Azena duduk di kursi ergonomisnya. Cahaya pagi menerobos jendela besar ruang kerjanya yang elegan, memantul di dinding putih bersih dan perabotan minimalis yang tertata rapi. Jam digital di mejanya menunjukkan pukul delapan tepat. Aroma kopi dari cangkir porselen masih samar, kalah oleh bau kertas tua dan tinta dari map biru tebal yang terbuka di hadapannya.
Di luar, hiruk-pikuk Departemen Intelijen mulai menggeliat. Suara langkah cepat, dering telepon, dan denting keyboard bersahutan. Tapi di ruangan ini, hanya ada keheningan—dan segunung misteri. Kasus ini masih membingungkan. Bukti-bukti dan data yang dikumpulkan Tim Alpha selama berminggu-minggu masih belum membentuk gambaran utuh. Motif pelaku dan tujuan utamanya tetap menjadi teka-teki. Azena memijat pelipisnya, rasa frustasi mengendap. “Astaga,” desahnya pelan, meletakkan map itu dengan sedikit kasar. Ia bersandar, memejamkan mata, mencoba menyusun ulang potongan-potongan informasi yang berserakan di kepalanya. Tok... tok... tok... Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk,” ucapnya tanpa membuka mata. Pintu terbuka. Lima anggota Tim Alpha masuk, Evangeline, Jonathan, Rachel, Andreas, dan Daniel. Seragam mereka rapi, sikap mereka tegak. Wajah-wajah itu mencerminkan kesiapan sekaligus pertanyaan. “Pagi, Ketua Azena,” sapa mereka serempak. Azena membuka mata dan menegakkan tubuhnya. “Pagi,” jawabnya singkat, menatap mereka satu per satu. Ada kilatan tanggung jawab yang terpantul di matanya. “Kalian pasti bertanya-tanya kenapa saya panggil pagi-pagi begini,” katanya, suaranya tenang namun tak kehilangan ketegasan. “Silakan duduk. Saya akan jelaskan.” Kelima anggota duduk di sofa panjang. Tatapan mereka tertuju penuh pada Azena. “Untuk beberapa waktu ke depan, Jonathan akan memimpin Tim Alpha.” Keheningan menggantung. Rachel mengerutkan dahi, Andreas melirik ke Daniel yang tampak terkejut. Hanya Evangeline dan Jonathan yang tetap tenang, seolah sudah tahu. “Tapi kenapa, Ketua?” tanya Rachel, nada khawatir mengendap dalam suaranya. Azena menunduk sejenak, tangannya menyentuh map biru itu. “Saya sudah mengajukan cuti ke Jenderal, dan disetujui kemarin malam. Mulai hari ini, saya akan absen dari markas. Selama saya tidak di sini, Jonathan akan bertanggung jawab penuh atas tim kita. Dan setiap perintahnya adalah perintah saya.” Ia menatap mereka bergantian, tajam tapi jujur. “Paham?” Semua mengangguk, meskipun wajah Daniel masih terlihat bingung. “Kenapa sekarang, Ketua? Kasus ini belum selesai,” ucap Daniel, tak mampu menyembunyikan kegelisahannya. Azena tersenyum kecil. “Saya akan tetap memantau kalian, saya tidak akan lepas tanggung jawab saya sebagai pemimpin tim ini. Tapi ada hal yang harus saya selesaikan secara pribadi. Jangan khawatir, kalian tidak akan sendiri.” Rachel menyikut Daniel ringan. Daniel yang di sikut langsung terdiam, sedikit menunduk. “Rachel, Daniel, dan Andreas,” lanjut Azena, “kalian bertugas memantau pelabuhan terbengkalai di wilayah utara Western. Ada informasi tentang kemungkinan transaksi senjata ilegal di sana.” Ketiganya mengangguk tegas, siap dengan perintah ketua mereka. “Jonathan, Evangeline, kalian fokus pantau pergerakan musuh. Jangan sampai lengah! Semua laporan harian tetap dikirim padaku. Jelas?” “Mengerti, Ketua,” jawab mereka serempak. “Baik, kalian boleh keluar.” Ketiganya meninggalkan ruangan dengan cepat. Pintu tertutup. Jonathan menatap Azena. “Ze, kenapa kamu menyuruh mereka ke pelabuhan itu? Bukankah fokus kita di pusat kota?” Azena hanya tersenyum samar. “Kamu akan tahu nanti, Jo.” Evangeline mengerutkan kening. “Aku masih belum mengerti.” “Ada informasi yang tidak bisa kubagikan ke semua orang,” ujar Azena