Share

5. Bersama Julian

Author: Appachan
last update Last Updated: 2025-05-26 15:16:06

Mentari pagi menyingsing, menyinari Azena yang sudah rapi berpakaian. Kemeja putih lengan panjang yang disetrika rapi, celana panjang hitam dengan lipatan sempurna, dan sepatu hak tinggi hitam yang elegan membentuk siluetnya yang tegas namun anggun.

Di saku celananya, tersimpan pistol Kel-Tec P-32, senjata andalannya yang mungil dan praktis. Ringan, dengan berat hanya 170 gram, dimensi 108mm x 23mm x 73mm, kapasitas tujuh peluru, dan jarak tembak efektif hingga lima puluh meter. Persiapannya sudah sempurna.

Azena melangkah ke ruang makan, tempat Jeremy, sang kakek, sudah duduk menikmati sarapan dengan piring berisi nasi dan lauk menggugah selera.

“Hai, adikku sayang,” sapa Jeremy ramah.

Azena membalasnya dengan tatapan datar, tanpa sepatah kata atau senyum.

Julian, sepupunya, tertawa kecil. “Astaga, wajahmu datar sekali, Ze.”

“Kamu makan dulu, Ze,” perintah Jeremy dengan nada tegas.

Azena duduk di kursi berseberangan dengan Julian, tatapannya tajam.

“Sedang apa kamu di sini? Menumpang makan, Julian Draxler Hailey?” ia menyindir, sudut bibirnya tersenyum miring penuh sindiran.

Julian manyun, tahu ucapan Azena tepat sasaran. Ia memang hanya menumpang makan.

“Mulutmu tajam sekali,” gerutu Julian, sedikit kesal.

Azena tak menggubris, mengambil sepotong roti dan mengolesinya dengan selai cokelat. Ia menikmati sarapannya dengan tenang, mengabaikan ocehan Julian.

“Dasar gadis menyebalkan! Pantas saja tak ada yang mau mendekatimu. Mulutmu itu tajam sekali, Ze!” cibir Julian, tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Azena mengangkat alis, tatapannya tetap dingin, tak bergeming.

“Lihat, Kakek! Cucu perempuanmu ini sangat menyebalkan!” keluh Julian pada Jeremy.

Jeremy menghela napas panjang. Pertengkaran antara kedua cucunya sudah jadi pemandangan biasa.

“Makan saja makananmu, Julian. Jangan ganggu Zena. Cepat habiskan!” perintah Jeremy.

Julian mendengus kesal, lalu kembali makan. Azena juga tetap tenang melanjutkan sarapannya.

Setelah selesai, Azena menunggu sampai Jeremy menghabiskan makanannya. Kesabarannya patut diacungi jempol.

“Kakek, aku berangkat sekarang,” ucap Azena setelah Jeremy selesai.

“Hati-hati di jalan,” balas Jeremy.

Azena mencium tangan kakeknya dengan hormat, lalu beranjak.

Langkahnya terhenti saat Julian memanggilnya.

“Tunggu, Ze.”

“Apa?” jawab Azena, nada sedikit tidak sabar.

“Berangkat bersamaku,” ajak Julian, berdiri di sampingnya.

“Tidak perlu. Aku akan berangkat sendiri,” tolak Azena, hendak melangkah.

“Ayolah, Ze. Aku sengaja datang ke sini supaya kita berangkat bareng,” bujuk Julian.

Azena menghela napas panjang, terlihat lelah. Matanya menatap Julian. “Aku ingin berangkat sendiri, Lian. Setelah urusan di departemen selesai, aku akan pergi ke tempat lain,” jelasnya, suara lebih lembut dan kalimatnya lebih panjang dari biasanya.

“Aku tahu kamu harus ke rumah sakit,” lanjutnya. “Kalau aku ikut bersamamu, bagaimana aku bisa pergi ke tempat lain?”

Julian terdiam, sedikit terkejut dengan kalimat lembut itu — kalimat terpanjang dan terlembut yang pernah ia dengar dari sepupunya yang biasanya tajam dan dingin.

“I-ini... kalimat terpanjang dan suara terlembut yang pernah kudengar,” gumam Julian.

Azena berjalan menuju mobilnya. Julian, tersadar, bergegas menyusul. “Tunggu, Ze!”

Saat Azena hendak membuka pintu, Julian mencekal tangannya. Azena menatapnya jengkel.

“Lepas, Julian!” perintahnya datar tapi tegas.

“Dengar aku dulu. Kita berangkat bersama. Ada yang perlu kubahas,” kata Julian dengan nada serius.

Ekspresi Azena sedikit melunak. Ia mengangguk setuju.

“Bawalah mobilku ke departemen intelijen,” perintah Azena pada salah satu pengawalnya.

“Baik, Nona,” jawab pengawal itu.

Azena mengikuti Julian ke mobil, dan mereka pun berangkat meninggalkan mansion.

Mobil melaju di tengah hiruk-pikuk kota. Julian membuka pembicaraan dengan suara serius, “Ze, kamu tahu tentang kasus remaja hilang beberapa bulan lalu? Yang ditemukan dalam kondisi mental terganggu itu?”

