Estefan hanya tersenyum singkat, tak lebih dari satu detik dan dia segera menarik tangannya sendiri sampai lepas dari genggaman Kaluna. "Ah, maaf ...!" "Kamu boleh pulang sekarang," kata Estefan datar seakan mengusir keberadaan Kaluna dari ruang kesiswaan. Kaluna mengangguk sopan sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan Estefan yang sedang membereskan meja. "Lun, jangan lupa besok kamu harus ikut tante arisan." Ola mengingatkan ketika Kaluna tiba di rumah dengan diantar sopir pribadi. "Besok ...? Aku kira masih minggu depan!" Kaluna pura-pura lupa sambil meringis memandang tantenya. "Nggak ada alasan," sahut Ola sambil mencubit pelan pipi Kaluna. "Dunia luar itu indah, Lun. Jadi nggak ada salahnya kamu ikut tante arisan. Teman-teman tante kadang bawa anak mereka juga." Kaluna hanya diam mendengarkan, dia tahu alasan Ola lebih memilih mengajaknya daripada mengajak anaknya sendiri yang seorang laki-laki. "Malas banget ..." keluh Kaluna sambil menjatuhkan diri di tempat tid
Ketika Ola begitu mengagumi penampilan Kaluna dengan kecantikannya yang luar biasa, Hendra justru terlihat ragu-ragu menyaksikan keponakan satu-satunya didandani layaknya perempuan dewasa.“Kamu sepertinya berlebihan, itu keponakan kamu sendiri lho!” komentar Hendra dengan berbisik saat Ola duduk di sampingnya. “Kamu jangan terlalu kelihatan berambisi di depan Luna ...”“Shh!” desis Ola, sebisa mungkin dia bicara tegas tanpa mengeluarkan suara. “Kamu lihat kan, Luna begitu anggun. Ya ampun Sayang, sini senyum sebentar.”Kaluna sempat memandang tantenya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Melihat Kaluna hanya duduk diam di belakang, Ola buru-buru mengingatkannya bahwa ini hanyalah acara arisan biasa. Setelah itu Ola segera mendesak suaminya untuk pergi mengantar mereka ke lokasi pertemuan.Di sepanjang perjalanan, Ola selalu menyuruh Kaluna untuk tersenyum lebih sering daripada biasanya. Lama-lama Kaluna jadi merasa janggal dengan sikap tantenya yang terlalu berlebihan untuk sebuah aca
Di waktu yang sama, tapi di tempat yang berbeda ....Dewangga duduk di meja belajar sambil menumpangkan satu kakinya ke atas kaki yang lain, sementara jarinya sibuk menggulir layar ponselnya. "Estefan Reyvonda ...?" gumamnya sembari mengingat-ingat sesuatu dalam benaknya. Dewangga merasa seperti pernah melihat wajah dingin yang tampak di layar ponselnya itu, tetapi dia hanya samar-samar membayangkannya. Tidak berapa lama kemudian, satu tangan Dewangga membentuk kepalan dan meninju ujung mejanya dengan keras hingga beberapa barang yang ada di atasnya ikut bergetar seakan merasakan kemarahannya yang mulai bergolak. "Nggak peduli siapapun dia, aku akan tetap menuntut balas ..." geramnya sembari menyipit menatap foto laki-laki dewasa muda itu dengan kebencian yang menggelora di dada. Sementara itu di rumah, Vivian dan Ola sengaja melanjutkan perbincangan mereka di ruang keluarga untuk memberi waktu bagi Kaluna dan Rey agar saling mengenal satu sama lain secara alami. "Saya tidak mengi
“M—maaf!” kata Kaluna cepat-cepat dengan wajah menunduk.“Jalan di sampingku,” suruh Rey dengan nada perintah. “dan angkat wajahmu yang penuh riasan itu.” Kaluna terpaku, kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan cermin bedak untuk meneliti wajahnya.“Ya ampun ...!" Kaluna nyaris menjerit ketika seraut wajah dengan bedak tebal, lipcream merah dan perona pipi warna baby pink balas menatapnya melalui pantulan cermin. Sepasang mata berbulu lentik milik Kaluna mengedip, memperlihatkan sekilas eyeliner hitam berpadu dengan eyeshadow merah muda yang menghiasi matanya. Rey berbalik ketika menyadari Kaluna tidak segera menyusulnya. Dia melihat cewek itu sedang mengamati wajahnya sendiri sementara satu tangannya menepuk-nepuk sebelah pipinya yang memerah. "Mau aku bantu?" tanya Rey sambil melambaikan sebelah tangannya. Kaluna berdecih kemudian memasukkan kembali cerminnya ke dalam tas selempang yang menggantung di pahanya yang tertutup rapat oleh dress warna merah yang membuat kulitnya tampa
