Share

Secret Love With My Driver
Secret Love With My Driver
Penulis: Ria Abdullah

Ranjang berantakan ini

**

Desir-desir angin sore  menggoyangkan dahan dan dedaunan  di sekitarku. Beberapa kali terpaannya mempermainkan anak rambut dan membelai wajah. Sedangkan aku termenung di bingkai jendela sambil menerawang jauh pada hamparan sawah dan bukit-bukit menghijau di bawah sana.

Masih terpaku pada posisi yang sama dari satu jam yang lalu. Memikirkan apa yang beberapa saat lalu terjadi, kemudian memejamkan mata sambil menggigit bibirku pelan, menahan gejolak yang bergemuruh dalam dada. Menahan amarah pada kebodohanmu, memendam sesal pada dosa yang kuperbuat, dosa yang mungkin menjadi aib yang menyakitkan pada anak dan suamiku. 

Ingin kuhajar diriku sendiri.

Ranjang dan selimut itu, masih pada posisi yang sama, tersibak dan berantakan meninggalkan jejak pergumulan panas yang hanya dimengerti oleh sebagian yang merasakan. Bantal-bantal juga handuk berserakan di  lantai parquette hotel ini.

Ketika melakukan itu,  aku tak sadar aku hanyalah wanita biasa, seorang Ibu dan istri yang berumur hampir 40 tahun.

Menjijikkan tapi aku menikmati, menikmati lalu menyesali. 

Luar biasa.

Kutarik napas dalam, lalu kuembuskan kembali dengan kasar. Kuraih mantel dan kunci mobil lalu meninggalkan tempat di mana aku tak seharusnya berada.

Kring ...

Bunyi ponselku, kutekan tombol di bagian kemudi yang terhubung ke gawai tersebut.

"Halo," sapaku lirih.

"Halo," jawab sebuah suara di seberang sana.

"Sabrina, kamu masih di lokasi?" tanya pria yang telah lima belas tahun membersamai kehidupanku dan mengikatku dalam jalinan suci pernikahan. Mas Andri, suamiku, sosok yang hangat, dan penuh cinta.

"Bentar lagi, aku pulang Mas."

"Cuma mau ngasih tahu aja, kalo aku gak bisa pulang, langsung nginep di hotel aja, biar mudah aksesnya ke kantor. Kebetulan kami ada seminar dan pameran produk, jadi aku gak mau melewatkan untuk turun langsung memeriksa persiapannya," katanya panjang lebar.

"Oh, baiklah. Terserah Mas saja." Aku menutup sambungan lalu melempar pandangan lagi. Tercenung sambil menatap awan yang berarak di langit sore yang cerah.

"Bahkan awan pun bergerak tidak sendiri," batinku.

Sosoknya penuh cinta, iya. Itu dulu.  Sekarang, sejak bisnisnya berkembang dan kesibukannya meningkat. Ia meninggalkanku dan tenggelam dalam dunia sendiri. Mampir ke rumah hanya berganti pakaian dan pergi lagi.

Tak ada lagi, sentuhan hangat, pelukan mesra atau gendongannya yang mengangkat tubuhku tinggi-tinggi lalu membawaku ke peraduan dan kami memadu asmara dengan temaram lilin aromaterapi yang menambah suasana romantis. 

Aku kesepian.

Kucoba mengalihkan diri,  mencari kegiatan daripada depresi berteman sepi. Ikut ambil bagian dalam kegiatan sosial dan membentuk yayasan bersama beberapa sahabatku yang berasal dari kalangan mampu, kami kerap mengadakan bakti sosial dan mengunjungi berbagai tempat sebagai cara mengelola dan bertanggung jawab pada dana.

Aku memiliki seorang putra yang sekarang telah berada di kelas delapan. Ia memilih bersekolah di luar kota, di sebuah sekolah elite internasional yang mengharuskan siswanya menetap di sana selama masa belajar. Praktis, aku makin kesepian.

Setiap kembali ke rumah, membuka pintu lalu merebahkan diri di sofa kembali berada di antara hanya kebisuan dan keheningan.