Azena, yang selama ini fokus mengamati jalan, menoleh. “Yang katanya sering menyebut ‘laboratorium’ dan ‘uji coba’? Aku sudah dengar. Ada beberapa agen yang sedang menyelidiki.”

Nada suaranya datar, tapi matanya tajam, mencerminkan pengalaman dan profesionalismenya.

“Sebentar, aku ingin mengambil alat perekam ku dulu.” Azena mengambil sebuah alat perekam berbentuk pena dan menyalakannya.

Julian mengangguk. “Temanku, seorang dokter jiwa, menangani salah satu korban. Remaja itu pintar, tapi sekarang... kacau. Terus bicara soal eksperimen, kelinci percobaan, dan...” Julian berhenti, memilih kata-kata, “... laboratorium rahasia.”

Azena menyipitkan mata, tertarik. “Laboratorium rahasia? Ada detail lain?”

Ia condong sedikit ke depan, insting agennya menyala. Ini bukan kasus biasa.

Julian melanjutkan, “Dokter bilang remaja itu trauma berat, seolah diprogram ulang. Pikirannya penuh kode-kode aneh, simbol yang tak bisa dimengerti. Dia juga menyebut nama-nama kode, tapi tak satu pun bisa diidentifikasi.”

“Kode-kode?” ulang Azena, jari-jarinya bergerak seperti mengolah data dalam pikirannya. “Bisa jadi ini terkait proyek rahasia pemerintah, atau organisasi gelap. Kita harus cari lokasi laboratorium itu.”

“Itu yang sulit,” kata Julian, menggeleng. “Temanku hanya tahu sedikit. Dia takut jadi target berikutnya.”

Azena mengernyit. “Takutnya masuk akal. Organisasi yang melakukan eksperimen gelap pasti punya jaringan luas dan kekuatan besar. Kita harus sangat berhati-hati.” Ia mengeluarkan alat perekam suara kecil dari tasnya. “Aku akan rekam semua ini. Bahan untuk penyelidikan kita.”

Mereka terus berdiskusi, mengurai setiap detail. Azena dengan kecerdasannya mengolah info menjadi gambaran yang jelas, sementara Julian melengkapi dengan perspektif medisnya.

Saat tiba di gedung departemen intelijen, Azena mengakhiri pembicaraan. “Terima kasih, Lian. Informasi ini sangat berarti. Aku akan teruskan penyelidikan. Kita akan bertemu lagi.”

Julian mengangguk, penuh pengertian. “Hati-hati, Ze. Ini bukan kasus biasa.”

Azena tersenyum tipis, penuh tekad, lalu melangkah masuk ke gedung, meninggalkan Julian yang masih merenung, merasa kemitraan mereka bukan sekadar hubungan sepupu, tapi kerja sama profesional berlandaskan kecerdasan dan rasa tanggung jawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Secret Agent Or Teacher   48. Kesialan Edward

    Di ruang dengan minim pencahayaan dan beberapa komputer yang menyala menampilkan data-data rumit, Edward begitu fokus dengan kegiatannya. Tangannya begitu sibuk menari diatas keyboard, sesekali sorot matanya akan fokus ke layar komputer."Tiga bayangan dan empat drone," gumam Edward.Edward bersandar pada kursi dengan tangan menyilang di dadanya. "Semua sesuai dugaan kakek Jeremy. Aku tidak menyangka sekolah itu hanya kamuflase dari sebuah rahasia besar," ucap Edward lirih.Edward langsung mengambil ponselnya yang berada tak jauh dari keyboard dan menghubungi Azena. Beberapa kali hanya terdengar suara operator saja. Edward mencoba menghubungi sekali lagi, beruntung panggilan terakhir ini Azena mengangkatnya."Katakan apa tujuanmu sekarang! Berani sekali kamu mengganggu ku."Belum juga Edward menyapa, begitu panggilan tersambung Edward lebih dulu mendengar suara dingin dari sepupunya itu., tanpa sadar Edward meneguk ludahnya kasar."Tenang Ze, a-aku hanya ingin memberitahu mu sesuatu.

  • Secret Agent Or Teacher   47. Menjadi Berbeda Demi Misi

    "Maaf tuan, saya ingin memberikan informasi tentang Nona,"Suara itu menghentikan kegiatan sang pria yang masih fokus pada berkas-berkas didepannya. Tangan kekar itu masih memegang pena ditangan dan mata tajam itu masih menatap berkas yang dikerjakan olehnya, namun pikiran pria itu langsung tertuju pada sosok gadis cantik yang selalu ia awasi keberadaannya."Katakan," jawab sang pria yang masih fokus pada pekerjaannya."Nona, sekarang sedang melakukan misi disebuah sekolah elit tuan," ucap pria yang menjabat sebagai sekertaris sekaligus tangan kanannya.Pria itu mendengarkan secara seksama apa yang sekertaris nya itu ucapkan.Sang sekertaris terdiam sejenak, dirinya bimbang antara memberitahu kepada bos nya itu atau tidak. Jika ia memberitahu disekolah mana sang Nona melakukan misi, bisa saja atasannya itu langsung mengeluarkan aura mengerikan.Sedangkan pria itu menyerngit saat tidak mendengar kelanjutan informasi dari sekertaris nya. Pria itu langsung mendongak menatap wajah sang se

