Share

4. Luka Cinta Adam Terlalu Dalam

Tidak ada seorang Ibu yang bisa menahan tangisnya, jika melihat puteranya menderita. Halimah, ibu dari Adam bahkan berusaha tegar untuk menjaga puteranya tersebut.

Halimah hanya akan menangis ketika malam menyapa dan meminta kepada Allah agar segera menyembuhkan dan menyadarkan anaknya kembali seperti dahulu. Selalu ceria dan bahkan menghibur hati Halimah.

Halimah bahkan tidak berani marah pada putera satu-satunya itu, Halimah ingin melihat sendiri kalau puteranya itu bisa bangkit sendiri dengan kemauannya. Kesedihan Halimah selain dia hanya sendiri mengurusi Adam dan sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, Adam kini mengalami nasib buruk karena Adam ditinggalkan kekasihnya, Naura.

Halimah sedikit terobati rasa sedihnya, Syarif yang merupakan sahabat baik Adam sejak kecil dan sudah dianggapnya sebagai anak juga. Syarif selalu datang dan menjenguk Adam dan selalu menyemangatinya agar segera sembuh. Meskipun belum ada respon dari Adam, tapi Halimah yakin bahwa tidak akan lama lagi Adam akan sembuh dengan kemauannya sendiri.

Mendung datang, hal itu membuat mendung pula di hati Halimah. Ibu yang harus melihat anaknya menderita adalah seorang Ibu yang akan menggantikan luka anaknya tersebut demi senyuman dari anaknya. Jika luka anaknya bisa diterima seorang Ibu akan menggantikan rasa sakit anaknya itu. Itu semua demi kebahagiaan anaknya semata.

Rintik hujan membasahi bumi. Suaranya seperti denting yang tiada habisnya, indah terasakan. Halimah masih merah matanya, dia keluar membawa nasi dan lauk seperti biasa dan mendekati kamar puteranya, Adam.

Siang itu, Adam masih berbaring dan hanya menyebut satu kata, ’Naura.’

Halimah duduk di pinggir ranjang kayu, ditatapnya wajah kusut puteranya tersebut. Sudah 6 hari sejak hari itu, Adam seolah kehilangan semangat hidupnya. Makan tak mau, tidur pun sambil membuka mata, dan lisannya hanya menyebut nama Naura.

Halimah mengelus rambut Adam, dalam hatinya lirih berujar betapa nelangsanya nasibmu Nak. Halimah meminta Adam untuk makan, namun bibir Adam tak juga membuka dan hanya mengucap lirih nama Nuara dan Naura.

Halimah pun memenyet nasi dan tempe itu begitu lembut, terus dipenyet dengan kuat. Halimah melakukan itu sambil meneteskan airmatanya, airmata ketulusan seorang ibu. Makanan yang bercampur dan lembut itu pun dipaksakan Halimah ke dalam mulut Adam, meski sulit membuka Halimah tetap memaksanya hingga ada yang masuk ke dalam mulut Adam.

Terlihat Adam menelan makanan lembut itu meski sedikit. Bertambahlah airmata Ibu Halimah sempurna menetes kembali. Anakku, Adam.

”Assalamu’alaikum,” Sebuah suara dari pintu depan. Itu suara Syarif. Halimah menjawab salam dan meminta Syarif langsung masuk saja karena pintu depan terbuka.

”Belum ada perubahan pada Adam Bu?”

Halimah pun hanya menggeleng sambil tetap memenyet makanan untuk Adam. Syarif menggeser kursi plastik dan duduk di dekat sahabatnya itu.

”Kau harus kuat Adam, teman yang selalu memberi nasehat padaku. Kini kamu harus kuat Adam, bangunlah jangan hanya karena Naura kau jadi begini?” Syarif menepuk pelan pundak sahabatnya yang masih berbaring dengan mata menatap kosong itu.

Diam, Syarif pun menggeleng dan ikut sedih.

”Aku tak bisa menemui Naura Bu, setidaknya dia harus datang untuk memberi semangat pada Adam. Besok dia menikah, aku tak diizinkan keluarganya untuk menemuinya,” Syarif menjelaskan pada Halimah soal Naura.

”Tidak apa-apa Nak Syarif, Naura pasti sibuk dengan persiapan pernikahannya. Apalah Anakku baginya,” Halimah kembali menatap puteranya yang masih tak bergeming.

”Setidaknya, dia harus melihat keadaan Adam sekarang. Dialah yang menyebabkan Adam hingga seperti ini,” Syarif masih protes.

