Nasib cinta Adam benar-benar tragis. Naura yang meninggalkannya sudah beberapa waktu yang lalu tak pernah ada kabar darinya. Syarif yang mengerti soal Adam tak bisa memahami bahwa seorang wanita tega meninggalkan kekasihnya hanya karena uang atau hal lainnya.
Kenyataan memang bukan seperti bayangan indah dari harapan. Kenyataan kadang pahit dan manis, namun kenyataan yang sering menimpa manusia adalah kenyataan pahit. Hal itu karena manusia harus paham bahwa dunia tempat tinggalnya tidak pernah abadi, sehingga mereka akan menjalani hidup dengan kenyataan yang harus mereka terima. Mereka harus kuat.
Sejak hari berpisahnya cinta Adam dan Naura, Syarif selalu mendampingi Adam saat Ahad. Setiap hari Ahad datang, Syarif akan menemani Adam ke danau Kenanga. Sambil menunggui sosok Adam yang kini menyedihkan, Syarif selalu mencoba untuk menasehat Adam dan memintanya segera bangkit. Entah itu apakah didengar oleh Adam ataukah tidak.
Syarif tak peduli.
Rasa sakit yang diderita Adam dari hari Senin hingga Sabtu dan hanya menangis di kamarnya. Maka, hari Ahad adalah pengobat lara dan menjadi satu-satunya hari dimana Adam bisa tersenyum sangat indah. Meskipun itu khayalan bahwa Adam sedang tersenyum pada Naura. Orang lain melihat bahwa Adam sedang sakit. Benar, sakit karena cinta.
Sungguh cinta yang terlalu dalam, di saat orang lain sakit karena ada luka atau fisiknya terluka. Adam terluka jiwanya, tak punya semangat hidup dan hidupnya hanya untuk cinta.
Begitulah Adam, sudah satu bulan semenjak pernikahan Naura. Genap empat kali Ahad, dan setiap Ahad Adam duduk sendiri memandangi danau semata. Danau Kenanga tempat kenangan Adam dan Naura. Adam hanya seharian saja menatap air, disana dia melihat wajah Naura yang tersenyum.
Halimah tak tega, dia mengikuti Adam dan menunggui puteranya itu di Danau. Namun, Syarif tak tega pada Ibu Halimah yang sudah dianggapnya ibunya sendiri. Syarif yang menungguinya.
Setiap Ahad, wajah Adam terlihat ceria meskipun badannya kini kurus seperti hilang lemak dalam tubuhnya. Saban hari hanya terbaring meratapi nasibnya, setiap Ahad dia datang ke Danau Kenanga, sekedar duduk dan tersenyum melamun. Syarif menggelengkan kepalanya, sebesar apa cinta yang bisa membuat demikian?
Sambil mendesah, Syarif berujar, ”Adam, sadarlah. Setidaknya, kasihanlah pada Ibumu. Tak perlu kau berlarut seperti ini, Naura bukan untukmu sahabatku.”
Adam berhenti tersenyum tiba-tiba, ”Tidak Syarif..., Naura tercipta untukku,” setelah itu, Adam kembali tersenyum menatap air di danau.
Syarif menatap sahabatnya itu, mungkin benar kata pujangga. Cinta bisa menjadikan orang menjadi gila. Saat dhuhur datang, Adam mengambil air wudhu di pinggir Danau, dia shalat di pinggir danau. Adam tak pernah meninggalkan shalat, namun setelah shalat Adam akan kembali pada lamunannya.
Sore hari menjelang, Adam pun bergerak hendak pulang. Syarif mengikutinya, kini seantaro desa mengenal Adam sebagai orang yang gila cinta. Ya, bahkan anak kecil yang dilewati Adam dan Syarif terus mengatakan ’Orang gila cinta.’ Adam tak peduli dengan apapun di sekelilingnya.
Kabar Adam menjadi pesakitan terdengar di seluruh desa. Naura pun mendengarnya, hatinya iba. Kemarin, Syarif datang ke rumah ayahnya saat dia pulang berkunjung ke desa bersama suaminya, Sandi. Syarif memohon pada Naura setidaknya untuk datang dan menasehati Adam agar sadar. Sandi yang memakai baju kemeja mendengar itu, Naura agak ragu untuk meminta izin pada suaminya. Namun, suaminya pun paham dan mengizinkannya namun dia harus ikut juga.
Sandi mendengar bahwa ada orang yang tergila-gila pada isterinya hingga sakit. Sandi pun ingin melihat seperti apa lelaki itu dan katanya pernah menjadi kekasih isterinya.
