Suara kersuk dari arah belakang menyadarkan Marca dari lamunan. Seketika ia kembali dibawa kepada realita yang sebenarnya. Meski pahit, tetapi ia harus tetap terima. Soma nyatanya memang telah tiada.
Marca sadar, sudah sejak lama dirinya diamati oleh seseorang yang begitu ia kenal. Namun belum ada niatan untuk mengusik penguntit itu. Ini bukan kali pertama. Sudah berkali-kali orang itu melakukan hal yang sama.
“Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik pohon?” tak lagi tahan, Marca akhirnya memilih membuka suara.
Tak ada jawaban. Suasana tetap hening.
Di balik sebuah batang pohon, seseorang yang sadar kalau tindakannya telah diketahui mulai terlihat kebingungan. Ia terus mengumpat dalam hati. Mencaci maki kebodohannya sendiri.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan. Aku tahu kau di situ,” seru Marca lagi. Mulai merasa jengkel.
Suasana tetap sunyi. Masih tak ada jawaban.
Merasa tak dihiraukan, Marca membuang napas. Kedua matan
Wajah mungil itu tak pernah ahli dalam menyembunyikan kesedihan. Sudah ratusan kali ia berharap agar satu-satunya saudara yang ia miliki tak akan pergi meninggalkannya. Tapi harapannya selalu menjadi imaji di pagi hari. Tak kan pernah terjadi. Hingga pada hari ini, ia benar-benar harus menelan pahitnya kenyataan, harapannya akan berganti dengan kesedihan. Darangga memilih berlutut agar dapat sejajar dengan anak perempuan berumur enam tahun di depannya. “Kenapa kau menangis, Hestia?” tanyanya lembut, sembari mengusap buliran air mata yang menghiasi pipi adiknya. “Mana? Aku tidak menangis,” balas Hestia. Wajahnya yang memerah, dan pipinya yang sudah terlanjur basah, membuat pembelaannya terdengar lucu. Seutas senyum tersembul di wajah Darangga. “Apa kau pernah berhasil membohongiku?” Sekilas, sorot mata perempuan mungil itu menyisir ke arah samping. Hestia tahu, tak sekalipun ia dapat berbohong kepada satu-satunya saudara yang ia punya. “Tidak,” jawabny
Kedua tangannya terkepal erat. Tugas yang ia emban terasa begitu berat. Sudah berkali-kali ia berusaha menolak. Sudah berulang kali ia meminta agar bukan dirinya yang menjalankan tugas berat semacam itu. Akan tetapi, desakan para Tetua—terkhusus desakan kakeknya sendiri—membuatnya tak punya pilihan lain. “Sukra. Ingat baik-baik apa yang harus kau lakukan,” seorang pria tua berkumis tebal berkata di depan seorang lelaki bertubuh tegap. Pria tua itu tengah duduk di atas sebuah kursi roda. “Bukankah sudah kukatakan berulang kali, Kek? Aku sama sekali tak bisa menjalankan tugas ini. Tugas ini terlampau berat untukku. Lagi pula ....” “Aku tak pernah suka kau berkata seperti itu,” tandas pria tua itu, memotong perkataan cucunya. “Kau adalah cucuku. Aku sendiri yang mengajukanmu untuk menjalankan tugas yang mulia ini. Kau sama sekali tak boleh menolaknya.” Perhatian pria tua itu lalu beralih ke arah lain. Ia menerawang ke sebuah lukisan yang tergantung di dinding ru
Gerbang besar dengan torehan simbol berbentuk lingkaran berwarna emas—yang di kelilingi oleh delapan segitiga dengan warna serupa—perlahan-lahan mulai membuka. Terdengar suara berderit. Gesekan antara bagian bawah pintu gerbang dengan deretan batu yang disusun berjajar. Sembilan orang lelaki yang telah resmi dinyatakan sebagai seorang Penjaga berdiri bersisian. Di depan mereka, dengan kedua tangan bertaut di belakang pinggang, seorang pria tua mengenakan jubah hitam memandang lurus ke arah depan. “Selamat, untuk kalian semua,” pria tua berperawakan tegap itu menyapa. “Masing-masing dari kalian telah berhasil mengalahkan tiga peserta lainnya, dan secara resmi telah dinobatkan sebagai seorang Penjaga. Sebentar lagi kalian akan melewati pintu gerbang besar ini. Kalian akan melakukan perjalanan jauh menuju ke Istana Kerajaan.” Dari balik sembilan Penjaga yang baru saja terpilih, Luca muncul dengan napas terengah-engah. Beringsut cepat mendekat ke arah pria tua.
