Pedang hitam itu tergeletak pasrah jauh di luar arena. Tak mungkin dijangkau lagi oleh pemiliknya. Angin bertiup kencang. Butiran debu beterbangan, menyelimuti sebuah senjata yang kini sudah tak bisa lagi dipergunakan di dalam pertarungan.
Situasi tak menguntungkan. Peserta bernomor tujuh puluh tujuh saat ini bertarung tanpa satu pun senjata. Bagai telur di ujung tanduk. Peluangnya untuk menang semakin tipis. Kekalahan justru semakin dekat menghantui. Mundur beberapa langkah ke belakang menjadi pilihan terbaik. Sedikit mengulur waktu. Mencari cara untuk keluar dari situasi sulit, sekaligus mengantisipasi serangan yang bisa kapan saja datang menghampiri.
Marca bangkit berdiri. Kini semua terasa mudah untuknya. Akan tetapi, ia sama sekali tak ingin menang dengan cara memalukan. Dalam benak, ia yakin lawannya masih mungkin memberikan banyak kejutan.
“Aku tak ingin menang dengan cara seorang pengecut,” ujar Marca tiba-tiba.
Peserta bernomor tujuh puluh tu
Rambut hitam panjang bergelombang itu tergerai tak beraturan, bibir mungil, wajah bentuk oval, alis lebat, bulu mata lentik, dan sepasang bola mata yang menyorot teduh. Wajah ayu itu mencuat manakala topeng hitam tak lagi menutupi pesonanya. Semua orang terperangah. Tak percaya dengan penampakan sesosok wujud perempuan yang kini tampak jelas di penglihatan. Peraturan kembali dilanggar. “Ku—Kuja. Kenapa kau bisa berada di sini?” tanya Marca terbata-bata di tengah-tengah keterkejutannya. Merasa identitas rahasianya telah terbongkar, peserta bernomor tujuh puluh tujuh langsung merebut paksa kembali topeng hitamnya dari tangan Marca. “Memang kenapa? Ada yang salah?” sahut Kuja, ketus. Topeng hitam itu kembali berpindah tangan. “Tentu. Tentu saja salah. Di dalam peraturan hanya seorang laki-laki yang boleh mengikuti pertarungan.” “Kenapa? Apa kau kira aku tak cukup kuat untuk menjadi seorang Penjaga?” tukas Kuja. Air mukanya menunjukkan kekes
Dua puluh tahun lalu …. Siapa sangka, anak laki-laki bertubuh mungil, berwajah pucat itu menyalahi ekspektasi semua orang. Seharusnya ia duduk termenung di bangku teras rumahnya. Memandangi setiap sudut kayu yang telah lapuk dimakan usia, setiap bagian besi yang telah berkarat tergerus cuaca, dan setiap sudut bagian rumahnya yang hanya tinggal menghitung mundur untuk masa penghabisan. Tungkai-tungkai mungil itu terus berlari tanpa henti. Mengejar segala sesuatu yang ia temui. Hewan bersayap sebesar kepalan tangan dengan dua tanduk di kepala, hewan berwarna cokelat dengan ekor menjuntai, hewan bertaring dengan enam kaki, dan hewan berbulu putih dengan empat kaki. Tak ada yang tak ia kejar selagi mereka masih terus bergerak. Hanya jika perutnya merasa perlu diisi, ia akan berhenti, dan pergi. Ke mana pun. Untuk mencari sesuap nasi, atau sepotong roti. Entah sejak kapan ia mengena
Di tengah-tengah arena, pertarungan untuk memperebutkan gelar sebagai seorang Penjaga masih terus berlanjut. Silih berganti para peserta saling berusaha mengalahkan. Korban terus berjatuhan. Tidak sedikit dari mereka terluka, dan tak sedikit dari mereka yang merenggang nyawa. Sudah berhari-hari pertandingan dilangsungkan. Deretan kursi yang tadinya penuh terisi kini mulai terlihat lengang. Hanya ada beberapa peserta yang masih duduk di atas kursi mereka dengan raut ketegangan. Seorang peserta yang telah berhasil mengalahkan lawan pertamanya tampak membusungkan dada. Tangan kiri lelaki itu mengepal kuat, terangkat ke udara. Sementara satu tangan lainnya menggenggam erat sebuah pedang. Senjata tajam milik lelaki itu tampak berlumuran darah segar. Berwarna merah, pekat, dan kental. Enam orang mengenakan jubah putih bergegas masuk ke tengah-tengah arena. Salah seorang dari mereka membawa sebuah tandu, dan salah seorang lagi membawa beraneka macam peralatan kebers
Di area peserta, satu per satu kursi-kursi kosong mulai disingkirkan. Menyisakan dua kursi yang masih berpenghuni. Dari kedua wajah peserta yang masih tersisa, terlihat ada raut ketegangan, serta ketidakyakinan, yang terus mengikuti mereka bagai bayangan. Hilangnya sederet kursi kosong justru membuat mereka semakin terasa terintimidasi. Dengan mata terpejam, Luca menjulurkan tangan ke dasar kuali, berusaha meraih satu dari dua potongan kayu. “Baiklah, untuk peserta yang akan bertarung berikutnya adalah ....” Luca mengalihkan perhatiannya, melihat ke kedua peserta. “Oh, iya” gumam Luca sambil menganggukkan kepala, menyadari sesuatu hal. “Sebelum aku melanjutkan pertarungan, sepertinya aku harus memberitahukan satu hal penting terlebih dahulu,” katanya dengan suara lantang. “Seperti yang kita ketahui bersama, peserta yang tersisa hanya tinggal dua orang, maka satu tempat untuk menjadi seorang Penjaga kemungkinan besar hanya dimiliki oleh peserta bernomo