Sandi memarkir mobil mereka di halaman rumah Halimah. Syarif sudah datang lebih dulu memakai motornya. Rumah yang terlihat lapuk, rumah yang dibuat dari papan. Sandi melihat-lihat sejenak, kayu rumah itu banyak di makan rayap, Sandi tak bisa membayangkan semiskin apa keluarga tersebut.
Halimah menyambut Naura dan Sandi dan memintanya masuk. Ruang tamu kecil, kursinya nampak sudah tua dari kayu.
”Ibu...” Naura merasa bersalah.
Halimah berusaha kuat, ”Tak apa Naura..., setiap orang membawa takdirnya masing-masing. Langit selamanya tak akan bisa bertemu dengan bumi, namun mereka saling berhadapan.” Halimah tersenyum dalam getirnya.
”Bolehkah saya menemui Adam?” Naura berujar pelan.
”Boleh Nak..., semoga bisa menjadi penyembuh bagi Adam,” Airmata Halimah tak mampu ditahan, menetes perlahan dan segera diusapnya.
Naura bergerak, diikuti Sandi dan Syarif di belakangnya. Halimah hanya duduk di kursi. Ruang tamu dan kamar Adam bersebelahan. Naura masuk, dia melihat Adam tertidur miring tak bergerak.
Ada 2 kursi kayu di dekat Adam berbaring, mungkin ada orang yang datang menjenguknya. Naura perlahan duduk di kursi kayu itu, Sandi tak mau duduk dan hanya berdiri bersama Syarif. Kursi itu bisa saja hancur jika didudukinya karena terlihat tua menurutnya.
”Adam...” suara Naura lembut, suaranya tercekat.
Tak ada sahutan. Naura melihat punggung Adam, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Beberapa lama mereka hanya diam, hanya Sandi yang terlihat gelisah tak betah.
”Sadarlah Adam..., dan maafkan Aku, aku Naura.”
Masih diam.
”Sayang, ayo pulang. Kita sudah datang dan menjenguknya,” Sandi mulai tak nyaman lagi berada di kamar itu. Pengap.
Naura tak berani menolak suaminya, dia pun mulai bangkit perlahan.
”Adam...” suara dari Adam, suara itu bergetar saat Naura sudah mulai melangkah keluar.
Adam meneruskan suaranya yang parau, ”Selamanya, Naura hanya untuk Adam.”
Naura meneteskan airmatanya, dia amat mengenal Adam sekarang. Kehilangan hari-hari indah bersama Adam adalah hari paling menyakitkan baginya. Tapi, takdir berkata lain.
”Ayo pulang sayang!” Sandi paham situasi, ditariknya lengan isterinya itu, Naura tak bisa membantah. Mereka pergi meninggalkan Adam yang tak berhenti meneteskan airmatanya. Seperti langit runtuh dan menimpanya seluruhnya. Kesedihannya mencapai puncaknya, namun raganya tak kuat bergerak sama sekali.
Sandi dan Naura pulang tanpa pamitan, Halimah menatap kepergian mereka dengan berlinang airmata. Syarif pun tak berdaya. Allah adalah penentu segala sesuatu.
Di kamar itu, tetes demi tetes tak bisa ditahan lagi. Adam merasa tak berdaya, airmatanya terus menetes tanpa henti, terlihat lebam matanya, airmatanya mungkin habis sudah. Ketidakberdayaan dan kehancuran hidupnya sudah sempurna.
Adam ingin bangkit, tapi ketidakberdayaan memenuhi jiwanya. Kesedihannya telah mengambil seluruh jiwanya. Apa yang hendak dilakukannya pun dia bingung dengan kehancuran harapan dan cintanya.
Naura meninggalkan Adam. Di perjalanan, airmatanya tak berhenti menetes. Dia mengusap airmatanya dengan tisue hingga berlembar-lembar digunakannya.
”Ingat Naura, jangan mencintai siapapun kecuali aku, suamimu!” Sandi berkata agak keras membuat Naura segera tersadar. Mungkin, Adam kehidupannya hancur, namun hidup Naura juga sebenarnya hancur demi menyelamatkan keluarganya dia harus menjadi tumbal dan harus menikah dengan orang yang tak dicintainya.