”Sudahlah nak Syarif, mungkin inilah yang ditetapkan Allah untuk anakku. Mungkin, Allah telah mempersiapkan takdir terbaik untuknya nanti,” Halimah mengusap airmatanya. Dia juga harus paham, mereka adalah keluarga miskin, mungkin juga hukum di dunia ini salah jika seorang miskin mencintai orang terkaya di desa, yaitu keluarga pak Hasan.

Sudah enam hari lamanya, tak ada yang keluar dari bibir Adam kecuali nama Naura. Cintanya begitu dalam. Namun, Adam yang lulusan pesantren tersebut tidak pernah melupakan shalatnya, entah apa yang terjadi sehingga hal itu membuat Halimah merasa bahwa itu adalah ujian Allah. Adam setiap waktu shalat selalu bangun dari tidurnya, tertatih mengambil wudhu dan melakukan shalat. Dia juga teringat Ibunya, beberapa kali sambil menangis selalu berucap maaf pada Ibunya.

Tiga hal yang diingat dengan baik oleh Adam; Tuhannya, Ibu dan Naura.

”Naura...” suara Adam kembali lirih terdengar, hal itu membuat Ibu Halimah seperti tersayat hatinya, Syarif yang mendengar itu sekali lagi merasa terenyuh. Airmata Adam pun mengalir, ditimpali suaranya yang memanggil Naura. Menetes satu persatu.

”Sadarlah sahabatku... begitu dalam cintamu sehingga kau benar-benar tertawan olehnya. Bagaimana bisa kau...” Syarif tak meneruskan kata-katanya, airmatanya pun turut luruh. Syarif adalah sahabat baik Adam ketika di pesantren, mereka bersama menuntut ilmu.

Langit pun menjadi saksi akan apa yang akan terjadi pada setiap manusia, semua sudah tertulis, kejutan dan musibah apa yang akan menimpa manusia.

***

Hari Ahad tiba, Adam tiba-tiba bangun. Halimah bahagia, Adam biasanya bangun hanya saat shalat saja. Namun, kali ini dia bangun untuk mandi. Adam terlihat lebih kurus. Adam bangkit dan memakai baju terbaiknya serta memakai peci.

Adam tak menyahut apapun yang dikatakan Ibunya, Dia hanya memakai baju terbaiknya, mengenakan peci lusuhnya. Dia mengambil sepedanya, hendak mulai mengayuh.

”Adam, Adam... kamu mau kemana Nak?”

Adam seperti tak mendengarkan Ibunya, ”Ini hari Ahad Ibu, aku akan bertemu Naura di Danau Kenanga.”

Pecahlah tangis Ibunya, tangisan ketidakberdayaan seorang Ibu yang tak bisa memberi kebahagiaan yang utuh pada anaknya. Halimah sangat mengerti sedalam apa cinta Adam kepada Naura, seperti cintanya dahulu ketika suaminya meninggalkannya untuk selamanya pada saat dia sangat membutuhkan suaminya, saat mengandung Adam. Kesedihannya itulah mungkin yang tercerap dalam diri Adam, kesedihan yang pernah dialaminya.

Namun saat itu, Halimah harus bisa kuat dalam menghadapi ujian karena ada benih dalam kandungannya. Dia berusaha tegar, mendidik sekuat mungkin Adam. Nyatanya takdir itu berulang. Kini, Adam lebih hebat lagi cintanya. Ada apa ini ya Allah? Halimah pun tak berhenti bertanya pada Tuhannya.

Adam yang terlihat kurus hendak mengayuh sepedanya, tapi terjatuh beberapa kali. Dia masih berusaha tapi tenaganya tak cukup kuat. Dia lemah sekarang, kesedihan membuatnya tak makan sempurna.

Adam berdiri diam, Halimah pun melihatnya. Adam meletakkan sepedanya begitu saja. Dia mulai berjalan kaki, menuju danau cintanya, ” Naura... tunggu aku.”

Halimah tak bisa menahan airmatanya.

Tepat di hari itu, pernikahan Naura digelar. Naura menikah dengan Sandi Harnanto, seorang anak dari pedagang kaya di kota. Keluarga Naura juga terpandang di desa, wajah cantik Naura membuat Sandi tergila-gila.

Dan. Perjalanan setiap manusia pun digelar, garis takdir pun terukir, apa yang menunggu setiap perjalanan manusia, masih menjadi misteri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status