Chapter 1
Misi Penting “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon. Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.” Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di Cambridge University lalu melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar Juris Doctor. Namun, kakek tersayangnya justru mengacaukannya dengan menguluarkan perintah agar ia kembali ke Washington dan melanjutkan studinya di Amerika membuat Nichole sangat kesal. berparas cantik dengan rambut pirang dan mata amber itu menyukai kehidupan di Cambridge, Nichole menyukai kehidupan di Cambridge, bukan hanya karena setiap hari pandangannya disuguhkan dengan keindahan arsitektur kuno yang indah, di sana masyarakatnya sangat ramah, dan tingkat kejahatan sangat sedikit. Grayson terkekeh seraya menepuk-nepuk punggung Nichole. “Aku mengerti kemarahanmu.” Nichole menjauhkan dirinya dari pelukan kakeknya dan menatap Grayson dengan kesal. “Kau tidak datang saat aku menerima gelar sarjanaku dan sekarang kau memaksaku kembali ke New York. Dengar, Kek. Aku benar-benar marah padamu.” “Maafkan aku, aku akan menebusnya kesalahanku, oke?” Nichole mendengus kesal. “Aku ingin kembali ke Cambridge," katanya sembari menatap Grayson dengan tatapan memohon. “Kau baru datang dan langsung blak-blakan bicara ingin kembali ke sana, kedengarannya kau tidak merindukan kakekmu ini," kata Grayson sembari keduaalisnya terangkat. "Tentu saja aku merindukanmu, Kek. Tapi...." "Tentu saja, kau bisa kembali ke sana," potong Grayson. “Kau serius?” tanya Nichole dengan mata berbinar-binar. Grayson mengangguk-angguk sambil menggandeng Nichole dan perlahan melangkah. “Ada sesuatu yang sangat penting yang harus kita bicarakan malam ini, setelah makan malam,” kata Grayson. “Kakek, kau tidak perlu berbelit-belit. Kau bisa mengatakan sekarang,” ujar Nichole dan masih memperlihatkan kekesalannya. Grayson duduk di sofa disusul Nichole yang duduk di sampingnya. “Aku ingin melepas rindu dengan cucuku yang telah lama tidak kujumpai, kenapa harus terburu-buru?” kata Grayson dengan senyum mengembang di bibirnya dan menatap Nichole dengan penuh kasih sayang. Grayson memang selalu menatap Nichole dengan lembut dan penuh kasih sayang, bahkan memperlakukan Nichole seperti Nichole adalah gadis kecil tujuh belas tahun yang lalu dan Nichole tidak benar-benar kesal pada Grayson karena ia tahu Grayson sangat menyayanginya sehingga kakeknya itu pastinya bisa dibujuk. “Well, aku tidak akan bisa mendesakmu,” kata Nichole berpura-pura melunak dan tersenyum manis. “Aku ingin minum teh ditemani cucuku tersayang, tetapi sepertinya cucuku hanya datang untuk kepentingannya,” kata Grayson menggoda Nichole. "Aku merindukanmu, Kek. Aku serius, aku datang karena aku merindukanmu." Grayson terkekeh. "Baiklah, Kakek juga sangat merindukanmu. Aku belum memberikan hadiah kelulusan untukmu, katakan apa yang kau inginkan?" "Kau akan memberikan apa pun yang kuinginkan?" tanya Nichole yang diangguki Grayson. Nichole berdehem dan memegangi tangan kakeknya. “Kek, kau serius ‘kan dengan ucapanmu tadi?” “Ucapan? Minum teh? Ya, aku sangat ingin minum teh ditemani dirimu.” Nichole mendengus kesal. “Kau memperbolehkan aku kembali ke Cambridge.” “Ya. Aku serius.” Nichole terbelalak menatap kakeknya. “Kakek, aku menyayangimu!” “Tapi dengan satu syarat.” “Katakan!” pinta Nichole dengan sangat bersemangat. Grayson menyentuh ujung hidung Nichole dengan jari telunjuknya. “Kau akan tahu syaratnya nanti setelah kita makan malam.” Nichole merengut karena ucapan kakeknya. “Kau tidak akan menyulitkanku, kan?” Grayson terkekeh. “Mana mungkin aku menyulitkan cucuku tersayang?” *** Pukul delapan malam setelah makan malam bersama nenek dan kekeknya, Nichole dipanggil ke ruang pribadi kakeknya, ia cukup terkejut karena seorang pria dengan perawakan tinggi besar mengenakan setelan jas lengkap berada di sana. Nichole tidak begitu jelas melihat wajah pria itu karena ia melihat dari belakang, tetapi dari penampilannya itu Nichole menebak pria itu memiliki posisi lumayan penting karena bisa berada di ruang belajar priabdi presiden. “Duduklah,” kata Grayson kepada Nichole. Nichole duduk di samping pria asing yang baru pertama kali ia