Singapura
Dua bulan kemudian...
Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana?
Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya.
Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya. Sekuat apa pun dia menutupi telinga dan bersembunyi di balik bantal, suara-suara menjijikkan itu tetap memenuhi indra pendengarannya. Lalu keesokan paginya, sehabis sang laki-laki pergi meninggalkan ibunya, beberapa tanda aneh terlihat di sepanjang leher dan bagian atas dada sang ibu. Awalnya Nadhima tak tahu apa semua itu dan tak berniat mencari tahu. Ia hanya merasa tak nyaman. Hingga satu hari Nadhima memutuskan mencari tahu. Hal yang benar-benar sangat menjijikkan. Sejak saat itu Nadhima semakin benci dengan apa yang dilakukan ibunya.
Kotak-kotak bekas makanan pesan antar bercecer di sana-sini. Botol-botol minuman bertumpuk. Cup-cup mi instan dibiarkan berserak. Bungkus-bungkus makanan ringan berhamburan di semua tempat. Nadhima bergeser di atas sofa malasnya, mencari posisi yang tepat untuk menonton acara televisi di depannya.
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Kini Nadhima menempati rumah yang diberikan Renata untuknya. Singapura. Entah apa alasannya dia diberi rumah di sini. Namun seharusnya tempat ini sempurna kalau saja tak ada kejadian itu. Rumah ini cukup besar walau hanya satu lantai. Ada dua kamar, ruang tamu yang cukup luas, ruang duduk yang nyaman, dapur, perpustakan kecil, dan gudang di bagian belakang. Ditambah perabot lengkap untuk semua ruangan yang ada. Seharusnya dia bisa menikmati semuanya bukannya menghabiskan waktu makan makanan sampah di depan televisi setiap hari.
Nadhima merasa hidupnya telah hancur. Setiap kali ia berusaha bangkit dari sofa semua kejadian di Landon itu menyerbu kembali. Ia benci. Sangat benci. Karena kejadian itu membuatnya merasa ia sama dengan ibunya. Ia merasa kotor. Ia jijik dengan dirinya sendiri. Sebanyak apa pun ia mandi; menyiram seluruh tubuhnya dengan air, menggosok dengan keras, menumpahkan seluruh sabun ke tubuhnya, tak membuat ia merasa lebih baik. Rasa jijik itu malah semakin kuat. Ia tak akan pernah bisa bersih kembali.
Nadhima bangun dari sofanya saat desakan ingin buang air kecil tak lagi terhindarkan. Akhir-akhir ini dia memang sering buang air kecil entah karena apa. Begitu selesai ia menatap dirinya di depan cermin kamar mandi. Kelihatan payah dan menyedihkan. Mata Nadhima menatap sebuah pisau lipat di samping wastafel. Diraihnya benda itu dan meluruskannya. Mata pisaunya tak terlalu tajam saat ia usap dengan ibu jarinya. Air mata Nadhima yang lama mengering luruh kembali.
Apa ini akhirnya?
Ia akan berakhir dengan menyedihkan begini?
Tangan Nadhima melempar pisau tersebut saat rasa aneh di perutnya tiba-tiba menyerang. Nadhima sangat mual. Ia muntah beberapa kali di wastafel. Setelah selesai membasuh mulut dan membersihkan bekas muntahan, Nadhima merasakan tubuhnya sangat lemas.
“Aku kenapa sih? Apa karena gaya hidupku akhir-akhir ini?”
Nadhima kembali ke sofanya. Namun kali ini dia memilih duduk dan menonton sebuah iklan di televisi. Dahi Nadhima mengernyit. Lalu mendadak seperti ada yang menghantam kepalanya dengan sangat keras. Iklan susu hamil itu telah usai. Namun Nadhima masih sibuk dengan pikiran sendiri. Tanpa peduli dengan badannya yang lelah Nadhima menyambar dompet dan pergi ke minimarket.
Sesampainya di sana disambarnya lima buah testpack dan membawanya ke kasir.