Kesembilan lelaki itu hampir melangkahkan berbarengan melewati pintu gerbang. Masing-masing dari mereka telah menerima satu kotak kerajaan. Sebuah kotak berwarna merah menyala dengan gambar timbul seekor naga tanpa kepala. Kotak berukuran sekepalan tangan itu lalu dibalut dengan kain panjang berwarna hitam. Para Penjaga lantas mengikatkan kain hitam berisikan kotak kerajaan ke bagian tubuh mereka masing-masing dengan posisi berbeda. Di depan pintu gerbang, Luca dan salah seorang Tetua Desa memilih untuk diam di tempat lebih lama. Mereka berdua secara bersamaan memandang punggung kesembilan Penjaga itu dengan tatapan ragu. “Apa mungkin rencana kita akan berhasil?” gumam Luca. “Semoga saja," sahut Tetua Desa yang saat ini berdiri dengan posisi kedua tangan bertaut di belakang pinggang. "Saat ini yang terpenting adalah segera menjalankan rencana berikutnya." Ia kemudian melirik ke arah Luca. "Lebih baik sekarang kau segera mempersiapkan orang-orangmu.”
Hari ini ia kembali menjadi anak yang tak tahu aturan. Sudah berkali-kali ia tidak mendengarkan perkataan orangtuanya, tidak menaati aturan di desanya, dan kali ini, ia kembali menerobos masuk. Bukannya ia tak pernah mendapat teguran. Sudah berulang kali ia diperingatkan, sudah kesekian kali ia mendapatkan hukuman, namun nyatanya ia tak pernah jera dalam melakukan kenakalannya. Baru empat hari yang lalu ia genap berusia delapan belas tahun, tetapi, saat ini, ia telah resmi dinobatkan menjadi seorang Muka Panto. Bukan jabatan yang dicapai karena kerja keras atau perjuangan, melainkan karena anugerah yang dibawanya sejak lahir. Dan karena ia telah menjadi seorang Muka Panto perempuan pertama, sekaligus termuda, maka segala kelebihannya itu menjadi perdebatan yang begitu menguras emosi dari semua Panarima Mandat yang ada. “Ini adalah keputusan yang sangat berbahaya. Muka Panto tidak seharusnya seorang perempuan,” seorang Panarima Mandat dengan tubuh bercahaya be
Berjalan di posisi paling depan, langkah Gunawan mendadak terhenti. Kedua matanya membelalak. Mulutnya sontak menganga. Di ujung penglihatannya, seberantak tulang belulang berserakan di mana-mana.“Ada apa?” tanya Sukra. Ia ikut melongok. “Sialan! Tulang-tulang siapa ini?”Mendengar kegaduhan di depan, beberapa Penjaga lainnya sontak merangsek maju.“Kenapa bisa banyak sekali?” gumam Buda. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.“Tidak salah lagi, ini pasti tulang belulang manusia,” Tumpak ikut bergumam sembari kepalanya memutar melihat sekitar. Sorot matanya tertumbuk pada beberapa tengkorak yang sudah tak lagi berbentuk.Paramarta berjongkok di dekat salah satu tengkorak. Ia mendengus. Ada aroma anyir yang tercium. “Sepertinya sebagian tulang belulang ini masih baru." Ia mengambil salah satu tulang. Melihatnya lebih dekat. “Lihat saja, masih ada sisa-sisa jaringan yang belum me
Di ujung dedaunan yang bergumul berkelindan, ekor mata Darangga menangkap selarik cahaya jingga. Sekejap, langkahnya tertunda. “Berhenti,” ia berseru.Hampir berbarengan, pergerakan barisan di balik punggung Darangga terhenti. Beberapa sempat tersentak tatkala mendengar instruksi yang diberikan sekonyong-konyong.“Sebentar lagi akan gelap, kita istirahat di tempat ini,” ujar Darangga. Ia lalu berbalik. “Bagi jadi dua kelompok. Satu kelompok mencari kayu bakar, dan satu kelompok lagi menyiapkan lahan untuk tempat istirahat.”“Siapa yang menyuruhmu memberikan perintah? Kau bukan pemimpin di sini,” tukas Sukra.“Jadi, begitu?” Darangga menyunggingkan senyum sebelah sudut. “Silakan. Kita lihat, apakah kau punya rencana yang lebih baik?”Dengan mulut terkatup, Sukra hanya bisa membisu di tempatnya berdiri. Kedua tangannya kuat mengepal.Melihat ekspresi dari lawan bicaranya,
Kedua mata Ben terus menyipit. Keningnya terlipat. Kulit keriputnya seakan mengencang ditarik otot-otot yang terkadang menolak usia yang sudah tak lagi muda. Di depannya, dengan posisi terduduk di atas kursi, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh.“Apa lagi yang kau curi, Saka?” Ben bertanya dengan nada tinggi. Wajah itu mengintimidasi.“A—aku tak mencuri apa pun,” tergagap, Saka berusaha menjawab.“Bohong! Kau pasti mencuri sesuatu lagi dari tempat ini!” hardik Ben.“Tidak. Sungguh. Aku tidak mencurinya.”“Lalu?”Saka menundukkan kepala. Tak mungkin lagi ia berbohong. Perlahan, ia mulai membuka suara, “Aku hanya meminjamnya … sebentar.”Telah mendapat jawaban yang diinginkan, Ben bangkit berdiri. Tersenyum tipis. “Barang apa yang sekarang kau ambil?” ia kembali bertanya. Kali ini nada suaranya sedikit diturunkan.Saka tak