jumpai dan mereka berseberangan dengan Grayson dipisahkan oleh meja kayu yang kokoh. “Nichole, aku tahu kau pasti akan datang secepatnya untuk mencariku karena kau memiliki tekad yang besar untuk melanjutkan pendidikanmu di Cambridge,” kata Grayson membuka pembicaraannya. “Dan malam ini aku memanggil kalian ke sini untuk sebuah misi,” lanjut Grayson seraya menatap Nichole. Alis Nichole sontak berkerut mendengar ucapan Grayson. “Misi? Untukku?” “Kalian berdua,” jawab Grayson dengan tegas, “kau ingin kembali ke Cambridge, bukan?” "Jadi, kau berencana memanfaatkan tekadku demi kepentinganmu?" tanya Nichole tidak senang sembari melirik pria di sampingnya yang duduk dengan sangat tenang. Grayson tersenyum mendengar ucapan Nichole yang terdengar pedas itu. "Kedengarannya ini tidak cukup adil bagimu." "Kau benar, aku itu tidak cukup adil bagiku karena aku tidak ingin menjadi bagian dari politikmu," ucap Nichole terus terang karena ia sama sekali tidak ingin mengikuti jejak kekeknya yang berkecimpung di dunia politik, ia ingin menjadi seorang pengacara seperti ayahnya. “Baiklah, demi kembali ke Cambridge. Apa pun akan kulakukan,” ujar Nichole tegas dengan ekspresi malas. “Mulai hari Senin kau akan menjadi mahasiswa di Columbia University,” kata Grayson dan hal itu membuat keadaan menjadi senyap karena Nichole tidak bersuara. Wanita itu hanya bengong menatap kakeknya. “Hanya untuk sementara sampai kau berhasil menyelesaikan misimu, semakin cepat selesai maka semakin cepat pula kau kembali ke Cambridge.” “Aku tidak mengerti maksudmu,” kata Nichole muram. “Ada seorang mata-mata dari Rusia masuk ke negara kita dan orang ini sangat berbahaya, dia adalah mantan komandan angkatan darat Rusia yang ahli dalam penyamaran. Keberadaan orang ini tidak diketahui, agen CIA sudah mengerahkan orang-orangnya tetapi belum membuahkan hasil,” ujar Grayson sembari terus menatap Nichole. “Lalu apa hubungannya dengan kuliahku di Columbia University?” tanya Nichole datar. “Baru-baru ini agen CIA mendapat laporan kalau putra Igor Rumanov ternyata berada di New York dan kuliah di Columbia University. Tugasmu adalah mendekati putra Igor dan mendapatkan informasi di mana keberadaan pria itu.” Grayson mengalihkan pandangan pada pria di samping Nichole. “Dan, Max... selain bertugas melindungi cucuku, kau juga harus membantunya menyelesaikan misinya.” “Saya mengerti, Tuan presiden,” kata pria itu dengan tegas. Bersambung....Chapter 16Balapan BabiPagi hari Nichole keluar dari kamarnya dan mendapati Max, Fred, dan Raymond sedang mengelilingi meja pantri dan sebuah laptop layarnya menyala berada di tengah-tengah mereka. “Apa ada informasi baru?” tanya Nichole dan Max mengambilkan sebotol air mineral dan memberikannya pada Nichole. “CIA baru saja menyelidiki siapa pemilik mansion itu, pemiliknya orang Amerika dan menyewakannya pada orang Amerika juga,” kata Raymond.“Apa mungkin Oleg hanya mengunjungi temannya?” tanya Nichole seraya memutar tutup botol air mineral, tetapi tutupnya terlalu kuat. Max mengulurkan tangannya dan Nichole pun memberikan botolnya pada Max, dalam waktu satu detik Max telah membuka tutup botol itu lalu mengembalikan lagi botol itu pada Nichole. “Kurasa tidak, hampir tidak ada yang mau jauh-jauh menyetir hanya untuk menemui teman biasa,” kata Fred seraya kedua alisnya terangkat dan menatap Max. “Aku juga tidak akan membuang-buang waktuku,” sahut Max. “Kenapa tidak membuka CCTV
Chapter 15 Pria yang Pengrtian Oleg keluar dari mobilnya sambil mencangking tasanya, di depan sebuah bangunan mansion yang terlihat sepi dan seorang wanita dengan postur tinggi seperti seorang model internasional, rambutnya pirang, dan memiliki warna mata biru muda berdiri di depan bangunan sambil tersenyum lebar. “Oleg,” desah Jelena seraya menyongsong kedatangan Oleg. Oleg hampir melemparkan tasnya, tetapi ia tidak melakukannya. Ia bersikap tenang karena ia yakin Jelena yang berusia tiga puluh dua tahun dan kini bergabung dengan agen SRV atau Dinas Intelejen Asing milik Rusia itu tidak menyukai pria yang kekanak-kanakan. Oleg memeluk Jelena. “Aku sangat mengkhawatirkanmu.” “Aku tahu, aku sudah bilang pada ayahmu agar tidak memberitahu keberadaanku di sini, tapi dia tetap memberitahumu,” kata Jelena seraya menepuk-nepuk dengan pelan punggung Oleg. “Kau nekat sekali,” kata Oleg pelan sambil melepaskan pelukannya “Ibuku tidak mengizinkanku menjadi tentara,” kata Jelena samb