  • Secret Agent Or Teacher   46. Charles

    Azena melangkah masuk ke dalam kelas. Udara di ruangan itu terasa dingin, dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran. Sebagai agen rahasia, Azena sudah terbiasa dengan berbagai misi berbahaya, tapi menyamar sebagai guru seni di sekolah yang mencurigakan ini adalah hal baru baginya.Ia melihat sekeliling. Beberapa pasang mata memperhatikannya dengan saksama, sementara yang lain tampak acuh tak acuh, tenggelam dalam obrolan mereka sendiri. Namun, Azena tidak memedulikan mereka. Matanya menyapu ruangan, mengamati setiap detail, mencari seseorang yang ia yakini ada di sekolah ini."Selamat pagi, semuanya," sapa Azena, suaranya terdengar lembut namun tegas. "Nama saya Eliana Juliette, dan mulai hari ini, saya adalah guru seni baru kalian. Panggil saja Miss Ana."Ia lalu mulai menjelaskan apa itu seni. "Seni, pada dasarnya, adalah cerminan dari jiwa kita," kata Azena. "Tapi, itu hanya definisi yang umum. Aku ingin tahu, menurut kalian, apa itu seni?"Azena menunjuk seorang siswi yang duduk

  • Secret Agent Or Teacher   45. Maudie

    "Perkenalan nama saya Maudie, selamat atas di terimanya anda mengajar di sekolah ini," "Terima kasih Miss Maudie, saya Eliana Juliette.""Anda sangat beruntung bisa diterima disini, karena jarang sekali ada yang diterima. Disini pemilihan guru baru sangat ketat," jelas Maudie.Azena menatap Maudie, "benarkah?"Maudie mengangguk mantap, "iya, bahkan ada beberapa dari orang yang melamar saat penyerahan CV, langsung ditolak oleh kepala sekolah.""Ini .... Kenapa terlihat sepi?" tanya Azena menunjuk koridor yang sangat sepi tidak ada siswa maupun siswi yang lewat lorong koridor itu.Maudie menoleh kearah yang ditunjukkan Azena. "Oh itu, menuju perpustakaan lama dan laboratorium lama yang sekarang tidak di pakai," jelas Maudie."Dan arah timur sana, ruang perpustakaan dan laboratorium baru," tunjuk Maudie pada lorong koridor yang berlawanan arah dengan laboratorium lama, dan tentu saja terlihat banyak siswa dan siswi yang berlalu lalang disekitar tempat itu.Mereka terus berjalan yang dis

  • Secret Agent Or Teacher   44. Hari Pertama Mengajar

    Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya, cahaya keemasan masuk melalui jendela rumah minimalis Azena. Pagi ini, Azena tengah bersiap-siap untuk mengajar di sekolah Silvergade. Setelah kemarin malam mendapat telepon dari staf sekolah itu bahwa ia telah di terima menjadi guru, Azena langsung menyiapkan semua perlengkapan yang akan dibutuhkannya.Di depan cermin rias, Azena mematut dirinya. Ia memilih blus berwarna krem dengan lengan panjang yang sedikit mengembang di bagian pergelangan, memberikan kesan anggun namun tetap santai. Dipadukannya dengan rok midi berwarna cokelat tua berpotongan A-line yang nyaman untuk bergerak. Sebuah kalung berbandul hati yang selalu ia pakai menghiasi lehernya, sentuhan personal yang menambah penampilannya. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai rapi, dan riasan wajahnya tampak natural dengan sentuhan lipstik berwarna nude. Namun, detail yang paling menarik adalah kacamata yang ia kenakan. Sekilas, kacamata itu tampak seperti kacamata baca biasa

  • Secret Agent Or Teacher   43. Peta Digital

    "Bagaimana hasil penyelidikanmu?" tanya pria dewasa yang tak lain Thiago."Dia bersih," jawab lawan bicaranya lugas.Thiago terdiam sejenak, "Baiklah, terus pantau untuk seminggu kedepannya, awasi dia. Dan jangan sampai dia tahu. Mengerti?!""Baik."Setalah pria yang menjadi suruhan Thiago pergi, ia terdiam sejenak di ruang kepala sekolah miliknya. Tak lama tangannya dengan cekatan mengambil ponselnya diatas meja, mengotak-atik ponselnya dan menghubungi seseorang yang sangat berpengaruh bagi hidup Thiago."Halo Tuan, dia bersih. Tidak ada yang mencurigakan," jelas Thiago."Baiklah Tuan." ~~~~~~~Di ruangan dengan pencahayaan yang minim, Azena tengah berkutat dengan komputer yang menampilkan data-data yang rumit. Rekaman-rekaman dari kacamata perekam yang ia gunakan saat wawancara guru seni kemarin kini terhubung ke layar, menampilkan sudut-sudut rahasia sekolah, bahkan beberapa video dan gambar yang ia abadikan. Kacamata bertengger manis di hidungnya, matanya terus fokus pada layar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status