pelan. “Tapi kalian berdua harus tahu. Sumberku menyebutkan pelabuhan itu bukan hanya tempat penyelundupan, tapi juga tempat singgah tokoh penting jaringan mafia.” Jonathan dan Evangeline saling bertukar pandang, seolah belum memahami situasi sekarang. Azena menghela napas kecil saat melihat raut wajah kedua rekan seperjuangannya itu. “Aku sengaja mengirim mereka, untuk memastikan sesuatu. Jika tugas ini sampai gagal—berati ada pengkhianat disini.” Evangeline dan Jonathan mengangguk mengerti. Mereka berdua masih tidak menyangka jika ada seorang penghianat di Departemen Intelijen seperti ini. “Soal informasi yang kamu dapatkan, apa sumbermu bisa dipercaya?” tanya Jonathan. “Lebih dari bisa dipercaya,” jawab Azena, kemudian berdiri. Ia berjalan ke lemari kecil, mengambil sebuah alat perekam suara. “Ini adalah rekaman percakapanku dengan Julian. Dengarkan baik-baik.” Ia menyerahkannya pada Jonathan. Evangeline mendekat, penasaran. Mereka berdua mendengarkan rekaman itu secara seksama. “Aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendesak di wilayah barat,” ucap Azena, mengambil tas kecil di bawah mejanya. “Ze, kau yakin?” Jonathan berdiri. Azena menatapnya dengan lembut. “Aku tidak akan pergi jika tak yakin. Jaga tim ini, Jo. Aku percaya padamu.” “Hati-hati,” ujar Evangeline. “Terima kasih. Kalian juga,” balas Azena, melangkah keluar.Di ruang dengan minim pencahayaan dan beberapa komputer yang menyala menampilkan data-data rumit, Edward begitu fokus dengan kegiatannya. Tangannya begitu sibuk menari diatas keyboard, sesekali sorot matanya akan fokus ke layar komputer."Tiga bayangan dan empat drone," gumam Edward.Edward bersandar pada kursi dengan tangan menyilang di dadanya. "Semua sesuai dugaan kakek Jeremy. Aku tidak menyangka sekolah itu hanya kamuflase dari sebuah rahasia besar," ucap Edward lirih.Edward langsung mengambil ponselnya yang berada tak jauh dari keyboard dan menghubungi Azena. Beberapa kali hanya terdengar suara operator saja. Edward mencoba menghubungi sekali lagi, beruntung panggilan terakhir ini Azena mengangkatnya."Katakan apa tujuanmu sekarang! Berani sekali kamu mengganggu ku."Belum juga Edward menyapa, begitu panggilan tersambung Edward lebih dulu mendengar suara dingin dari sepupunya itu., tanpa sadar Edward meneguk ludahnya kasar."Tenang Ze, a-aku hanya ingin memberitahu mu sesuatu.
"Maaf tuan, saya ingin memberikan informasi tentang Nona,"Suara itu menghentikan kegiatan sang pria yang masih fokus pada berkas-berkas didepannya. Tangan kekar itu masih memegang pena ditangan dan mata tajam itu masih menatap berkas yang dikerjakan olehnya, namun pikiran pria itu langsung tertuju pada sosok gadis cantik yang selalu ia awasi keberadaannya."Katakan," jawab sang pria yang masih fokus pada pekerjaannya."Nona, sekarang sedang melakukan misi disebuah sekolah elit tuan," ucap pria yang menjabat sebagai sekertaris sekaligus tangan kanannya.Pria itu mendengarkan secara seksama apa yang sekertaris nya itu ucapkan.Sang sekertaris terdiam sejenak, dirinya bimbang antara memberitahu kepada bos nya itu atau tidak. Jika ia memberitahu disekolah mana sang Nona melakukan misi, bisa saja atasannya itu langsung mengeluarkan aura mengerikan.Sedangkan pria itu menyerngit saat tidak mendengar kelanjutan informasi dari sekertaris nya. Pria itu langsung mendongak menatap wajah sang se
