Silakan follow akun instagramku untuk mengetahui informasi seputar karya-karya terbaru yang aku kerjakan. IG: _azuretanaya
Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu
Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar
Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi
Sepasang netra berwarna cokelat kehitaman memandang kagum sosok tinggi yang berjalan tegap melewati tempat duduknya. Walau mengetahui pasti senyuman tipis yang diterimanya merupakan sikap profesional dari laki-laki tersebut, tapi tetap saja berhasil menciptakan rona kemerahan pada kedua pipinya. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Sandara Pramesthi Baskara saat diberi senyuman tipis sekaligus memabukkan oleh laki-laki yang sangat dielu-elukan di seantero tempatnya menuntut ilmu. Apalagi dari kabar yang didengarnya, laki-laki tersebut sangat banyak mempunyai penggemar rahasia. Salah satunya adalah dirinya sendiri. Mata Sandara langsung mengerjap. Bahkan, ia memekik nyaring karena saking terkejutnya saat tiba-tiba saja pipinya tersengat benda dingin. Ia spontan menutup mulutnya saat menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Sambil menyengir kaku ia mengangguk canggung sebagai tanda permintaan maafnya karena tanpa sengaja telah membuat kegaduhan
Levin memelankan laju kuda besi yang dikendarainya saat melihat seorang perempuan sedang menuntun motor matic-nya. Tanpa mengetahui siapa perempuan tersebut, Levin langsung menepikan mobilnya. Setelah memastikan kendaraan roda empatnya yang terparkir tidak menghalangi pengguna jalan lain, ia pun segera keluar dari mobil tersebut. “Kenapa dengan motornya, Mbak?” Levin bertanya setelah berjarak beberapa langkah dari perempuan tersebut. Perempuan tersebut langsung menoleh ke belakang saat mendengar ada seseorang yang bertanya padanya. Alangkah terkejutnya perempuan tersebut saat mengetahui pemilik suara yang beberapa detik lalu bertanya padanya. “Pak Levin,” ucapnya kaget. “Sandara?” Levin tak kalah terkejut setelah melihat wajah perempuan tersebut, yang ternyata dikenalnya. “Kenapa motormu?” tanyanya ulang setelah kembali dari keterkejutannya. “Bannya pecah, Pak,” jawab Sandara sedikit gugup dan tanpa berani menatap wajah Levin yang kini telah berdiri di sampingnya. “Sepertinya di d
Levin mendengar rengekan Barry kepada ayah mereka saat ia memasuki rumah keluarganya. Selama ini ia memang masih tinggal dalam satu rumah bersama orang tua dan adiknya. Sebenarnya ia sangat ingin hidup mandiri dengan tinggal di rumah pribadinya, tapi sang ibu tidak menyetujui pemikirannya tersebut. Daripada membuat sang ibu sedih, akhirnya ia pun memutuskan untuk mengalah. Sang ibu mengizinkannya hidup terpisah saat ia telah berkeluarga nanti. “Vin,” panggil sang ibu dari arah dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan segelas jus melon saat melihat kedatangan putra sulungnya. Karena melihat kedua tangan sang ibu masih memegang nampan, Levin memutuskan hanya mencium kening wanita yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut. “Mereka lagi bahas apa, Ma?” tanyanya pada sang ibu. “Pesta ulang tahun,” Dianti Cantika Adyatama menjawabnya sambil tersenyum. Levin hanya menanggapinya dengan anggukan kepala tak acuh. Bukannya Levin tidak peduli kepada Barry, hanya saja
Levin melakukan kegiatan wajibnya di pagi hari sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pengajar di kampus, yakni berjoging mengitari kompleks tempat tinggal keluarganya. Jika biasanya ia melakukannya seorang diri, tapi tidak dengan pagi ini. Barry ikut dengannya joging mengitari kompleks. Bukan Levin yang mengajaknya, melainkan Barry sendiri yang ingin ikut. Seperti biasa, aktivitas pagi Levin selalu diiringi oleh musik kesukaannya melalui earphone bluetooth yang terpasang pada telinganya. Menurut Levin ikut tidaknya Barry bersamanya, rasanya tetap saja sama. Tidak ada yang istimewa. Ia selalu menikmati kegiatan paginya seperti hari-hari biasa. Tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Barry pun menghentikan gerak kakinya. Ia mendengkus sambil mengembuskan napas dengan sedikit keras, walau yakin tidak akan didengar oleh Levin karena telinga kakaknya tersebut telah tersumpal earphone. Sejak mulai menggerakkan kakinya, sang kakak sedikit pun belum ada mengelu
Hari ini kesialan tengah menimpa Sandara sehingga membuatnya harus menahan malu di hadapan semua teman-teman di kelasnya, termasuk Ranty dan Barry. Setelah kelas berakhir, Sandara langsung diminta ikut ke ruangan dosen oleh pengajar yang tadi memberinya materi perkualiahan. Alhasil, kini ia pun sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan seorang dosen muda dan tampan. Rasa malunya semakin membumbung ketika di dalam ruangan dosen tersebut terdapat seseorang yang selama ini sangat dielu-elukannya. Terlebih kemarin sempat memberinya pertolongan dan mentraktirnya bersama Ranty makan malam di sebuah restoran ternama. Entah kenapa rasa malu yang menderanya kini jauh lebih besar kepada Levin dibandingkan dosen tampan di hadapannya. Padahal sangat jelas urusannya saat ini dengan dosen tampan yang duduk tepat di hadapannya. “Sampai kapan kamu akan terus menundukkan kepalamu seperti itu, Sandara?” Dimas bertanya sambil terkekeh melihat mahasiswi di hadapannya. “Saya tidak marah atas tinda