Share

Dia lagi

**

Setelah puas menangis dan meratap, aku memutuskan untuk ke luar, turun  ke halaman depan untuk menikmati udara dan membuang sesak dalam dadaku. 

Ketika melewati kamar putraku, aku terketuk untuk memastikan keadaannya. Maka kubuka pintu kamar dan kutemukan dia sudah tertidur dengan pulasnya di ranjang. Aku sedikit lega, setidaknya ia tidak mendengar pertengkaran kami.

Kususuri tiap sudut rumah dan mencari keberadaaan suamiku tadi, biasanya,  jika ia sedang kesal, dia akan memilih untuk duduk di ruang baca sambil menyetel musik. Namun tak kutemukan dia di sudut manapun rumah ini.

Kubuka pintu utama, lalu menyusuri halaman samping  dan mini bar pribadi miliknya, semuanya kosong tidak ada tanda Mas Andri ada di sana, hanya gelap gulita saja.

Tiba-tiba suara sandi pintu gerbang berbunyi dan sesaat kemudian pintu baja tersebut terbuka dan sesosok pemuda tampan yang selalu membuat dadaku bergemuruh hadir dari luar sana. Aku cukup terkesiap dengan kehadirannya

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.

"Saya disuruh Pak Andri untuk mengambil  pakaiannya," jawabnya.

Mas Andri selalu seperti itu, tiap kali kami bertikai, aku semakin kecewa padanya. 

Lantas aku tak menjawab ucapan Handy sedikitpun  hanya memalingkan muka agar wajahku yang sembab tak terlihat olehnya. Lama aku berdiri dan membisu sehingga mungkin membuat pemuda itu merasa aneh.

"Nyonya ... Anda mendengar saya 'kan?"

Kuangkat wajahku dan kulihat ekspresi sopan dan senyumnya yang manis membuatku mau tak mau tertawa, laku kemudian menangis sedih.

"Lho, kenapa? Ada apa, Nyonya?" Tanyanya sambil mendekatiku dan meraihku ke dalam pelukannya. 

Sedikit Kehangatan yang kudapatkan dari rengkuhan dan cara ia memperlakukanku membuatku sedikit merasa nyaman. Setelah aku puas menangis dan mulai mengatur napas dan tenang, dia mengangkat wajahku dan bertanya.

"Ada apa?"

"Aku hanya ... Ya, begitulah," jawabku sambil membenahi cardigan yang kukenakan.

"Maaf," katanya lirih.

"Ini buka salahmu," balasku.

"Maaf karena sudah bertanya dan membuat Anda sedih. Andai aku punya kuasa ingin kuajak anda selalu berbahagia saja," katanya dengan tatapan yang begitu dalam. Sekali lagi aku memeluknya dan ia membalas degan kecupan di pucuk kepala.

"Anda tidak seharusnya disakiti," bisiknya pelan di telingaku.

"Lalu, seharusnya?" sambungku bertanya.

"Dicintai," katanya dengan menyentuhkan bibirnya ke daun telingaku, sensasi geli dan hangat yang menjalari syaraf membuatku seketika lupa diri, namun kukendalikan segera gejolak yang sedang menggelora itu.

Kutarik tubuhku darinya dan segera menjauh beberapa langkah,

"Kamu bisa naik ke kamar dan silakan ambil sendiri, baju-baju suamiku," kataku sambil berlalu menuju taman dan kolam renang di area belakang rumah.

"Tapi ...."

"Tak apa, toh kamu juga bukan pencuri," jawabku sambil meneruskan langkah.

"Bukan begitu, aku hanya merasa Anda sedang menjauhiku," ucapnya pelan.

"Lalu apa yang kamu harapkan dari hubungan ini?" Balasku sambil berlalu.

Tak ingin memperpanjang percakapan dengannya, karena semakin lama aku bersamanya semakin tumbuh subur rasa cinta dan ketertarikan gila ini.

*

Kuperhatikan pantulan diriku dari  kilau  permukaan kolam yang tertimpa cahaya keemasan lampu-lampu taman.  Terlihat indah namun semu, sesaat aku tertawa miris lalu detik berikutnya penyesalan menguasai dinding hatiku.

Penyesalan pada semua hal yang tidak seharusnya terjadi, bahkan penyesalan pada keputusanku yang akhirnya bersedia dipersunting Mas Andri. Tadinya, kupikir aku akan bahagia, bersuamikan pria mapan yang baik dan tampan, nyatanya, aku berakhir merana dan mensia-siakan hidup sendiri.

Dari luar, dari tampilan fisik aku terlihat seperti wanita paling bahagia dan elegan di dunia, namun kenyataan yang sebenarnya, aku seperti terbunuh dalam diam, tiap hari hanya dihunjam perih dan rundung dari sikap suamiku.