Azena melangkah masuk ke dalam kelas. Udara di ruangan itu terasa dingin, dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran. Sebagai agen rahasia, Azena sudah terbiasa dengan berbagai misi berbahaya, tapi menyamar sebagai guru seni di sekolah yang mencurigakan ini adalah hal baru baginya.Ia melihat sekeliling. Beberapa pasang mata memperhatikannya dengan saksama, sementara yang lain tampak acuh tak acuh, tenggelam dalam obrolan mereka sendiri. Namun, Azena tidak memedulikan mereka. Matanya menyapu ruangan, mengamati setiap detail, mencari seseorang yang ia yakini ada di sekolah ini."Selamat pagi, semuanya," sapa Azena, suaranya terdengar lembut namun tegas. "Nama saya Eliana Juliette, dan mulai hari ini, saya adalah guru seni baru kalian. Panggil saja Miss Ana."Ia lalu mulai menjelaskan apa itu seni. "Seni, pada dasarnya, adalah cerminan dari jiwa kita," kata Azena. "Tapi, itu hanya definisi yang umum. Aku ingin tahu, menurut kalian, apa itu seni?"Azena menunjuk seorang siswi yang duduk
"Perkenalan nama saya Maudie, selamat atas di terimanya anda mengajar di sekolah ini," "Terima kasih Miss Maudie, saya Eliana Juliette.""Anda sangat beruntung bisa diterima disini, karena jarang sekali ada yang diterima. Disini pemilihan guru baru sangat ketat," jelas Maudie.Azena menatap Maudie, "benarkah?"Maudie mengangguk mantap, "iya, bahkan ada beberapa dari orang yang melamar saat penyerahan CV, langsung ditolak oleh kepala sekolah.""Ini .... Kenapa terlihat sepi?" tanya Azena menunjuk koridor yang sangat sepi tidak ada siswa maupun siswi yang lewat lorong koridor itu.Maudie menoleh kearah yang ditunjukkan Azena. "Oh itu, menuju perpustakaan lama dan laboratorium lama yang sekarang tidak di pakai," jelas Maudie."Dan arah timur sana, ruang perpustakaan dan laboratorium baru," tunjuk Maudie pada lorong koridor yang berlawanan arah dengan laboratorium lama, dan tentu saja terlihat banyak siswa dan siswi yang berlalu lalang disekitar tempat itu.Mereka terus berjalan yang dis
Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya, cahaya keemasan masuk melalui jendela rumah minimalis Azena. Pagi ini, Azena tengah bersiap-siap untuk mengajar di sekolah Silvergade. Setelah kemarin malam mendapat telepon dari staf sekolah itu bahwa ia telah di terima menjadi guru, Azena langsung menyiapkan semua perlengkapan yang akan dibutuhkannya.Di depan cermin rias, Azena mematut dirinya. Ia memilih blus berwarna krem dengan lengan panjang yang sedikit mengembang di bagian pergelangan, memberikan kesan anggun namun tetap santai. Dipadukannya dengan rok midi berwarna cokelat tua berpotongan A-line yang nyaman untuk bergerak. Sebuah kalung berbandul hati yang selalu ia pakai menghiasi lehernya, sentuhan personal yang menambah penampilannya. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai rapi, dan riasan wajahnya tampak natural dengan sentuhan lipstik berwarna nude. Namun, detail yang paling menarik adalah kacamata yang ia kenakan. Sekilas, kacamata itu tampak seperti kacamata baca biasa
"Bagaimana hasil penyelidikanmu?" tanya pria dewasa yang tak lain Thiago."Dia bersih," jawab lawan bicaranya lugas.Thiago terdiam sejenak, "Baiklah, terus pantau untuk seminggu kedepannya, awasi dia. Dan jangan sampai dia tahu. Mengerti?!""Baik."Setalah pria yang menjadi suruhan Thiago pergi, ia terdiam sejenak di ruang kepala sekolah miliknya. Tak lama tangannya dengan cekatan mengambil ponselnya diatas meja, mengotak-atik ponselnya dan menghubungi seseorang yang sangat berpengaruh bagi hidup Thiago."Halo Tuan, dia bersih. Tidak ada yang mencurigakan," jelas Thiago."Baiklah Tuan." ~~~~~~~Di ruangan dengan pencahayaan yang minim, Azena tengah berkutat dengan komputer yang menampilkan data-data yang rumit. Rekaman-rekaman dari kacamata perekam yang ia gunakan saat wawancara guru seni kemarin kini terhubung ke layar, menampilkan sudut-sudut rahasia sekolah, bahkan beberapa video dan gambar yang ia abadikan. Kacamata bertengger manis di hidungnya, matanya terus fokus pada layar