Desiran ombak terdengar merdu. Deru angin laut menyapanya lembut. Marca kini duduk di tepian jurang. Termangu. Satu kakinya menggantung. Ia mendongak, menatap langit malam yang tak lagi gelap. Di atas sana, bulan sabit berpendar tanpa penghalang. Ratusan bintang seakan menjelma menjadi serbuk cahaya yang menaburi kegelapan. Para anggota penghias langit malam telah lengkap. Semua serasa sempurna, namun tidak untuk Marca. Suasana hatinya masih sama. Mendung di hidupnya masih setia. Mendekam beberapa waktu di Ruang Pengobatan membuat Marca tak bisa lagi membedakan mana realitas, dan mana yang dinamakan mimpi buruk. Semua tampak saru dan ambigu. Sampai ia keluar dari sana, menanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban serupa dan berulang selalu ia terima. Di saat yang sama, bibirnya tetap kelu, kedua kakinya tak henti gemetaran, dan kedua matanya masih saja basah. Tersadar, sepertinya ia tak akan pernah bisa menerima kenyataan. Satu hal yang saat ini ia
Suara kersuk dari arah belakang menyadarkan Marca dari lamunan. Seketika ia kembali dibawa kepada realita yang sebenarnya. Meski pahit, tetapi ia harus tetap terima. Soma nyatanya memang telah tiada. Marca sadar, sudah sejak lama dirinya diamati oleh seseorang yang begitu ia kenal. Namun belum ada niatan untuk mengusik penguntit itu. Ini bukan kali pertama. Sudah berkali-kali orang itu melakukan hal yang sama. “Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik pohon?” tak lagi tahan, Marca akhirnya memilih membuka suara. Tak ada jawaban. Suasana tetap hening. Di balik sebuah batang pohon, seseorang yang sadar kalau tindakannya telah diketahui mulai terlihat kebingungan. Ia terus mengumpat dalam hati. Mencaci maki kebodohannya sendiri. “Apa yang sebenarnya kau inginkan. Aku tahu kau di situ,” seru Marca lagi. Mulai merasa jengkel. Suasana tetap sunyi. Masih tak ada jawaban. Merasa tak dihiraukan, Marca membuang napas. Kedua matan
Wajah mungil itu tak pernah ahli dalam menyembunyikan kesedihan. Sudah ratusan kali ia berharap agar satu-satunya saudara yang ia miliki tak akan pergi meninggalkannya. Tapi harapannya selalu menjadi imaji di pagi hari. Tak kan pernah terjadi. Hingga pada hari ini, ia benar-benar harus menelan pahitnya kenyataan, harapannya akan berganti dengan kesedihan. Darangga memilih berlutut agar dapat sejajar dengan anak perempuan berumur enam tahun di depannya. “Kenapa kau menangis, Hestia?” tanyanya lembut, sembari mengusap buliran air mata yang menghiasi pipi adiknya. “Mana? Aku tidak menangis,” balas Hestia. Wajahnya yang memerah, dan pipinya yang sudah terlanjur basah, membuat pembelaannya terdengar lucu. Seutas senyum tersembul di wajah Darangga. “Apa kau pernah berhasil membohongiku?” Sekilas, sorot mata perempuan mungil itu menyisir ke arah samping. Hestia tahu, tak sekalipun ia dapat berbohong kepada satu-satunya saudara yang ia punya. “Tidak,” jawabny
Kedua tangannya terkepal erat. Tugas yang ia emban terasa begitu berat. Sudah berkali-kali ia berusaha menolak. Sudah berulang kali ia meminta agar bukan dirinya yang menjalankan tugas berat semacam itu. Akan tetapi, desakan para Tetua—terkhusus desakan kakeknya sendiri—membuatnya tak punya pilihan lain. “Sukra. Ingat baik-baik apa yang harus kau lakukan,” seorang pria tua berkumis tebal berkata di depan seorang lelaki bertubuh tegap. Pria tua itu tengah duduk di atas sebuah kursi roda. “Bukankah sudah kukatakan berulang kali, Kek? Aku sama sekali tak bisa menjalankan tugas ini. Tugas ini terlampau berat untukku. Lagi pula ....” “Aku tak pernah suka kau berkata seperti itu,” tandas pria tua itu, memotong perkataan cucunya. “Kau adalah cucuku. Aku sendiri yang mengajukanmu untuk menjalankan tugas yang mulia ini. Kau sama sekali tak boleh menolaknya.” Perhatian pria tua itu lalu beralih ke arah lain. Ia menerawang ke sebuah lukisan yang tergantung di dinding ru