azena, membawa dua cangkir kopi. "Aku bawakan kopi."Edward mendongak, tersenyum. "Pagi, Ze. Wah, kebetulan sekali. Terima kasih." Ia menerima salah satu cangkir. "Aku sudah mulai menyusun daftar komponen. Untungnya beberapa bagian kunci bisa dipesan secara online dan tiba cepat. Tapi ada beberapa komponen khusus yang harus aku buat sendiri.""Bagaimana dengan mobilku?" tanya Azena. "Aku bisa mengantarmu ke garasi mobil untuk melihat-lihat.""Boleh, nanti
Malam harinya, suasana makan malam di mansion Hailey terasa hangat. Azena, Julian, dan Edward, Jeremy dan kedua orang tua Julian duduk di meja makan yang luas, ditemani hidangan lezat yang disiapkan koki mansion. Edward, yang sudah berganti pakaian santai, terlihat lebih rileks."Jadi, Azena," Edward membuka percakapan setelah suapan terakhirnya, "mengenai alat-alat itu, aku sudah punya gambaran kasar." Ia meletakkan garpunya dan menatap Azena serius. "Untuk pena perekam suara, aku bisa buatkan model yang persis seperti pena mahal yang biasa kamu pakai. Jadi tidak akan ada yang curiga. Mikronya akan sangat sensitif, bisa menangkap percakapan bahkan di ruangan yang cukup bising. Untuk transfer datanya, kita bisa pakai sistem enkripsi. Jadi, hanya ponselmu yang bisa mengakses rekaman itu."Azena mengangguk, matanya berbinar. "Kedengarannya sempurna, Ed." "Tapi, pakai pena yang biasa saja."Edward mengangguk mengerti, "baiklah.""Untuk modifikasi mobilmu," lanjut Edward, "kita akan butu