Tidak hanya terkenal memiliki sikap dingin dan mimik angkuh di area profersionalnya, di lingkungan keluarga serta sosialnya pun demikian. Namun, tetap saja sosoknya sangat dielu-elukan oleh kaum hawa. Bahkan, banyak perempuan yang bermimpi ingin menjadi kekasih dari seorang Levin Adelard Adyatama. Seperti kebanyakan kaum hawa sebelumnya, Sandara Pramesthi Baskara pun sangat memuja Levin yang tak lain merupakan dosennya sendiri. Bahkan, ia selalu salah tingkah sendiri saat mengikuti kelas yang diberikan oleh laki-laki tersebut. Oleh karena sikapnya itu, tak jarang Levin pun selalu menyempatkan diri menyindirnya tanpa ampun. Siapa sangka, Levin dan Sandara terikat dalam sebuah hubungan yang tak biasa karena suatu kekhilafan sesaat. Dari hubungan tersebutlah semua penilaian akan sosok masing-masing terpatahkan satu sama lain. Akankah mereka bertahan dan melanjutkan hubungan tersebut atau memilih memutuskannya di tengah jalan?
View MoreSepasang netra berwarna cokelat kehitaman memandang kagum sosok tinggi yang berjalan tegap melewati tempat duduknya. Walau mengetahui pasti senyuman tipis yang diterimanya merupakan sikap profesional dari laki-laki tersebut, tapi tetap saja berhasil menciptakan rona kemerahan pada kedua pipinya. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Sandara Pramesthi Baskara saat diberi senyuman tipis sekaligus memabukkan oleh laki-laki yang sangat dielu-elukan di seantero tempatnya menuntut ilmu. Apalagi dari kabar yang didengarnya, laki-laki tersebut sangat banyak mempunyai penggemar rahasia. Salah satunya adalah dirinya sendiri.
Mata Sandara langsung mengerjap. Bahkan, ia memekik nyaring karena saking terkejutnya saat tiba-tiba saja pipinya tersengat benda dingin. Ia spontan menutup mulutnya saat menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Sambil menyengir kaku ia mengangguk canggung sebagai tanda permintaan maafnya karena tanpa sengaja telah membuat kegaduhan. Ia pun langsung menatap tajam sosok yang telah membuatnya kehilangan muka di tempat umum. Kekesalan Sandara semakin membumbung saat sosok yang membuyarkan kekagumannya hanya menanggapinya dengan cengiran. Bahkan, tanpa memperlihatkan rasa bersalahnya sedikit pun, sosok tersebut langsung duduk di hadapannya.
“Jangan sampai kedua bola matamu itu keluar dari tempatnya karena menatapku terlalu tajam, San,” tegur Barry, sosok yang tadi berhasil membuat Sandara menjadi pusat perhatian. Ia meminta persetujuan kepada Ranty Febriana melalui isyarat mata, perempuan di samping Sandara yang sedari tadi sibuk menyantap makanannya.
“Puas kamu membuatku malu, hah?!” hardik Sandara kesal.
Barry terkekeh menanggapi hardikan Sandara, sedangkan Ranty hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan kesibukannya makan.
“Saat ada Pak Levin lagi, hancur sudah reputasiku di mata beliau,” Sandara kembali melanjutkan ucapannya dengan nada kesal, tapi penuh kepercayaan diri.
Barry langsung memutar bola matanya mendengar perkataan Sandara yang sangat percaya diri. Ranty yang tengah meneguk minumannya pun sampai tersedak dibuatnya.
“Memangnya Pak Levin mengenalmu dan peduli padamu, San?” tanya Ranty frontal sebelum mengulangi meneguk jus melonnya dengan benar.
“Jika mengenal mungkin saja, mengingat Sandara adalah salah satu anak didik yang Pak Levin ajar. Itu pun jika beliau mengingat jelas nama dan sosok Sandara. Namun, untuk kepedulian terhadap Sandara, mana mungkin Pak Levin memilikinya,” Barry lebih dulu mewakili Sandara menjawab pertanyaan Ranty.
Kini giliran Sandara yang membesarkan pupil matanya karena kedua sahabatnya tersebut dengan kompak merundungnya. “Tega sekali kalian,” ucapnya kesal. Ia langsung merebut minuman kaleng di tangan Barry yang belum dibuka.
“Tapi yang Barry katakan sangat masuk akal, San,” Ranty tetap menyetujui ucapan Barry, meski sudah melihat Sandara kesal.
Walau hati kecil Sandara juga menyetujui ucapan Barry, tapi tetap saja ia merasa kesal mendengarnya.