Adam masih saja sibuk dengan khayalan cintanya, dia masih saja tak berdaya di tempat tidurnya. Dunia berjalan seperti biasanya, meninggalkan Adam yang pesakitan dan terbuai dengan cintanya yang semu. Semu karena tak akan pernah bertemu, semu karena sudah dipisahkan takdir.Takdir yang tak berpihak, takdir yang memisahkan harapan, dan takdir yang menghancurkan segala asa.Adam yang sakit, namun ibunya Halimah lebih sakit dari siapapun. Dia yang telah mengandung Adam di perutnya, dia paham betul bagaimana Adam saat ini tengah berjuang melawan ketidakberdayaannya. Hanya saja, butuh waktu. Adam butuh penguatan dan juga butuh waktu yang tepat untuk bangun dari ketidakberdayaannya.Di saat dia tengah mencoba untuk berdamai dengan jiwanya, Ibunya dan orang terdekatnya harus bersabar dan menunggunya dengan cinta. Benar, hanya cinta yang dapat menyembuhkan segala rasa, segala sakit yang menjelma. Untuk itulah, Halimah menahan setiap airmatanya untuk teus mengalirkan doa untuk agar Adam bisa se
Sesuatu yang terkadang tidak dipikirkan dan ingin dilupakan, namun terkadang selalu keluar begitu saja tanpa memikirkannya. Keinginan pak Karta untuk sembuh dan juga rasa ragu akan airmata yang mampu menyembuhkannya, sesuatu yang masih saja selalu muncul dalam pikiran pak Karta.Pak Karta tak peduli dan terus berusaha melupakan mimpi anehnya bertemu lelaki tua dan penyembuhan airmata Adam. Meski masih saja kadang terlintas pikiran aneh itu, namun kini Dia menganggap itu hanya bunga tidur semata, mungkin seperti khayalannya semata karena ingin sembuh.Kejadian hal selanjutnya membuatnya semakin ragu kembali. Iya benar! Mimpinya tentang lelaki tua dan memberitahunya jika ingin sembuh maka pak Karta bisa mengambil airmata Adam dan mengusapnya pada kaki yang lumpuh. Mimpi itu datang lagi, meskipun pak Karta sudah berdoa pada Tuhan untuk memberikannya mimpi yang lain saja.Mimpi kali ini serasa nyata bagi pak Karta. Lelaki tua itu bahkan seolah memaksa pak Karta untuk mendatangi Adam dan m
Kehidupan malam di desa itu seperti biasa. Suara hewan dan binatang malam masih sering terdengar dan membuat syahdu manusia yang tinggal di desa. Mereka yang pergi ke kota untuk merantau bahkan hanya sekedar merindukan suasana malam di desa.Indah dan tenang, ditimpali suara hewan malam yang syahdu indah.Malam itu menyapa, semua binatang malam memulai aktivitasnya mencari makan. Pagi pun datang. Matahari cerah menyembul dari ufuk timur, di keluarga pak Karta terjadi kehebohan. Pak Karta berjalan seperti biasa tanpa sadar dari bangun tidur.Semula, saat bangun dari tidurnya. Pak Karta mencoba mencari kayu penyangga yang biasa dia gunakan untuk membantu berjalan. Pak Karta mendapatkan tongkat kayunya, dan saat mulai berjalan dia merasakan sesuatu yang aneh pada kakinya. Tidak ada yang sakit, seperti tidak ada beban.Karta kemudian mencoba mengingat apa yang terjadi. Dan, dia teringat tentang airmata Adam. Benar! Semalam pak Karta sudah datang ke rumah Adam dan memint airmata pemuda itu
Dua tahun pun berlalu begitu saja.Orang-orang datang ketika senin hingga sabtu, karena ketika Ahad datang, Adam bangun dari pembaringannya dan pergi ke Danau Kenanga. Adam seharian akan memandangi jernihnya air danau di kursi bambu di bawah pohon jambu. Senyumnya mengembang, tak peduli ada apapun yang terjadi di dunia, dia menikmati pemandangan dan menatap wajah Naura dalam khayalannya.Syarif pun disana, berdiri bersandarkan pohon jambu yang sudah besar itu.Dua tahun berlalu sejak nama Adam terkenal dengan penyembuhan airmatanya. Syarif adalah teman setia, dia selalu menemani Adam apapun yang terjadi. Bahkan, dia membantu mengatur tamu yang datang ke rumah sahabatnya itu. Syarif hanya tak habis pikir, seberapa besar cinta Adam kepada Naura.Bahkan, ditinggalkan dan dikhianati, dia tetap saja mencintai wanita bernama Naura.Satu hal yang selalu didengar Syarif dari Adam. Mulutnya selalu mengucapkan tentang, agar Naura baik-baik saja.”Naura ..., Naura ..., apa kamu baik-baik saja di
