Olsen menyusul Ceysa ke kamar karena tidak sabar menunggu istrinya yang tak kunjung datang ke ballroom, tempat pesta pernikahan mereka berlangsung. Dia terkejut ketika tidak menemukan istrinya di sana.
“Ceysa ...!” panggil Olsen, namun tidak ada yang menyahut.
“Di mana dirimu? Jangan bercanda, semua orang sudah menunggu kita untuk berdansa.”
“Ceysa ...!” panggilnya lagi dengan nada yang lebih tinggi.
Olsen memeriksa setiap sudut kamar dan juga kamar mandi, tetapi tidak menemukan orang yang dia cari. Saat ingin keluar dari kamar, langkahnya tertahan karena kakinya menginjak sesuatu. Dia menurunkan tatapan dan terbelalak melihat foto-foto yang ada di bawah kaki.
“Shiiitt ...!” umpatnya keras sambil mengambil foto-foto tersebut.
Dengan kemarahan memuncak, Olsen meremas foto tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Tangannya mengepal kuat hingga gemetar, matanya memerah dan rahangnya mengeras. Dia tidak akan membiarkan istrinya mempermalukan dirinya di depan semua rekan bisnis yang datang di pesta.
Dia segera berlari keluar kamar sambil menelepon seseorang. “Cari istriku dan temukan dia! Dia kabur dari pesta. Bawa dia padaku apapun keadaannya! Jika perlu, seret paksa wanita itu agar kembali padaku,” ucapnya penuh kemarahan.
*
“Benarkah kamu tidak apa-apa ikut bersamaku ke Greenland? Itu hanya pedesaan kecil di ujung negara ini yang bahkan sebagian besar orang tak mengetahui keberadaannya,” Calvin memastikan keputusan Ceysa bersedia ikut dengannya ke tempat kelahirannya.
“Aku yang seharusnya bertanya padamu, apakah keluargamu tidak keberatan karena aku ikut denganmu?” balas Ceysa.
“Orang tuaku selalu menerima teman-temanku dengan baik, aku yakin mereka tidak akan merasa keberatan dan senang menyambutmu.”
“Aku rasa alasan itu sudah cukup bagiku untuk ikut bersamamu.”
“Maafkan aku karena tidak bisa meminjamkan apartemenku padamu. Aku terlanjur telah menjualnya dan harus pindah ke tempat kelahiranku malam ini. Orang tuaku sedang membutuhkan orang untuk mengelola peternakan dan pertanian yang mereka miliki.”
“Kenapa kamu meminta maaf? kamu tidak bersalah apapun terhadapku.”
“Tetap saja aku mengecewakanmu karena tidak bisa memberimu tempat yang layak.”
“Itu bukan kewajibanmu, aku yang merasa tidak enak karena merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa direpotkan, aku malah senang kamu bisa ikut bersamaku.”
Ceysa tersenyum tipis, menahan rasa sungkan pada sahabatnya tersebut. “Terima kasih telah bersedia membantuku, hanya kamu yang aku pikirkan saat aku butuh bantuan. Aku janji akan segera pergi dari Greenland setelah mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal.”
“Terima kasih juga telah memberiku kepercayaan sehingga kamu datang padaku. Kamu tidak perlu buru-buru mencari pekerjaan, tenangkanlah dirimu terlebih dahulu. Aku rasa Green Land akan menjadi tempat yang cocok untukmu karena tempatnya jauh dari keramaian.”
Menanggapi hal tersebut, Ceysa mengangguk pelan lalu memalingkan wajah ke jendela mobil yang dia naiki, menyembunyikan kesedihan dari Calvin. Matanya menatap sendu ke luar jendela, bayangan kemarahan Olsen karena kepergiannya terbesit di pikiran dan membuatnya cemas.
Pria yang memiliki wajah tampan dengan rahang kokoh serta bibir seksi itu akan berubah menjadi monster menakutkan ketika seseorang mengusik ketenangan hidupnya. Ceysa sadar jika dia bukan sekedar mengusik ketenangan Olsen, namun telah mempermalukan pria itu di depan semua rekan bisnisnya.