“Perlu kalian ketahui bahwa kriteria Pak Levin dalam urusan perempuan cukup tinggi. Menurut kacamataku, kamu tidak masuk dalam kriterianya, San. Aku sarankan padamu untuk berhenti mengejar atau memujanya,” beri tahu Barry dengan memperlihatkan ekspresi wajahnya yang serius.
Meski kekesalannya semakin bertambah dan kini diikuti oleh rasa kecewa setelah mendengar pemberitahuan Barry, tapi pada akhirnya Sandara mengangguk lemah. “Laki-laki seperti Pak Levin yang menurutku nyaris sempurna, pastilah mempunyai kriteria yang cukup tinggi agar mereka bisa saling mengimbangi. Aku tidak mengejarnya, hanya mengagumi sosok beliau saja,” ucapnya nelangsa.
Barry mengangguk. “Baguslah kalau kamu sudah menyadarinya, San,” ucapnya sambil terkekeh.
“Ngomong-ngomong, bagaimana sikap Pak Levin jika sedang berada di rumah, Bar?” tanya Ranty yang tiba-tiba penasaran.
“Apa yang akan aku dapatkan jika memberi tahu kalian?” Barry balik bertanya.
“Pulang nanti aku traktir kamu makan bakso, tapi satu porsi saja ya. Bekalku sudah menipis. Orang tuaku belum mengirimiku uang,” Sandara menjawab lebih dulu dengan jujur.
“Aku juga. Beginilah nasib anak rantauan.” Ranty langsung merentangkan tangannya ke arah Sandara dan mereka berpelukan.
“Saat kalian sudah mendapat kiriman uang saja aku beri tahukan jawabannya,” Barry sengaja menggoda kedua sahabat perempuannya di jurusan Akuntansi.
Mata Ranty melotot. “Kalau begitu kamu langsung dipecat menjadi sahabat kita,” ancamnya.
“Setuju,” Sandara menyetujui tanpa berpikir panjang. “Mulai detik ini Barry Aldrich Adyatama, bukan lagi sahabat Sandara dan Ranty,” sambungnya.
“Kalian benar-benar sadis,” Barry menggerutu menanggapi perkataan kedua sahabatnya.
“Makanya cepat beri tahu kita, bagaimana sikap Pak Levin saat berada di rumah,” tuntut Ranty kembali.
“Sama saja,” jawab Barry singkat.
“Sama? Apanya yang sama?” tanya Sandara dan Ranty bersamaan. Bahkan, dengan kompak kening mereka pun kini mengernyit.
“Sikap Kak Levin di rumah juga sama seperti ketika ia berada di kampus. Kalian melihat Kak Levin bersikap dingin dan kaku di kampus, di rumah pun ia seperti itu. Tidak ada yang berbeda,” jelas Barry pada akhirnya.
“Apakah kalian tidak akrab?” Sandara bertanya hati-hati kepada Barry sambil menoleh ke arah Ranty.
“Biasa saja,” Barry kembali menjawab dengan singkat. “Nanti kalau kami mengobrol, aku akan mengatakan padanya bahwa kedua sahabatku sangat terpesona dengannya,” imbuhnya sambil mengedipkan sebelah mata kepada kedua sahabat di hadapannya.
“Bukan aku, Bar. Aku biasa saja melihat Pak Levin.” Ranty langsung tidak setuju. Ia memberi isyarat dengan melirik Sandara. “Aku tidak mau nanti setiap mengikuti kelasnya dengan perasaan tidak tenang,” imbuhnya sekaligus menyindir.
“Sebaiknya hal itu tidak usah kamu katakan kepada Pak Levin, Bar. Takutnya malah akan menimbulkan kecemburuan pada mahasiswi-mahasiswi yang lain. Biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasia beliau saja,” Sandara menimpali. “Aku juga tidak mau konsentrasiku buyar saat mengikuti kelasnya jika Pak Levin mengetahui bahwa aku terpesona padanya,” batinnya menambahkan.
Barry tertawa mendengar perkataan kedua sahabatnya. “Pikiranmu cepat sekali berubah, San. Tadi kamu sudah sadar, eh sekarang malah balik lagi,” cibirnya pada Sandara.
“Maklumi saja, Bar. Sahabat kita yang satu ini emosi dan pikirannya masih sangat labil,” Ranty menimpali cibiran Barry. Ia dan Barry tertawa saat melihat Sandara mendengkus.
“Ayo kita ke kelas,” ajak Barry setelah melihat jam di pergelangan tangannya.
Sandara dan Ranty langsung mengangguk. Sebelum meninggalkan kantin, secara samar Sandara menyempatkan diri menoleh ke arah tempat Levin duduk. Dengan cepat ia mengalihkan penglihatannya secara asal ketika tatapan mata Levin ternyata terarah padanya. Jantungnya berdebar kencang karena tatapannya sempat beradu dengan Levin secara tidak sengaja, meski hanya beberapa detik saja.