Mengapa tak sedikitpun hatinya terketuk, untuk menerima dan menyayangiku?

Dan ya, apalagi hubungan yang telah ia jalin dengan Mbak Andhara?

Selagi aku tenggelam melamunkan semua itu, tiba-tiba Handy sudah berada di hadapanku.

"Nyonya, saya sudah mengambil pakaian Pak Andri," katanya sambil memperlihat totebag berisi pakaian Mas Andri.

"Ya baiklah,. Antarkan untuknya," jawabku lemah sambil menerawang jauh.

"Apa ... Anda akan baik-baik saja?" Tanya dengan nada sangat hati-hati.

Kutengadahkan wajah ke arahnya lalu kusunggingkan senyum, "iya tentu saja, aku akan jaga diriku."

"Tapi ...anda terlihat begitu sedih," katanya.

"Tidak," balasku sambil tertawa getir, menetralkan suasana 

"Iya," sangkalnya menolak argumen barusan.

"Jangan sok tahu," tekanku.

"Saya memang tahu?"

"Apa yang kamu tahu?" Tanyaku dengan nada menantang.

Ia lepaskan tote bag di lantai lalu ia menghampiriku  sehingga kami hampir tak berjarak.

"Apa ... Mau apa?"

"Mau memastikan," katanya dengan serius.

"Apanya?"

"Bahwa ini memang kamu, Nyonya."

Pandangan matanya yang menyiratkan perhatian dan cinta seakan-akan menembus relung hatiku dan membuatku tersesat dalam rimba halusinasi kebahagiaan.  Andai aku bukan milik orang lain, pasti akan kuputuskan untuk berlari bersamanya dan memulai kehidupan baru. Tapi, sekali lagi, aku punya anak dan suami.

"Tolong lepaskan aku," kataku sambil menggeliat berusaha melepaskan diri dari rengkuhannya.

"Aku gak mau," jawabnya sambil mendekatkan wajahnya lebih lekat lagi hingga aku bisa merasakan napas itu lagi dan lagi.

"Ada anakku di rumah, dia bisa melihat kita," kataku sambil mendongak ke arah jendela kamar Reza dan berusaha melepaskan diri, tapi, semakin kuat aku berusaha semakin kuat pula rengkuhannya.

"Handy ...." Aku mengangkat wajah dan menatapnya tajam, berharap dengan begitu ia akan segan.

"Nyonya ...," balasnya lembut.

"Hentikan menggangguku, Handy. Aku tidak ingin terlibat begitu jauh," desisku yang mulai emosi.

"Aku terlanjur terlibat, aku sudah jatuh cinta, Sabrina," bisiknya sambil membingkai wajahku dengan kedua belah tangannya.

Kutolehkan mukaku ke arah yang berbeda agar aku tak meleleh dengan tatapan indah yang melelehkan itu, walau aku berusaha menolaknya namun di sudut hati yang lain aku juga merindukan sebentuk kasih sayang.

"Benarkah, kau  tak menyukaiku sama sekali?" Tanyanya semakin mendekatkan wajahnya hingga kening kami saling bersentuhan.

"Tidak."

"Tatap mataku," pintanya.

Tentu saja, aku tak sanggup menatap matanya, karena aku akan semakin kalah dan cinta ini semakin membuncah untuknya.

"Ayo tatap mataku," desaknya lagi.

"Handy ... Tolong," kutatap matanya lekat.

Seketika saja ia menarik wajahku lalu memberiku kecupan terhangat. Aku terkejut dan secepat mungkin berusaha melepasnya, namun aku tak sanggup, ia begitu kuat, dan aroma napas yang serupa candu itu, membuatku ingin melepaskan diri tapi malah, semakin lekat, seolah olah tubuh ini telah terpasung dalam pelukannya.

Ia melepasku sekilas lalu berkata, "benarkah, kau menolakku, Menolak cintaku?" katanya dengan nada memelas membuatku yang tadinya kukuh dengan pendirian menjadi goyah dan  terenyuh. Aku semakin berada dalam dilema.

"Aku harus berani melakukan itu  Handy, aku punya suami!"tegasku.

Sekali lagi ia mengecup bibirku lalu ke keningku, kemudian ia lepaskan rengkuhannya, dan mundur perlahan dengan langkah pelan, diraihnya tote bag tadi, dan melangkah pergi.

"Aku selalu mencintaimu, nyonya, bahkan jika Nyonya gak lagi melihatku, aku akan tetap setia ada di samping nyonya. Aku gak akan mengganggu lagi, tapi mohon ... Biarkan aku mencintai Nyonya walau hanya dari jauh dan dalam diam saja." 

Astaga ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status