Memikirkan hal tersebut, membuat tubuhnya menggigil. Hawa dingin merayap mencengkeram dirinya, kekhawatiran membuatnya gelisah dan tidak tenang.
“Apakah kamu merasa kedinginan, tubuhmu menggigil? ada pakaian hangat di kursi belakang kalau kamu mau,” tawar Calvin ketika melihat tubuh Ceysa yang menggigil.
“Ya, aku rasa aku membutuhkannya,” balas Ceysa yang kemudian mengambil pakaian hangat tersebut dan menutupkan ke tubuhnya.
Bukannya merasa hangat, hawa dingin itu malah semakin terasa kental karena bukan udara dingin yang membuatnya menggigil. Dia menyembunyikan tubuhnya yang semakin menggigil di balik pakaian hangat itu dan memejamkan mata pura-pura tidur. Dia tidak ingin Calvin bertanya macam-macam tentang apa yang terjadi pada dirinya.
Ketakutan akan kemarahan suaminya, biar dirinya sendiri yang menanggungnya. Dia berharap, Olsen tidak menemukan keberadaannya karena kini dia berada jauh dari jangkauan pria itu.
Semakin lama rasa kantuk pun menyerang, Ceysa masuk ke alam mimpi dimana papanya dan Olsen mengejar-ngejarnya di dalam tidur. Titik-titik keringat dingin membasahi kening, bibirnya gemetar hendak berteriak minta tolong, namun tak bisa dia lakukan.
Guncangan mobil karena jalan berbatu yang Calvin lewati, membuat mimpi buruk Ceysa semakin mencekam. Dia berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari kejaran Olsen, sialnya kakinya tersandung dan membuatnya terjatuh.
“Mau lari kemana lagi, Ceysa? Kamu tidak bisa menghindar dariku,” geram Olsen penuh kemarahan.
“Aku tidak sudi hidup bersamamu, pergi saja dengan jalangmu itu. Aku dengan sukarela bersedia bercerai denganmu.”
“Tidak semudah itu. Kamu telah mempermalukanku, maka kamu harus mendapatkan hukuman dariku. Aku akan membuat hidupmu seperti di neraka, lebih menderita dibanding saat kamu hidup bersama papamu,” ujar Olsen yang kemudian menarik tanganya dan menyeret dengan paksa.
“Lepaskan aku!” teriaknya dalam mimpi.
Ceysa seketika terbangun dengan nafas terengah, seakan dia baru saja berlari ratusan km. Matanya berkedip sakit karena sinar matahari yang silau. Dia tidak menyangka jika Calvin telah mengendarai mobil semalaman dan sekarang matahari sudah bersinar terang.
“Apakah kamu baik-baik saja? sepertinya kamu bermimpi buruk?” tanya Calvin khawatir masih dengan mengemudikan mobil.
Ceysa segera menegakkan tubuh dan terduduk. “Bisakah kita berhenti sebentar, aku butuh udara segar.”
“Di depan ada tempat pemberhentian, aku akan mengisi bahan bakar dan kamu bisa turun untuk mencuci muka serta mencari udara segar.”
Ceysa mengangguk setuju, mereka kemudian turun di pemberhentian yang Calvin katakan. Ceysa langsung berlari mencari toilet dan memuntahkan isi perut di kloset yang ada di kamar mandi tersebut. Perutnya terasa mual sehingga tak mampu lagi menampung makanan yang dia makan semalam.
Setelah tidak ada lagi makanan yang bisa dia muntahkan, Ceysa terduduk di lantai kamar mandi dan menangis di sana. Dia tidak menyangka jika lari dari suaminya terasa lebih menakutkan dibanding lari dari papanya.
Tidak ingin Calvin merasa khawatir, Ceysa berusaha berdiri dengan tubuh yang masih gemetar. Dia mencuci muka untuk menyamarkan mata yang sembab. Dia melanjutkan perjalanan setelah membeli snack untuk mengisi kembali perutnya yang kosong.
Sesampainya di tanah pertanian milik keluarga Nelson, Ceysa terperangah kagum. Pertama, dia disambut oleh sungai kecil dengan air yang sangat jernih. Semakin ke dalam, hamparan permadani hijau menyegarkan mata, perbukitan dan lahan yang luas penuh dengan rumput yang tumbuh segar.