“Jangan terlalu percaya diri, San. Siapa tahu Pak Levin tadi sedang menatap Barry, mengingat mereka bersaudara,” akal sehat Sandara mencoba menggiringnya untuk berpikir realistis.
“Sepertinya tidak. Pak Levin tadi memang sengaja menatapmu, San,” kata hati Sandara menyangkal pendapat akal sehatnya.
“Diam kalian. Apa pun itu yang jelas aku sangat bahagia sekaligus gugup sekarang,” gumam Sandara pelan pada dirinya sendiri agar kedua sahabatnya tidak bertanya.
***
Levin Adelard Adyatama, laki-laki berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak menginjakkan kakinya di universitas tempatnya membagi ilmu, ia sudah dielu-elukan oleh penghuni kampus, terutama yang berjenis kelamin perempuan. Jika dilihat dari postur tubuhnya, ia lebih cocok menjadi model dibanding tenaga pengajar. Terlebih ia dikarunia paras rupawan dan warna kulit yang putih bersih.
Walau banyak orang yang mengagumi penampilannya, tapi hal tersebut tidak membuat Levin lengah dan menjadi besar kepala. Pengagumnya bukan hanya dari kalangan mahasiswi saja, melainkan beberapa dosen muda yang sebaya dengannya pun ada. Mengingat perannya sebagai tenaga pendidik, ia pun selalu berusaha bersikap ramah dan sewajarnya kepada setiap orang di kampus. Contohnya seperti tersenyum tipis pada orang yang menyapanya.
Jika di luar kelas Levin masih bisa bersikap ramah dan menebar senyum tipisnya, tapi sangat berbanding terbalik saat ia sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar. Ia tidak segan-segan mengusir anak didiknya jika sampai ada yang ketahuan tidak fokus dalam mengikuti kelasnya. Ia pun dikenal tidak pernah pilih kasih dalam memperlakukan mahasiswanya, walau ada sang adik yang juga diajarnya. Ia juga merupakan tipe laki-laki yang menjunjung tinggi profersionalitas, terlebih kepada para anak didiknya. Oleh karena itu, saat berada di kampus ia akan berinteraksi sewajarnya dengan sang adik.
“Kakak beradik sama-sama digandrungi kaum hawa. Aku iri dengan kalian,” celetuk Dimas Nugraha, salah satu dosen yang juga merupakan sahabat Levin. “Tidak adakah salah satu dari mereka yang memikat hatimu?” tanyanya penasaran.
Levin hanya tersenyum tipis sebelum menyesap sisa kopi hitamnya yang sudah mulai mendingin. “Tujuanku berada di sini untuk bekerja dan membagi ilmu, bukan mencari jodoh,” jawabnya tak acuh.
Dimas mengibaskan tangannya. “Mencari jodoh juga tidak masalah, lagi pula tidak ada yang melarang, Vin. Sambil menyelam minum air,” ucapnya sambil menaikkan kedua alisnya.
“Silakan saja jika kamu ingin melakukannya,” Levin kembali memberikan tanggapan tak acuh.
“Sepertinya teman adikmu itu juga menjadi bagian dari barisan pengagummu di kampus ini.” Dimas melihat ke arah Barry dan dua perempuan yang bersamanya. “Yang tadi dijahili oleh adikmu juga cukup manis dan cantik,” imbuhnya sambil mengamati Sandara.
“Namanya Sandara Pramesthi, salah satu mahasiswi yang cukup pintar di kelasku,” beri tahu Levin setelah melihat sekilas ke arah tempat duduk sang adik.
“Wah! Ternyata kamu hafal juga namanya,” Dimas berdecak kagum.
“Tidak terlalu sulit menghafal nama-nama mahasiswa yang terlihat menonjol di kelas. Bukan hanya mahasiswa pintar atau kurang yang aku ingat, yang rajin dan sering telat pun aku hafal. Baik wajah maupun namanya,” Levin menjawab apa adanya, bukan bermaksud menyombongkan diri.
Dimas manggut-manggut mendengar jawaban Levin yang dinilainya sangat masuk akal. Tidak mungkin juga mereka mengingat nama semua mahasiswa yang diajarnya, kecuali yang memang menonjol di kelas. Seperti yang dikatakan oleh Levin tadi.
