Share

6. Kehancuran dan Harapan

Singapura

Dua bulan kemudian...

Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana?

Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya.

Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya. Sekuat apa pun dia menutupi telinga dan bersembunyi di balik bantal, suara-suara menjijikkan itu tetap memenuhi indra pendengarannya. Lalu keesokan paginya, sehabis sang laki-laki pergi meninggalkan ibunya, beberapa tanda aneh terlihat di sepanjang leher dan bagian atas dada sang ibu. Awalnya Nadhima tak tahu apa semua itu dan tak berniat mencari tahu. Ia hanya merasa tak nyaman. Hingga satu hari Nadhima memutuskan mencari tahu. Hal yang benar-benar sangat menjijikkan. Sejak saat itu Nadhima semakin benci dengan apa yang dilakukan ibunya.

Kotak-kotak bekas makanan pesan antar bercecer di sana-sini. Botol-botol minuman bertumpuk. Cup-cup mi instan dibiarkan berserak. Bungkus-bungkus makanan ringan berhamburan di semua tempat. Nadhima bergeser di atas sofa malasnya, mencari posisi yang tepat untuk menonton acara televisi di depannya.

Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Kini Nadhima menempati rumah yang diberikan Renata untuknya. Singapura. Entah apa alasannya dia diberi rumah di sini. Namun seharusnya tempat ini sempurna kalau saja tak ada kejadian itu. Rumah ini cukup besar walau hanya satu lantai. Ada dua kamar, ruang tamu yang cukup luas, ruang duduk yang nyaman, dapur, perpustakan kecil, dan gudang di bagian belakang. Ditambah perabot lengkap untuk semua ruangan yang ada. Seharusnya dia bisa menikmati semuanya bukannya menghabiskan waktu makan makanan sampah di depan televisi setiap hari.

Nadhima merasa hidupnya telah hancur. Setiap kali ia berusaha bangkit dari sofa semua kejadian di Landon itu menyerbu kembali. Ia benci. Sangat benci. Karena kejadian itu membuatnya merasa ia sama dengan ibunya. Ia merasa kotor. Ia jijik dengan dirinya sendiri. Sebanyak apa pun ia mandi; menyiram seluruh tubuhnya dengan air, menggosok dengan keras, menumpahkan seluruh sabun ke tubuhnya, tak membuat ia merasa lebih baik. Rasa jijik itu malah semakin kuat. Ia tak akan pernah bisa bersih kembali.

Nadhima bangun dari sofanya saat desakan ingin buang air kecil tak lagi terhindarkan. Akhir-akhir ini dia memang sering buang air kecil entah karena apa. Begitu selesai ia menatap dirinya di depan cermin kamar mandi. Kelihatan payah dan menyedihkan. Mata Nadhima menatap sebuah pisau lipat di samping wastafel. Diraihnya benda itu dan meluruskannya. Mata pisaunya tak terlalu tajam saat ia usap dengan ibu jarinya. Air mata Nadhima yang lama mengering luruh kembali.

Apa ini akhirnya?

Ia akan berakhir dengan menyedihkan begini?

Tangan Nadhima melempar pisau tersebut saat rasa aneh di perutnya tiba-tiba menyerang. Nadhima sangat mual. Ia muntah beberapa kali di wastafel. Setelah selesai membasuh mulut dan membersihkan bekas muntahan, Nadhima merasakan tubuhnya sangat lemas.

“Aku kenapa sih? Apa karena gaya hidupku akhir-akhir ini?”

Nadhima kembali ke sofanya. Namun kali ini dia memilih duduk dan menonton sebuah iklan di televisi. Dahi Nadhima mengernyit. Lalu mendadak seperti ada yang menghantam kepalanya dengan sangat keras. Iklan susu hamil itu telah usai. Namun Nadhima masih sibuk dengan pikiran sendiri. Tanpa peduli dengan badannya yang lelah Nadhima menyambar dompet dan pergi ke minimarket.

Sesampainya di sana disambarnya lima buah testpack dan membawanya ke kasir.

***

Selagi menunggu lima buah testpack itu bekerja Nadhima tak bisa berhenti mondar-mandir. Setelah beberapa saat diambilnya kelima benda tersebut. Matanya tertutup, lalu dalam hitungan ketiga dia membuka mata.