“Untuk apa semua rumput itu dibiarkan tumbuh begitu saja?” gumam Ceysa dengan mata yang tak berkedip.
“Kami memang menanam rumput di sini,” jawab Calvin.
“Apa gunanya? Apakah rumput bisa dijual?”
Calvin tertawa merespon pertanyaan Ceysa yang terdengar lucu untuknya. “Kami memiliki banyak sapi dan kuda, butuh banyak rumput untuk memberi makan mereka.”
“Oh ...” gumam Ceysa seperti orang bodoh karena tak berpikir sampai ke sana.
Melewati lahan rumput ratusan hektar, kini ladang jagung yang tampak menguning mencerahkan mata. “Apakah ini untuk hewan peternakan juga?”
“Sebagian ya, tetapi sebagian lagi untuk dibuat sereal dan makanan kita sehari-hari,” jawab Calvin.
“Keluargamu sangat hebat, kalian hidup di lumbung makanan. Kenapa kamu jauh-jauh pergi ke kota jika di sini kalian bisa hidup tenang?”
Cesya merasa penasaran dengan kehidupan sebuah keluarga yang tak pernah dirasakan dalam hidupnya selama ini.
Kenny terbangun dengan wajah tampan Calvin yang tidur pulas di depannya, nafas pria itu berhembus teratur mengenai keningnya. Aroma mint memenuhi indra pembaunya bercampur aroma tubuh Calvin yang maskulin.“Suamiku sangat tampan,” gumamnya pelan agar tidak membangunkan Calvin.Tangannya terasa gatal untuk menyentuh bibir tebal suaminya, permukaan hangat yang menyentuh permukaan jarinya mengingatkan bagaimana bibir itu membuatnya berteriak berkali-kali.Tak sampai di situ, tangannya bergerak untuk merapikan rambut Calvin yang berantakan. “Kamu terlihat sangat seksi dengan rambut berantakan, ini adalah pemandangan indah yang bisa aku nikmati setiap pagi dan aku bersyukur atas hal ini.”Setelah puas mengagumi suaminya, Kenny turun dari ranjang untuk membersihkan diri, namun belum sempat melangkah, cairan bening mengalir dari inti miliknya. Awalnya dia hanya membeku menatap air yang mengalir di kakinya dan membasahi lantai kamar, namun beberapa detik kemudian kontraksi yang sangat menyaki
Akibat perkataan Olsen dan Ceysa tentang perjodohan anak mereka, Calvin dan Kenny sepakat meminta pada dokter agar tidak diberitahu jenis kelamin anak mereka untuk menghindari tersedotnya pikiran mereka tentang permintaan konyol tersebut.Setelah kehamilan Kenny berjalan lebih dari 9 bulan, mereka mengkhawatirkan hal lain karena Kenny tak kunjung mengalami kontraksi. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Calvin membawa istrinya ke dokter.“Apakah kandungan istriku baik-baik saja? kelahiran anak kami sudah mundur dua minggu dari jadwal yang seharusnya,” terang Calvin.“Aku akan memeriksanya terlebih dahulu,” ujar dokter yang menangani kehamilan Kenny.Dokter itu menyiapkan alat USG untuk memeriksa kondisi bayi yang ada di dalam kandungan Kenny. “Air ketubannya masih bagus, keadaan bayinya juga sehat. Kepala bayinya sudah berada di bawah dan posisinya normal.”Penjelasan dokter membuat Calvin dan Kenny cukup lega.“Jika dalam beberapa hari istriku belum juga kontraksi, apa yang h
Kenny menangis di depan gundukan tanah merah yang masih basah, dia masih tidak percaya jika nasib papanya akan berakhir tragis. Calvin masih setia berdiri di samping istrinya sambil memeluknya, menunggu Kenny mengikhlaskan kematian papanya.“Udara sudah mulai dingin, sepertinya akan turun hujan. Apakah kita bisa pulang sekarang? Ingat kesehatan dan janin yang sedang kamu kandung,” ujar Calvin lembut mengingatkan istrinya.“Apakah kamu berpikir jika papa sudah bahagia sekarang?” tanya Kenny seolah tak mendengar perkataan suaminya.“Ya, papamu sudah bahagia. Dia sudah bersama mamamu dan berharap kamu pun juga bahagia di dunia ini,” ujar Calvin.Kenny menengadahkan wajah menatap langit yang mendung. “Kamu benar, papa dan mamaku sudah bahagia di sana. Ayo kita pulang sekarang.”Dengan hati-hati, Calvin menuntun istrinya masuk ke mobil lalu membawanya pulang.Beberapa hari berlalu Kenny masih tenggelam dalam kesedihan, dia lebih banyak diam dan sangat jarang tersenyum. Hal tersebut membuat