Chapter 14 Mengagumi Max “Dia menuju Washington,” kata Max kepada Nichole yang duduk di sampingnya setelah mengakhiri panggilan dari Raymond yang mengikuti Oleg.“Mungkinkah Igor berada di Pentagon?” tanya Nichole dengan alis sedikit berkerut sambil menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil. “Tidak semudah itu masuk ke markas militer Amerika,” kata Max seraya menurunkan winndow sivor karena cahaya matahari sore menyilaukannya. “Semua yang memasuki gedung Pentagon memerlukan kartu akses dan kartu itu nyaris tidak bisa ditiru oleh sistem mana pun.” “Kau pernah masuk ke sana?” “Dulu aku bergabung di militer angkatan udara.” “Kau mantan prajurit?” tanya Nichole seperti tidak percaya dan menjauhkan punggungnya dari jok mobil dan menatap Max. “Dan dari angkatan udara?” “Ya,” jawab Max singkat. “Kau tentunya bisa menerbangkan pesawat, kan?” “Aku memiliki lisensi menerbangkan pesawat dan beberapa kali menerbangkan pesawat tempur di zona perang.” Mata Nichole menyala-nyala penuh k
Chapter 13 Agen Seksi Nichole tidak pernah merasa sangat canggung terhadap pria mana pun, bahkan kepada Fred yang dua tahun ini menjadi pengawalnya. Ketika ia belajar berkuda di Cambridge dan Fred membantunya turun dari kuda, mereka berjarak sangat dekat dan itu tidak mengganggu Nichole. Ia merasa biasa saja. Tidak ada rasa canggung, gugup, bahkan jantung berdetak tidak menentu. Ia juga tidak pernah mengagumi fisik pria sejauh ini, tetapi Max sepertinya pengecualian. Otot lengan Max terlihat menonjol, dada Max yang hanya terbungkus kaus tanpa lengan terlihat bidang dan bahu pria itu terlihat kokoh. Otot betis Max juga terlihat keras, pria itu pasti rutin melatih otot kakinya juga. Sial, batin Nichole karena ia tidak bisa berkonsentrasi sedikit pun dan itu karena pengawalnya. Ia bahkan tidak mengingat satu pun apa yang diajarkan Max sehingga ia berulang kali melakukan kesalahan dan setiap tatapan mata mereka bertemu Nichole merasa jika tatapan mata Max seolah mampu menembus dad
Chapter 12Tidak RelaNichole duduk di kursi paling belakang di kelasnya, duduk di deretan paling belakang bukanlah kebiasaannya selama menjadi mahasiswa. Biasanya ia duduk di bangku paling depan karena dengan begitu bisa lebih berkonsentrasi selama mata kuliah berlangsung, tetapi di kampusnya sekarang ia mungkin harus lebih sedikit santai karena mata kuliah yang diikutinya bukan poin utamanya. Ia hanya seorang mahasiswa gadungan yang pastinya segalanya telah diatur oleh kakeknya dan sialnya orang yang menjadi target incarannya belum juga muncul. Nichole beberapa kali mengecek jam di ponselnya sambil terus mengawasi pintu hingga Oleg datang dan berselang beberapa detik dosen tiba. Tidak sulit mengenali Oleg, foto-foto yang Max berikan cukup jelas dan ia juga pernah melihat Oleg secara langsung meskipun hanya melihat pria itu dari belakang dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Tingginya mungkin 180c, rambutnya pirang, dan seperti pria pada umumnya dengan penampilan yang tidak mencolo
Chapter 11 Jackpot Nichole memasuki masuk ke arena bowling terbaik di New York diikuti oleh Fred, Max tidak mengikutinya dengan pertimbangan untuk menjaga citra seorang pengusaha muda. Tidak mungkin ia terus mengekori Nichole apalagi hanya untuk bermain bowling bersama teman-teman sekolah Nichole. Tetapi, Max berada di sekitar area bowling dengan penyamaran yang tentu tidak bisa dikenali oleh orang lain kecuali oleh agen Secret Service dan agen CIA. Harvey melambaikan tangannya pada Nichole seraya tersenyum lebar dan Nichole langsung bergabung dengan Harvey, Maddy, dan Jason. “Aku tidak terlambat, ‘kan?” tanya Nichole setelah bergabung dengan teman-temannya. “Jangan khawatir, kau tidak terlambat,” kata Harvey. “Di mana Lindsay?” tanya Nichole seraya meletakkan tasnya di meja. “Dia pasti akan datang sebentar lagi,” jawab Maddy. “Dia tidak mungkin tidak datang,” timpal Jason seraya tersenyum simpul dan menatap Harvey sekilas. Sebenarnya Harvey cukup risi dengan ke