Share

5. Jiwanya yang Sakit

Nasib cinta Adam benar-benar tragis. Naura yang meninggalkannya sudah beberapa waktu yang lalu tak pernah ada kabar darinya. Syarif yang mengerti soal Adam tak bisa memahami bahwa seorang wanita tega meninggalkan kekasihnya hanya karena uang atau hal lainnya.

Kenyataan memang bukan seperti bayangan indah dari harapan. Kenyataan kadang pahit dan manis, namun kenyataan yang sering menimpa manusia adalah kenyataan pahit. Hal itu karena manusia  harus paham bahwa dunia tempat tinggalnya tidak pernah abadi, sehingga mereka akan menjalani hidup dengan kenyataan yang harus mereka terima. Mereka harus kuat.

Sejak hari berpisahnya cinta Adam dan Naura, Syarif selalu mendampingi Adam saat Ahad. Setiap hari Ahad datang, Syarif akan menemani Adam ke danau Kenanga. Sambil menunggui sosok Adam yang kini menyedihkan, Syarif selalu mencoba untuk menasehat Adam dan memintanya segera bangkit. Entah itu apakah didengar oleh Adam ataukah tidak.

Syarif tak peduli.

Rasa sakit yang diderita Adam dari hari Senin hingga Sabtu dan hanya menangis di kamarnya. Maka, hari Ahad adalah pengobat lara dan menjadi satu-satunya hari dimana Adam bisa tersenyum sangat indah. Meskipun itu khayalan bahwa Adam sedang tersenyum pada Naura. Orang lain melihat bahwa Adam sedang sakit. Benar, sakit karena cinta.

Sungguh cinta yang terlalu dalam, di saat orang lain sakit karena ada luka atau fisiknya terluka. Adam terluka jiwanya, tak punya semangat hidup dan hidupnya hanya untuk cinta.

Begitulah Adam, sudah satu bulan semenjak pernikahan Naura. Genap empat kali Ahad, dan setiap Ahad Adam duduk sendiri memandangi danau semata. Danau Kenanga tempat kenangan Adam dan Naura. Adam hanya seharian saja menatap air, disana dia melihat wajah Naura yang tersenyum.

Halimah tak tega, dia mengikuti Adam dan menunggui puteranya itu di Danau. Namun, Syarif tak tega pada Ibu Halimah yang sudah dianggapnya ibunya sendiri. Syarif yang menungguinya.

Setiap Ahad, wajah Adam terlihat ceria meskipun badannya kini kurus seperti hilang lemak dalam tubuhnya. Saban hari hanya terbaring meratapi nasibnya, setiap Ahad dia datang ke Danau Kenanga, sekedar duduk dan tersenyum melamun. Syarif menggelengkan kepalanya, sebesar apa cinta yang bisa membuat demikian?

Sambil mendesah, Syarif berujar, ”Adam, sadarlah. Setidaknya, kasihanlah pada Ibumu. Tak perlu kau berlarut seperti ini, Naura bukan untukmu sahabatku.”

Adam berhenti tersenyum tiba-tiba, ”Tidak Syarif..., Naura tercipta untukku,” setelah itu, Adam kembali tersenyum menatap air di danau.

Syarif menatap sahabatnya itu, mungkin benar kata pujangga. Cinta bisa menjadikan orang menjadi gila. Saat dhuhur datang, Adam mengambil air wudhu di pinggir Danau, dia shalat di pinggir danau. Adam tak pernah  meninggalkan shalat, namun setelah shalat Adam akan kembali pada lamunannya.

Sore hari menjelang, Adam pun bergerak hendak pulang. Syarif mengikutinya, kini seantaro desa mengenal Adam sebagai orang yang gila cinta. Ya, bahkan anak kecil yang dilewati Adam dan Syarif terus mengatakan ’Orang gila cinta.’ Adam tak peduli dengan apapun di sekelilingnya.

Kabar Adam menjadi pesakitan terdengar di seluruh desa. Naura pun mendengarnya, hatinya iba. Kemarin, Syarif datang ke rumah ayahnya saat dia pulang berkunjung ke desa bersama suaminya, Sandi. Syarif memohon pada Naura setidaknya untuk datang dan menasehati Adam agar sadar. Sandi yang memakai baju kemeja mendengar itu, Naura agak ragu untuk meminta izin pada suaminya. Namun, suaminya pun paham dan mengizinkannya namun dia harus ikut juga.