***
Selagi menunggu lima buah testpack itu bekerja Nadhima tak bisa berhenti mondar-mandir. Setelah beberapa saat diambilnya kelima benda tersebut. Matanya tertutup, lalu dalam hitungan ketiga dia membuka mata.
Kelima buah testpack itu jatuh ke lantai. Tubuh Nadhima bergetar. Dari lima buah empat di antaranya memiliki garis dua yang sama.
“Aku harus apa sekarang?” Nadhima mulai menangis. Seluruh tubuhnya bergetar dan terguncang. Ia terduduk di lantai kamar mandi. Ketakutan.
Begitu tangisnya mereda pandangan Nadhima tampak kosong. Tangannya tanpa sadar mengusap perutnya.
“Anak?”
Nadhima tak pernah berpikir soal anak-anak. Umurnya baru sembilan belas tahun. Satu-satunya keinginan Nadhima adalah lulus kuliah dengan baik lalu mendapat pekerjaan di bidang seni. Walau mimpinya itu memang sudah hancur sejak ia memutuskan menerima tawaran Renata.
Anak?
Nadhima bahkan tak berani memikirkan tentang pasangan hidup. Karena latar belakangnya Nadhima terlalu malu bahkan sekadar untuk berharap memiliki suami suatu hari nanti. Memangnya siapa yang mau menikah dengana anak pel*c*r. Mengharapkan cinta dari seorang pria rasanya terlalu mewah untuk Nadhima. Bisa hidup tenang saja Nadhima pasti sudah sangat bersyukur. Ia tak mengharapkan hal lain.
Namun sekarang ia hamil.
Bayi.
Anak kecil.
Seseorang yang memanggilnya ibu.
Seseorang yang... akan menjadi teman hidupnya.
Nadhima mengusap bekas air matanya. Ia bangkit berdiri. Menatap dirinya di dalam cermin. Sekali lagi ia mengusap perutnya.
Benarkah di dalam sana sedang tumbuh janin?
“Anak rasanya gak terlalu buruk.” Rasanya sungguh aneh. Semakin ia mengusap perutnya dan membayangkan bagaimana anaknya nanti, Nadhima semakin tak membencinya. Malah, Nadhima semakin mengharapkan anak tersebut.
Mungkin Nadhima tak akan sendirian lagi. Ia juga punya cukup dana untuk merawat anak sekarang. Namun anaknya akan tumbuh tanpa ayah...
“Huh, memangnya siapa yang butuh suami.”
Nadhima hidup tanpa ayah. Walau susah ia bisa melewatinya sampai sekarang. Bahkan bisa dibilang Nadhima hidup tanpa kasih sayang seorang ibu juga. Namun bukan berarti Nadhima ingin anaknya hidup semenyedihkan dirinya. Nadhima sama sekali tak berniat menjadi ibu seperti Seruni. Ia akan memenuhi setiap momen hidup anaknya dengan cintanya. Dengan begitu anaknya tak akan merasa perlu mendapat kasih sayang ayah. Karena dirinya saja sudah cukup.
Tring!
Nadhima membuka pesan yang baru saja masuk saat ia kembali ke kamar.
Lo gak akan bisa sembunyi selamanya. Nikmati hidup lo sekarang. Tapi ingat, gue gak akan pernah ngelepasin lo. Jadi, pastikan lo punya tempat persembunyian yang baik.
***
Ceritanya berjalan lambatkah?
Ya, emang aku pengin mendalami karakter Nadhima dulu. Pengin buat ia benar-benar menderita (jahat banget aku ya). Kalau langsung dibuat tujuh tahun kemudian dan cuma dibilang sekilas Nadhima membesarkan sendiri anaknya selama tujuh tahun kok rasanya feel-nya kurang dapat. Aku sendiri gak terlalu ngerasain perjuangan dia buat bangkit dari rasa terpuruk dan gimana perjuangan dia sebagai ibu tunggal. Jadi pengin nyeritain dikit perjuangan dia sebelum ketemu tokoh utama laki-laki. Lagian aku gak terlalu suka kalau tokoh utama ceweknya gak terlalu menderita, gak tahu gimana kerasnya hidup, tapi nanti dibucinin anak-anak lucu dan cerdas plus papanya yang ganteng, kaya raya, dan segala-galanya. Rasanya kayak gak adil.
Pokoknya dia harus menderita baru bahagia.Hidup ini keras, man. 😁“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta
“Dan sekarang kita pergi ke rumah penduduk setempat buat bujuk bocah ingusan ikut pameran lagi,” Kiram masih saja mengeluh. “Kalo lo gak seneng mending turun deh.” Diras memutar kemudi ke kiri sesuai petunjuk G****e Maps. “Gue lebih suka pergi sendiri daripada harus dengar ocehan lo terus.” “Uhh.. dinginnya. Ras, lo jelas banget butuh gue buat masalah ini. Emang lo kira mudah apa buat bujuk mahmud.” “Siapa Mahmud?” Kiram terawa terbahak. “Pengetahuan lo tentang bahasa gaul menurun. Tujuh tahun di Inggris bikin lo sekuno kakek gue. Mahmud tuh singkatan mama muda. Gue yang sama-sama tinggal di negeri orang juga tahu.” Kiram berhenti sejenak. “Lo jelas gak tahu gimana teknik memenangkan hati perempuan dari kata-kata. Man, wajah aja sekarang tuh gak cukup. Apalagi buat para mama. Plus, lo juga pasti gak paham gimana memikat hati anak perempuan.” Diras tak menjawab. “Hah... lo diem lagi. Apa gak bisa lo jawab dikit aja buat nunjuki
“Apollo?” Nadhima mengernyit menatap dua orang yang sedang membelakanginya itu. Apollo sedang berbicara dengan orang asing. “Permisi, Anda-anda sekalian ini siapa?” Diras berbalik ke belakang dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dengan Ibu Nadhima?” tebak Diras. Hal ini sama sekali tak Diras sangka-sangka. Wanita itu sangat sesuai dengan tipe kesukaannya. Wajah, postur, dan hal yang paling menonjol, lehernya. Benarkah dia ibunya Apollo dan Artemis? Sementara itu Nadhima juga tampak kaget. Namun bukan karena wajah Diras terasa familier, melainkan karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia. Jujur saja perasaannya berubah waswas. Indonesia tak pernah berarti baik untuknya. “Iya. Anda siapa, ya?” Nadhima mendekati Apollo dan memeluk bahunya. Bentuk perlindungan yang tanpa sadar ia lakukan. Sebenarnya Diras sudah bersiap jika mendadak Nadhima akan berkata, "Kamu! Cowok berengsek! Ngapain kamu di sini, ha? Setelah ngelupain saya yang lagi hamil, k
“Seharusnya kau jangan memakai pita bodoh begitu kalau tidak mau diganggu anak laki-laki,” cibir Apollo melihat Daphne yang ngos-ngosan sehabis mengejar anak laki-laki yang menarik rambutnya. “Kau tidak belajar dari kesalahan ya.”Wajah cantik Daphne cemberut. “Memang apa salahnya? Aku memakainya karena cantik.”Apollo semakin kesal. “Kau pasti senang sekali mengejar anak laki-laki begitu.”“Apa? Apa maksudmu? Kau menganggap aku ini genit?” Daphne kecil tak habis pikir, ia sungguh memakainya karena cantik.“Aku tak berkata begitu. Aku hanya bilang kau terlihat senang. Dan pita itu sama sekali tak cantik. Kau kelihatan bodoh memakainya."Pipi Daphne menggembung. Wajahnya memerah. “Kau benar-benar menyebalkan,” jeritnya lalu meninggalkan Apollo.Apollo sendiri hanya diam. Memperhatikan rambut Daphne yang bergoyang-goyang karena pergerakannya. Perlahan wajahnya memera