Kenny berusaha lari sekencang-kencangnya agar tidak tertangkap papanya, namun kakinya terasa berat. Dia menoleh ke belakang untuk tahu seberapa jauh jaraknya dengan papanya, hal tersebut membuat keseimbangannya hilang, kakinya tersandung dan hampir jatuh, tubuhnya oleng ke depan dan menabrak seseorang dengan keras.Trauma tentang penculikannya di masa lalu membuatnya berusaha memberontak dari cengkeraman orang yang ditabraknya, dia tidak ingin tertangkap dan dijual lagi oleh papanya.“Kenny, ini aku,” ujar orang itu berusaha menenangkan.Mendengar suara yang tidak asing itu, indra penciuman Kenny langsung menangkap aroma yang selalu dia rindukan. Dia menegakkan wajah dan menatap pria yang memeluknya erat. Air mata yang membuat penglihatannya kabur, tidak menghalanginya untuk mengenali pria tersebut.“Calvin …” gumamnya pelan, lalu pingsan di pelukan suaminya.Fortin yang melihat tatapan membunuh Calvin, menghentikan pengejarannya dan memilih untuk kabur.Jika saja Kenny tidak sedang p
5 tahun kemudian …Musim dingin melingkupi peternakan Nelson membuat hewan-hewan tak bisa keluar dari kandang, begitu juga pemiliknya. Calvin menghabiskan waktu lebih banyak di rumah dan itu sangat merepotkan Kenny.Seperti pagi ini disaat mereka seharusnya sarapan, keduanya masih terkunci di dalam kamar. Wajah Kenny memerah penuh keringat hingga lupa jika saat ini sedang musim dingin, nafasnya memburu kasar ketika Calvin terus bergerak di atasnya.Selama beberapa minggu terakhir pria itu tak pernah bisa jauh darinya, apalagi setelah memasuki musim dingin, sikap Calvin semakin parah. Awalnya Kenny merasa senang ketika suaminya mengikutinya kemanapun dia pergi, tapi semakin lama dia merasa kesal karena akhirnya berujung seperti saat ini.“Aroma tubuhmu sangat menggoda, kamu benar-benar menjadi canduku.” Jantung Calvin berdetak cepat saat mengatakannya.Kenny terpekik ketika Calvin menaikkan tempo gerakan, miliknya terisi sangat penuh, dinding-dinding syarafnya terdesak hingga rasanya i
Kenny merenggangkan tubuh yang terasa pegal setelah melayani keinginan suaminya selama semalaman suntuk. Silau cahaya matahari yang sudah meninggi yang masuk dari jendela kamar, membuatnya harus meletakkan tangan di atas mata untuk melindunginya.Saat menoleh ke samping dia menemukan ranjang tempat Calvin berbaring telah kosong, tetapi dia tersenyum melihat buket bunga yang tergeletak di sana sebagai pengganti.Dia mengambil bunga itu lalu mencium wanginya, aromanya begitu menenangkan dan membuat hormonnya bersorak senang.“Calvin ternyata sangat romantis,” gumamnya sambil mengambil catatan kecil di buket tersebut.“Maafkan aku harus bangun lebih dulu dan tidak menunggumu. Aku tidak tega membangunkanmu karena telah membuatmu kelelahan semalam. Aku harus ke peternakan tetapi akan aku usahakan untuk menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat karena aku tidak sabar ingin bersamamu kembali. Aku mencintaimu.”Suara Kenny menggema membaca catatan kecil dari suaminya. Dia menatap nama suaminya t