Levin dan Dimas sepakat menyudahi obrolannya setelah menghabiskan minuman masing-masing, mengingat mereka harus kembali menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar. Sebelum berdiri, Levin menoleh ke arah Barry dan ia mendapati Sandara sedang menatapnya. Tidak lama kemudian, perempuan tersebut dengan cepat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, mungkin malu karena tertangkap basah olehnya. Levin hanya menggeleng samar melihat tingkah mahasiswanya tersebut.
***
Sandara duduk di bangku tunggu yang ada di depan ruangan dosen sambil asyik memainkan ponselnya. Saat ini ia sedang menunggu Ranty yang masih berada di dalam ruangan dosen. Tadi sahabatnya tersebut diminta bantuannya untuk mengumpulkan tugas teman-temannya setelah jam tatap muka mereka berakhir oleh Dimas, salah satu dosen yang mengajarnya. Dimas juga ia ketahui sebagai salah satu dosen yang terlihat akrab dan sering bersama Levin.
“San,” panggil Barry sambil menormalkan napasnya yang terengah.
Merasa ada yang memanggil namanya, Sandara pun menyudahi aksinya memainkan ponsel dan mengalihkan perhatian ke sumber suara. Matanya membeliak saat melihat Barry yang tengah bersandar pada tembok sambil menormalkan deru napasnya. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri sang sahabat.
“Kamu kenapa, Bar? Aku kira kamu sudah pulang,” tanya Sandara heran sambil menatap Barry.
“Bu Dewi menyuruhku membantunya membawa kardus ini ke ruang dosen dan meletakkannya di samping mejanya. Entah apa isinya, aku tidak tahu. Pastinya berat, ditambah lagi banyaknya anak tangga yang harus aku naiki,” beri tahu Barry setelah deru napasnya lambat laun normal. “Tolong bantu aku membawanya ke ruang dosen, San. Tenagaku sudah sangat menipis,” pintanya memelas pada Sandara.
Karena kasihan melihat sahabatnya yang telah bercucuran keringat, Sandara pun mengangguk. “Tunggu sebentar,” pintanya karena ia ingin menaruh tasnya di kursi tunggu sebelum membantu Barry mengangkat kardus.
“Ternyata memang berat. Kira-kira isinya apa ya?” Sandara berkomentar sambil mulai berjalan menuju ruang dosen.
“Entahlah, San. Makanya tenagaku tadi hampir habis,” Barry menanggapi pertanyaan Sandara. “Tolong tahan sebentar pintunya, Pak,” pintanya pada Levin yang baru saja membuka pintu dari dalam ruangan dosen.
Tanpa memberikan tanggapan, Levin langsung mengambil tempat Sandara dan menggantikannya mengangkat kardus. “Punya siapa?” tanyanya singkat dan datar.
“Bu Dewi,” beri tahu Barry sambil tetap melangkahkan kakinya menuju meja Bu Dewi.
Melihat tindakan Levin yang sangat siaga membuat Sandara kagum. “Pak Levin benar-benar mengagumkan. Tanpa berkata-kata beliau langsung membantuku mengangkat kardus itu,” batinnya berkomentar.
Sandara yang kini berada di dalam ruang dosen karena tadi ikut masuk terperanjat saat Ranty mencubit tangannya. Ia menatap tajam Ranty yang ternyata urusannya sudah selesai dengan Dimas.
“Kita masih berada di ruang dosen, San. Jangan sampai ada yang memergokimu sedang memerhatikan Pak Levin dengan tatapan memujamu itu,” Ranty menegur sekaligus mengingatkan Sandara dengan berbisik.
“Maaf,” pinta Sandara saat menyadari tempatnya kini berada. “Kamu memang sahabatku yang paling baik dan peduli,” imbuhnya sambil menyengir.
“Kalau begitu gantikan nanti aku membuat masakan untuk makan malam kita,” Ranty menanggapinya sembari menaikkan sebelah alisnya.
Sandara memutar bola matanya, meski tetap menangguk pelan. “Terima kasih sudah menggantikan saya, Pak,” ucapnya tulus kepada Levin setelah laki-laki tersebut dan Barry meletakkan kardus yang mereka gotong di samping meja Bu Dewi.
Levin hanya menanggapi ucapan terima kasih Sandara dengan anggukan dan senyuman tipis. Bahkan, sangat singkat.
Melihat tanggapan Levin, Sandara pun menjadi salah tingkah. Ia menoleh ke arah Ranty sambil tersenyum kaku.
“Kami permisi, Pak,” ucap Barry kepada Levin dan Dimas yang ada di ruangan tersebut. “Ayo,” ajaknya pada Sandara dan Ranty.
Sandara dan Ranty juga berpamitan kepada dua dosen muda sekaligus tampan tersebut, kemudian bergegas menyusul Barry keluar ruangan.
Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi
Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar
Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu
Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t
Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak
Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments