Share

7. Si Kembar

“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna.

Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya.

“Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sudah gatal ingin melakukan USG. Namun ia tunda hingga sekarang. “Salah satunya laki-laki, tapi yang satu lagi terhalangi oleh saudaranya.”

Nadhima melihat gambar USG tersebut dengan saksama. “Mungkin dia belum mau ketahuan dulu.”

Dokter Lilian tertawa. “Mungkin dia mau memberi kejutan ke ibunya. Biasanya beberapa pasangan membiarkan jenis kelamin salah satu anak kembarnya menjadi rahasia. Mungkin Anda juga mau melakukannya.”

“Iya. Lagi pula saya tak masalah dengan jenis kelamin. Apa pun itu asal mereka sehat.”

***

“Gimana, Nad?” tanya seorang wanita berhijab pada Nadhima begitu ia keluar.

“Semuanya bagus, Kak.” Wanita berhijab itu adalah Melati. Wanita Indonesia yang sudah menetap di Singapura selama dua belas tahun. Ketika pertama kali bertemu Melati langsung mendekati Nadhima yang datang kontrol seorang diri. Melati tak menyudutkan kondisi Nadhima yang hamil tanpa suami. Wanita itu pun selalu kontrol seorang diri. Hamil untuk ketiga kalinya membuat Melati tak merasa harus selalu ditemani suaminya.

“Baguslah. Semoga sehat terus. Kalau kamu ada apa-apa jangan malu buat telepon Kakak.” Sejak pertemuan pertama Melati langsung meminta nomor teleponnya dan berpesan untuk sering menghubungi wanita itu, terutama jika terjadi sesuatu.

“Iya,” ringis Nadhima. “Ini udah yang keberapa kali Kakak ngomong kayak gitu.” Nadhima sungguh bersyukur karena sekarang ia punya orang yang peduli padanya.

“Habis kamu jarang ngehubungi Kakak kalau gak ditanya duluan. Udah dibilang gak perlu sungkan kan. Kita sama-sama tinggal di negara orang. Apalagi kamu benar-benar sendiri di sini. Kakak juga gak tahu kapan butuh bantuan kamu. Bisa aja malah nanti Kakak yang paling ngerepotin kamu.”

"Iya deh. Akhir-akhir ini kan aku udah sering ngerempongin Kakak."

Jujur saja Nadhima jarang menghubungi karena ia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Ia tak pernah punya seseorang untuk ditanyai dan diminta bantuan. Namun akhir-akhir ini Nadhima berusaha untuk membagi masalahnya, untuk meminta tolong pada orang lain yang sudah dapat dipercaya.

Salah seorang lain yang dapat Nadhima percaya sekarang adalah Miss Harisson. Tetangga sebelah rumahnya yang berusia enam puluh tahun. Miss Harisson sudah tinggal di Singapura selama tiga puluh tahun. Dia adalah perawan tua yang aslinya berasal dari Inggris (lagi-lagi Inggris). Ia sudah bertemu Miss Harisson sejak pertama kali tiba di sini. Namun baru akrab dengan wanita itu sejak sebulan yang lalu. Saat Miss Harisson menyadari dirinya hamil.

“Pria dari zaman ke zaman sama saja. Mereka mau melakukan apa saja untuk tidur dengan wanita. Kata-kata manis, bunga-bunga, baju-baju dan permata. Namun setelahnya apa? Tidak ada. Mereka seharusnya tak menabur benih sembarangan jika tak ingin menuai bayi.” Sampai saat ini Nadhima masih ingat jelas ocehan Miss Harisson saat pertama kali mendengar ceritanya. Apalagi kata-kata menabur benih-nya yang seolah menyamakan bayi dengan biji cabai.

“Kau sudah pulang?” tanya Miss Harisson yang baru keluar dari rumahnya.

“Ya.” Nadhima baru saja sampai di depan pintu.

Miss Harisson berjalan cepat melintasi halaman rumahnya menuju kediaman Nadhima. “Bagaimana bayinya? Tak ada masalah, kan?”

Nadhima membuka pintu dan mempersilakan wanita itu masuk. “Bayinya sehat. Semuanya baik.” Saat mereka berdua duduk Nadhima langsung mengeluarkan foto USG bayi-bayinya. “Jenis kelaminnya sudah bisa diketahui. Salah satunya laki-laki. Tapi bayi yang lain masih belum tahu. Posisinya tertutup kembarannya.”

Miss Harisson menyambar hasil USG tersebut dan mengamati dengan saksama. “Aku tak pernah memiliki anak. Tapi aku cukup baik merawat mereka. Aku pernah bekerja merawat bayi sebelum menjadi governess bersertifikat, kau tahu itu, kan?”

“Aku tak yakin anak-anakku membutuhkan baby sitter atau governess bersertifikat.”

“Kau pasti membutuhkannya. Semua orang muda terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka mengurus bayi. Tunggulah beberapa minggu sebelum mereka mulai mengeluh dengan popok dan tangisan bayi mereka. Apalagi kau harus menghadapi dua bayi, Sayang. Jangan paksakan dirimu mengurus mereka sendiri. Aku tak akan meminta bayaran darimu. Dan jangan berpikir aku melakukan ini karena kasihan pada kondisimu. Aku melakukannya hanya karena ingin. Di usiaku ini aku butuh hiburan dari anak-anak muda yang bersemangat. Apa kau ingin orang tua ini hanya duduk diam di dalam rumah atau sibuk memotong daun yang layu di tanaman mereka, hm?”

“Aku mengatakan tak butuh baby sitter atau governess bersertifikat, aku tak mengatakan tak butuh bantuan tetangga yang baik sepertimu, Miss Harisson. Aku akan senang sekali mendapat bantuan.”

Katanya orang-orang Inggris tak gampang mengakrabkan diri dengan orang lain. Namun Miss Harisson jelas berbeda. Wanita itu tukang ikut campur dan suka mengoceh.

“Malah aku akan senang sekali jika kau menganggap anak-anakku sebagai cucumu sendiri.”

Wajah putih Miss Harisson seketika merona. “Lihatlah dirimu sekarang. Beberapa minggu lalu kau mirip anjing buangan yang ketakutan setiap didekati, sekarang kau bisa menggoda wanita tua.”

Nadhima tertawa. “Bukannya lebih bagus kalau kau jadi nenek mereka?”

“Berhentilah membuat wanita tua malu, Sayang.”

Nadhima tertawa lagi. “Akan kubawakan teh.” Dia bersiap bangkit. Namun Miss Harisson menahannya. “Siapa yang peduli sopan-santun. Duduk saja. Jika haus aku akan mengambil minum sendiri. Kau pasti lelah setelah pergi menemui dokter.”

Miss Harisson mungkin tak memiliki hubungan darah dengannya. Namun Nadhima merasakan ikatan yang lebih erat dibanding dengan keluarga yang bertalian darah langsung dengannya. Rasanya lucu saat orang asing bisa berperilaku lebih baik padamu dibanding keluarga sendiri.

***

Satu hal yang menjadi rutinitas baru Nadhima semenjak dirinya hamil adalah membuat catatan. Malam ini Nadhima melakukannya lagi untuk yang kesekian kali.

21 minggu.

Rasanya masih sulit dipercaya saat ini aku sedang hamil. Terkadang aku masih suka mengusap perut sendiri untuk meyakinkan diriku. Bukan tanpa alasan. Aku takut kalau ternyata semua ini hanya mimpi. Aku takut saat aku menyentuh perutku tak ada bayi di sana.

Aku menulis catatan ini tak untuk ditunjukkan pada anak-anakku nanti. Jujur saja aku tak mau mereka menemukan dan membacanya. Malu sekali jika mereka membaca bagaimana aku sedang rapuh dan ketakutan.

Aku hanya ingin menumpahkan keluh kesah dan perasaan yang kurasakan saat ini.

Jadi, untuk anak-anakku. Walau kalian gak akan pernah tahu, kalianlah alasan Mama masih bertahan hidup. Alasan Mama masih mau berjuang. Alasan Mama masih mau bertahan. Mama gak tahu kalian akan jadi anak yang seperti apa nantinya. Mungkin kalian akan jadi anak nakal dan gak pernah nurut sama Mama, tapi, Sayang, Mama bahkan menantikan kenakalan kalian. Gak apa-apa kalian nakal dan selalu bikin masalah. Yang Mama perlukan cuma kalian. Hanya kalian. Tumbuh dengan baik dan selalu ada di samping Mama. Kehadiran kalian sudah cukup untuk membuat Mama bahagia. Kalian gak perlu ngelakuin hal lain lagi.

Siang tadi Mama pergi ke dokter kandungan. Kalian sudah terlihat seperti bayi, tapi sangat kurus dan kecil. Mama juga gak ngerti kenapa kalian bisa berefek sebesar ini ke Mama. Kenapa Mama sebahagia ini hanya karena melihat kalian yang belum lahir.

Beberapa orang menganggap Mama perlu dikasihani karena hamil kalian. Tapi jika suatu hari kalian diejek karena Mama cuma ibu tunggal, kalian gak boleh berpikir Mama membesarkan kalian karena terpaksa. Kalian gak boleh berpikir bahwa Mama benci kalian karena hamil di usia muda. Gak pernah sedetik pun sejak tahu mama hamil, mama benci kalian.

Mama gak tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita nanti. Mungkin hidup gak akan berjalan mulus untuk kalian berdua. Mungkin kalian akan iri sama anak lain yang punya papa dan hidup yang lebih baik, tapi, Nak, jangan terlalu benci Mama kalau Mama gak bisa ngasi semua yang kalian mau. Mama juga sudah berusaha. Kalau memang bisa, pasti Mama lakukan.

Apa pun itu, untuk anak-anak mama, pasti Mama lakukan.

***

Sincerely,

Dark Peppermint

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status