Kelima buah testpack itu jatuh ke lantai. Tubuh Nadhima bergetar. Dari lima buah empat di antaranya memiliki garis dua yang sama.

“Aku harus apa sekarang?” Nadhima mulai menangis. Seluruh tubuhnya bergetar dan terguncang. Ia terduduk di lantai kamar mandi. Ketakutan.

Begitu tangisnya mereda pandangan Nadhima tampak kosong. Tangannya tanpa sadar mengusap perutnya.

“Anak?”

Nadhima tak pernah berpikir soal anak-anak. Umurnya baru sembilan belas tahun. Satu-satunya keinginan Nadhima adalah lulus kuliah dengan baik lalu mendapat pekerjaan di bidang seni. Walau mimpinya itu memang sudah hancur sejak ia memutuskan menerima tawaran Renata.

Anak?

Nadhima bahkan tak berani memikirkan tentang pasangan hidup. Karena latar belakangnya Nadhima terlalu malu bahkan sekadar untuk berharap memiliki suami suatu hari nanti. Memangnya siapa yang mau menikah dengana anak pel*c*r. Mengharapkan cinta dari seorang pria rasanya terlalu mewah untuk Nadhima. Bisa hidup tenang saja Nadhima pasti sudah sangat bersyukur. Ia tak mengharapkan hal lain.

Namun sekarang ia hamil.

Bayi.

Anak kecil.

Seseorang yang memanggilnya ibu.

Seseorang yang... akan menjadi teman hidupnya.

Nadhima mengusap bekas air matanya. Ia bangkit berdiri. Menatap dirinya di dalam cermin. Sekali lagi ia mengusap perutnya.

Benarkah di dalam sana sedang tumbuh janin?

“Anak rasanya gak terlalu buruk.” Rasanya sungguh aneh. Semakin ia mengusap perutnya dan membayangkan bagaimana anaknya nanti, Nadhima semakin tak membencinya. Malah, Nadhima semakin mengharapkan anak tersebut.

Mungkin Nadhima tak akan sendirian lagi. Ia juga punya cukup dana untuk merawat anak sekarang. Namun anaknya akan tumbuh tanpa ayah...

“Huh, memangnya siapa yang butuh suami.”

Nadhima hidup tanpa ayah. Walau susah ia bisa melewatinya sampai sekarang. Bahkan bisa dibilang Nadhima hidup tanpa kasih sayang seorang ibu juga. Namun bukan berarti Nadhima ingin anaknya hidup semenyedihkan dirinya. Nadhima sama sekali tak berniat menjadi ibu seperti Seruni. Ia akan memenuhi setiap momen hidup anaknya dengan cintanya. Dengan begitu anaknya tak akan merasa perlu mendapat kasih sayang ayah. Karena dirinya saja sudah cukup.

Tring!

Nadhima membuka pesan yang baru saja masuk saat ia kembali ke kamar.

Lo gak akan bisa sembunyi selamanya. Nikmati hidup lo sekarang. Tapi ingat, gue gak akan pernah ngelepasin lo. Jadi, pastikan lo punya tempat persembunyian yang baik.

***

Ceritanya berjalan lambatkah?

Ya, emang aku pengin mendalami karakter Nadhima dulu. Pengin buat ia benar-benar menderita (jahat banget aku ya). Kalau langsung dibuat tujuh tahun kemudian dan cuma dibilang sekilas Nadhima membesarkan sendiri anaknya selama tujuh tahun kok rasanya feel-nya kurang dapat. Aku sendiri gak terlalu ngerasain perjuangan dia buat bangkit dari rasa terpuruk dan gimana perjuangan dia sebagai ibu tunggal. Jadi pengin nyeritain dikit perjuangan dia sebelum ketemu tokoh utama laki-laki. Lagian aku gak terlalu suka kalau tokoh utama ceweknya gak terlalu menderita, gak tahu gimana kerasnya hidup, tapi nanti dibucinin anak-anak lucu dan cerdas plus papanya yang ganteng, kaya raya, dan segala-galanya. Rasanya kayak gak adil.

Pokoknya dia harus menderita baru bahagia.

Hidup ini keras, man. 😁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status