Sandi mendengar bahwa ada orang yang tergila-gila pada isterinya hingga sakit. Sandi pun ingin melihat seperti apa lelaki itu dan katanya pernah menjadi kekasih isterinya.

Sandi memarkir mobil mereka di halaman rumah Halimah. Syarif sudah datang lebih dulu memakai motornya. Rumah yang terlihat lapuk, rumah yang dibuat dari papan. Sandi melihat-lihat sejenak, kayu rumah itu banyak di makan rayap, Sandi tak bisa membayangkan semiskin apa keluarga tersebut.

Halimah menyambut Naura dan Sandi dan memintanya masuk. Ruang tamu kecil, kursinya nampak sudah tua dari kayu.

”Ibu...” Naura merasa bersalah.

Halimah berusaha kuat, ”Tak apa Naura..., setiap orang membawa takdirnya masing-masing. Langit selamanya tak akan bisa bertemu dengan bumi, namun mereka saling berhadapan.” Halimah tersenyum dalam getirnya.

”Bolehkah saya menemui Adam?” Naura berujar pelan.

”Boleh Nak..., semoga bisa menjadi penyembuh bagi Adam,” Airmata Halimah tak mampu ditahan, menetes perlahan dan segera diusapnya.

Naura bergerak, diikuti Sandi dan Syarif di belakangnya. Halimah hanya duduk di kursi. Ruang tamu dan kamar Adam bersebelahan. Naura masuk, dia melihat Adam tertidur miring tak bergerak.

Ada 2 kursi kayu di dekat Adam berbaring, mungkin ada orang yang datang menjenguknya. Naura perlahan duduk di kursi kayu itu, Sandi tak mau duduk dan hanya berdiri bersama Syarif. Kursi itu bisa saja hancur jika didudukinya karena terlihat tua menurutnya.

”Adam...” suara Naura lembut, suaranya tercekat.

Tak ada sahutan. Naura melihat punggung Adam, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Beberapa lama mereka hanya diam, hanya Sandi yang terlihat gelisah tak betah.

”Sadarlah Adam..., dan maafkan Aku, aku Naura.”

Masih diam.

”Sayang, ayo pulang. Kita sudah datang dan menjenguknya,” Sandi mulai tak nyaman lagi berada di kamar itu. Pengap.

Naura tak berani menolak suaminya, dia pun mulai bangkit perlahan.

”Adam...” suara dari Adam, suara itu bergetar saat Naura sudah mulai melangkah keluar.

Adam meneruskan suaranya yang parau, ”Selamanya, Naura hanya untuk Adam.”

Naura meneteskan airmatanya, dia amat mengenal Adam sekarang. Kehilangan hari-hari indah bersama Adam adalah hari paling menyakitkan baginya. Tapi, takdir berkata lain.

”Ayo pulang sayang!” Sandi paham situasi, ditariknya lengan isterinya itu, Naura tak bisa membantah. Mereka pergi meninggalkan Adam yang tak berhenti meneteskan airmatanya. Seperti langit runtuh dan menimpanya seluruhnya. Kesedihannya mencapai puncaknya, namun raganya tak kuat bergerak sama sekali.

Sandi dan Naura pulang tanpa pamitan, Halimah menatap kepergian mereka dengan berlinang airmata. Syarif pun tak berdaya. Allah adalah penentu segala sesuatu.

Di kamar itu, tetes demi tetes tak bisa ditahan lagi. Adam merasa tak berdaya, airmatanya terus menetes tanpa henti, terlihat lebam matanya, airmatanya mungkin habis sudah. Ketidakberdayaan dan kehancuran hidupnya sudah sempurna.

Adam ingin bangkit, tapi ketidakberdayaan memenuhi jiwanya. Kesedihannya telah mengambil seluruh jiwanya. Apa yang hendak dilakukannya pun dia bingung dengan kehancuran harapan dan cintanya.

Naura meninggalkan Adam. Di perjalanan, airmatanya tak berhenti menetes. Dia mengusap airmatanya dengan tisue hingga berlembar-lembar digunakannya.

”Ingat Naura, jangan mencintai siapapun kecuali aku, suamimu!” Sandi berkata agak keras membuat Naura segera tersadar. Mungkin, Adam kehidupannya hancur, namun hidup Naura juga sebenarnya hancur demi menyelamatkan keluarganya dia harus menjadi tumbal dan harus menikah dengan orang yang tak dicintainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status