Malam itu, keluarga Hamid makan bersaama. Diandra dan Ibunya sedang makan malam di meja makan. Perlahan, Diandra sudah terbiasa makan sendiri dengan sendoknya. Diandra hanya diambilkan makanan di piringnya oleh Ibunya, atau oleh asistennya kemudian dia akan memakannya sendiri dengan perlahan.Dia sudah terbiasa melakukannya, sehingga tidak merasa kesulitan apapun saat memilih makanan yang akan masuk ke mulutnya. Pertama, dia menanyakan lauk makanannya, lalu meraba letaknya dan kemudian menggunakan sendoknya.Beberapa menit berlalu, seseorang datang dengan langkahnya yang tegap. Diandra tersenyum, itu adalah suara langkah kaki Ayahnya, Abdul Hamid. Hamid pun tersenyum dan melihat senyuman puterinya itu, dia mendekati Puterinya dan mengecup rambut hitam terurai puterinya itu.”Ayah sudah makan malam? Ayo makan bersama dengan kami Ayah.”Senyum puterinya itu benar-benar membuat kepenatan di kantor seolah hilang seketika. Hamid memiliki beberapa perusahaan dan semuanya juga sudah terdafta
Halimah masuk ke rumah. Sore itu waktu ashar, Halimah meminta Syarif untuk menutup rumahnya, artinya tanda orang antre sudah selesai. Halimah tak mau lagi mengambil airmata puteranya dengan sendok itu. Ini hari Sabtu, esok Adam pasti akan ke Danau Kenanga, dan biarlah Adam menikmati seharinya itu dengan baik dan hari ini biarkan dia istirahat.Walaupun seperti apa kata istirahat untuk Adam? Adam hanya tertidur saja, meskipun airmatanya mengalir perlahan namun matanya hanya berkedip biasa saja. Tak ada gerakan dan hanya seperti orang pesakitan semata.Namun, Halimah paham. Sebenarnya, Adam juga mendengar dan merasakan apapun di sekitarnya. Namun, rasa sakit dan cintanya yang teramat dalam itulah yang tak bisa membuatnya bangkit.Halimah pun masuk ke kamar puteranya itu, dia duduk di sebelah Adam dan mengelus rambut Adam yang mulai memanjang dan sedikit menutupi telinganya. Halimah mendoakan Adam sambil tetap mengelus rambutnya, Adam pun terlihat menggerakkan kepalanya sedikit tanda dia
Perasaan iba dan kasihan pada Diandra membuat hati Halimah terenyuh. Seorang wanita yang masih muda, dengan ujian berat namun dia masih terlihat begitu ikhlas terhadap kehidupannya.Itu menjadi pelajaran berharga bagi Halimah. Bagaimana seorang belajar dari orang lain tentang arti kesabaran dan keikhlasan.Halimah tak kuasa melihat harapan dari wanita cantik di depannya tersebut. Dirinya yang tak bisa bergerak dan juga matanya yang tak bisa melihat. Sungguh, itu adalah dua karunia paling besar yang dimiliki manusia. Namun, ketika ada manusia yang memiliki ujian tersebut dan dia tetap sabar. Maka, mereka adalah orang-orang terpilih di antara yang terpilih.Halimah bingung akan menjawab apa pada wanita cantik tersebut, kepalanya yang kesana kemari seolah memahamkan dirinya bahwa wanita itu tak bisa melihat. Senyum kecilnya demikian indah.”Sebentar..., saya akan meminta izin pada Adam,” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Halimah. Seolah, dia terhipnotis dengan kecantikan dan
”Aku adalah Diandra. Ikhlaskah jika airmatamu itu aku menerimanya?”Angin membela wajah indah Diandra, dan tak ada reaksi dan suara jawaban dari lelaki yang tengah tidur di pembaringan itu. Tidak ada tanda dan tidak ada gerakan sama sekali dari Adam.”Wahai Adam. Aku Diandra, aku adalah orang buta dan lumpuh. Aku selalu bersedih pada takdirku, tapi orangtuaku memaksaku untuk datang kesini. Jika kamu ikhlas, maka aku akan menerima airmatamu dan itu tidak akan mengecewakan orangtuaku.”Diandra tidak mau menyerah.Ada sedikit gerakan yang dilakukan Adam, bibirnya mulai bergerak perlahan, ”Ambillah jika itu bisa membahagiakan orangtuamu.”Suara itu begitu menenteramkan Diandra, dia pun tersenyum. Sembuh atau tidak, dia tak peduli. Dia hanya tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya yang paling dicintainya.Halimah pun mendekati puteranya itu, namun dia tak mengambilnya dengan sendok karena permintaan Diandra. Dia tahu dari informasi bahwa Ibu Adam akan keluar membawa sendok dengan sediki