Seisi kelas menahan napas saat Estefan melayangkan perintah kepada Kaluna yang mulai bergerak sedikit di bangkunya. Tanpa malu sama sekali, Kaluna menggeliat perlahan kemudian membuka matanya sedikit. "Pak Guru ...?" Kedua mata Kaluna melebar ketika dia melihat Estefan duduk tidak jauh dari tempatnya berbaring. Dia cepat-cepat bangun diiringi tatapan bervariasi dari anak-anak sekelas. "Keluar," usir Estefan sambil menatap lurus-lurus ke arah Kaluna. "Keluar ...? Ke mana, Pak?" tanya Kaluna sambil meringis."Keluar dari pelajaran saya dan berdiri di luar kelas sampai bel berbunyi," suruh Estefan dengan nada tegas, membuat murid-muridnya yang lain menahan napas padahal bukan mereka yang kena usir. Kaluna menurunkan kedua kakinya dan berdiri. "Baik, Pak." Dia mengangguk tanpa protes, kemudian berjalan dengan begitu tenang meninggalkan kelasnya diiringi tatapan mata murid-murid yang terperangah. "Kita kembali ke materi," ucap Estefan, suaranya yang datar tapi tegas mampu membuat muri
Ola melongo lagi saat mendengar ucapan Kaluna yang seolah tanpa beban."Pindah sekolah lagi?" ulang Ola sambil mengernyitkan kening, dia yang mendengarnya saja bosan. "Sekolah di mana-mana tuh nggak enak, Tante!" keluh Kaluna sambil melepas tasnya. "Banyak aturan, guru-gurunya rese, muridnya mengesalkan ... pokoknya aku nggak suka sekolah!"Ola garuk-garuk kepala, sikap Kaluna yang kekanak-kanakan sering meresahkannya jika sudah kambuh seperti ini. "Lun, jangan gegabah. Sebagai tante kamu, tante mengerti apa yang kamu rasakan." Ola mulai mengeluarkan jurus pemikatnya. "Tante nggak pernah tahu apa yang bikin kamu suka pindah-pindah sekolah, tapi kali ini kamu betah-betahkanlah dulu di sana. Masalahnya kamu sudah tingkat akhir, nggak sampai setengah tahun kamu lulus."Kaluna terdiam sambil memejamkan matanya, dia memang tidak pernah memberi tahu siapa pun bahwa awal mula dia pindah sekolah untuk pertama kalinya adalah gara-gara pengkhianatan Dewangga dan Rara. "Aku rasanya malas bange
Kaluna terpaksa menjalani kehidupan sekolahnya seperti biasa, tapi kali ini yang menjadikannya berbeda adalah suasana hatinya yang begitu kesal hanya dengan mengingat ucapan terakhir Estefan dalam benaknya:“Kalau kamu tidak niat sekolah lagi, usahakan jangan terlalu lama mengulur waktu.”Jujur, ucapan yang dilontarkan Estefan itu dianggap Kaluna sebagai tantangan tersendiri yang wajib untuk dia tundukkan sekalipun harus merelakan sisa sekolahnya di SMA Oasis."Nih."Kaluna mendongak ketika sebuah suara bernada menghardik terdengar olehnya saat dia sedang duduk di kantin seorang diri."Yohan ...?" Kaluna langsung pasang kuda-kuda begitu berdiri dan berhadapan dengan si pangeran sekolah."Nggak usah ngegas, aku cuma mau menepati janjiku sebagai cowok jantan." Yohan mengulurkan sebuah kotak yang berisi ponsel baru yang modelnya hampir sama dengan ponsel milik Kaluna. "Biasanya aku nggak sebaik ini sama cewek, tapi ya ... Lain kali aku nggak akan kasih kamu ampun kalau kamu merespons cand
“Sudah aman,” kata Estefan kemudian, kepalanya melongok ke mobil di mana Kaluna sedang meringkuk seperti orang yang akan diserang dengan sekarung petasan bom. “Kamu tidak apa-apa, Kaluna?”“Tidak, Pak ...” jawab Kaluna lemah. Sebelum Estefan mengusirnya, dia merangkak pelan menuruni mobil wali kelasnya dengan susah payah. “Terima kasih ... atas pertolongannya ... Pak Guru ....”Estefan memalingkan wajah saat Kaluna berhasil meluncur turun dari mobilnya dengan wajah yang terlihat ketakutan sekali.Sebelum Estefan sempat menoleh kembali, Kaluna berhasil merosot ke tanah dengan sukses.“Kaluna ... kamu kenapa?” tanya Estefan yang langsung menoleh saat mendengar suara benda jatuh dan ekspresinya seketika berubah drastis saat melihat wajah pias Kaluna.“Tidak ... tidak apa-apa, Pak ...” jawab Kaluna lemas. “Terima kasih ... Pak Guru sudah bantu saya ... Saya cuma ....”Estefan langsung bertindak cepat dengan membantu Kaluna berdiri kemudian mendorongnya ke mobil setelah sebelumnya mengamati