Ketika kutelpon pria yang photo yang tergantung  indah bersebelahan denganku di ruang tamu, ia hanya menjawab sekilas lalu menutupnya dengan berbagai alasan. Ingin kukatakan aku butuh waktu bersamanya, ingin kucurahkan kerinduan melalui dekapan sambil memikmati aroma maskulin tubuhnya. Namun semua hanya angan-angan belaka.

Teringat terakhir kali ketika kami makan malam bersama.

"Mas, sesekali kita liburan atau pergi mengunjungi Reza di asrama," cetusku ketika kami makan malam.

"Hmm," gumamnya.

"Aku ... Sudah berkeliling ke banyak tempat, panti asuhan, panti jompo bahkan ke kampung korban gempa tahun lalu, respon mereka sangat menyambut. Aku bahagia sekali bisa meringankan beban mereka. Namun, hal yang lebih membahagiakanku jika kita sebagai keluarga berkumpul dan menikmati waktu bersama." Aku bercerita sambil menatap matanya dengan penuh antusias.  

Namun responnya biasa saja. Menatap sekilas lalu melanjutkan makannya.

"Aku gak sempat, sibuk."

"Tapi ... Aku kangen kebersamaan kita. Mungkin, aku bisa menciptakan senyum di bibir anak-anak lain, tapi pada anakku. Beberapa kali dia kecewa lho, Mas. Mas gak mengunjungi dia," desahku pelan.

Ia mendongak lagi menatapku, menghentikan makannya, lalu meneguk air, bangkit kemudian meraih kunci mobilnya.

"Mas, Mas mau kemana?" Tanyaku cepat sebelum ia menutup pintu utama.

"Ada urusan."  

"Bahkan Mas belum selesai makan," bujukku pelan.

"Udah, gak selera. Dan ya, Sabrina, titip salam buat Reza, Ayah sibuk ngurus bisnis demi masa depan dia. Ucapkan begitu," kata suamiku sambil berlalu.

Aku hanya meremas kepalan tanganku ketika mobilnya menghilang dari balik gerbang. Ada miris sedih dan terluka yang menggerogoti hati menuntut sebuah balasan atau pertanggung jawaban.

"Aku ini istrinya, bagaimana ia bisa seacuh ini padaku," tanyaku sendiri.

Kuhempaskan diri di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua belah tangan. Meratapi malangnya diri ini. Wanita yang mampu secara finansial namun tersiksa secara mental.

Dan aku kembali terhenyak lagi saat ini, seolah terbelenggu dalam sangkar emas. Rumah megah yang kutinggali yang sama sekali tidak membuatku bahagia akhir-akhir ini.

Tring ...

Sebuah notifikasi di ponselku. Kuketuk layar lalu kubuka pesan yang masuk ke aplikasi hijau itu.

[Sayang, aku masih rindu denganmu, ada waktu besok kan? Aku ingin mengulang kembali yang terjadi tadi.]

Kubaca saja lalu kuhapus pesan tersebut sambil merutuki diri.

Pemuda uang mengirimkan pesan itu, tak sengaja aku menjumpainya di yayasan. Pemuda bersahaja yang pesonanya mampu membuatku merasa kembali muda. Tatapannya yang membuat darahku selalu berdesir, hingga tak bisa kuhindari kedekatan kami terjadi begitu saja.

"Ah, seharusnya aku tak mengenalnya," bisikku sendiri.

"Oh ya, bukankah kamu juga menikmati?" Jawab seseorang yang duduk di pojok sana sambil tertawa sinis. Seseorang yang penampilannya bahkan seringainya sama denganku.

"Apa maksudmu?" Kataku sambil bangkit dari tempat dudukku.

"Wanita kotor, bagaimana kau berharap suamimu pulang, sedang kau sendiri mengkhianatinya," katanya sinis.

"Diam!" bentakku. Kuraih apa saja di dekatku dan kulempar ke arahnya.

"Bukankah, belaian dan hentakan dari pemuda itu membuatnya serasa berada di awang-awang?" Ucapnya semakin mengejekku.

Prang ...

Lemparan ponselku mengenai hiasan keramik di atas meja, benda itu terpental lalu pecah berkeping-keping.

Bayanganku yang tadi menghilang meninggalkanku sendiri yang frustasi dan putus asa dalam kesepian rumah ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
masih baca di awal belum faham
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status