Terdengar bunyi tulang bergemeretak. Buda melompat terpaksa dari satu batang pohon. Ia mengernyit. Sudah sejak semalam, seluruh persendiannya terasa begitu nyeri.
“Lain kali kita lebih baik tidur di atas batu daripada di atas pohon seperti ini,” keluh Wrahaspati, “Kalau begini caranya, aku bisa mati lebih cepat.”
“Waspada!” sekonyong-konyong, Darangga berseru. Senjata di tangannya seketika teracung.
Dari balik semak belukar dan jajaran batang pohon, beberapa orang pria berpakaian lusuh tiba-tiba datang mendekat. Dalam sekejap, mereka semua mengepung para Penjaga desa Jamahitpa.
“Siapa kalian?” tanya Gunawan.
Salah seorang pria berbadan kekar dengan satu bekas luka sayatan di wajahnya tertawa. “Lucu sekali. Harusnya aku yang bertanya, siapa kalian ini? Berani-beraninya memasuki daerah kekuasaanku.”
“Kami adalah para Penjaga dari desa Jamahitpa,” jawab Wrahaspati. &l
Seonggok tubuh tanpa kepala tergeletak di hadapan tiga orang laki-laki. Masing-masing dari mereka menunggangi hewan berkaki dua, berbulu lebat, bertaring tajam. Muriel, Behemoth, dan Mormo. Mereka bertiga adalah orang-orang yang paling ditakuti di daerah bebas. Mereka dijuluki “Tiga Kanibal”. Tiga Kanibal tak pernah segan-segan menghabisi nyawa orang-orang yang mereka temui. Mereka akan membunuh siapa saja, dan kemudian memakannya.Tepat di dekat tubuh tanpa kepala, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh. Wajahnya terbungkus rapat oleh darah merah. Seluruh bagian tubuhnya terasa kaku. Sedari tadi, kedua mata Gunawan tak lepas membelalak ke arah tiga lelaki yang kini berada tepat di depannya.Masih tergambar jelas di ingatan, pria berbadan kekar yang ia kejar sempat melancarkan serangan ke arah tiga lelaki penunggang hewan bertaring tajam. Akan tetapi, hanya dengan sekali tebas, kepala lelaki berbadan kekar itu terpisah dari tubuhnya, darah segar me
Dua orang laki-laki mengintip dari celah pintu baja berukuran mungil. Saking mungilnya, pintu itu hanya dapat dilewati oleh satu orang dengan posisi setengah berjongkok. Pintu itu pun telah di desain khusus agar dapat menyaru dengan berbatuan sekitar. Dari luar, siapa pun tak akan pernah menyangka, di sela-sela rimbunan semak belukar yang membelit kuat berbatuan besar, terdapat sebuah pintu mungil yang menjadi akses utama menuju ke sebuah lorong rahasia. “Bagaimana? Katan? Sakda?” seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari pintu bertanya. “Mereka masih berada di dekat pintu,” jawab Katan. “Sanna, gawat! Mereka menuju kemari,” Katan menahan pekik. Spontan, ia segera menutup celah kecil di bagian pintu. “Cepat. Taburkan serbuk ini,” Sanna memberikan perintah sembari menyerahkan satu bungkus kain berisikan serbuk pasir berwarna abu-abu. Secepatnya, serbuk di dalam kain itu dihamburkan ke arah pintu. Sekejap, butir-butir pasir memenuhi udara. Semua
Setitik cahaya dari celah pintu baja kini berubah menjadi terang yang menyilaukan. Memenuhi setiap sudut penglihatan. Perlahan-lahan, satu per satu Penjaga dari kedua desa keluar dari pengapnya lorong rahasia. Marca menjadi manusia terakhir yang terbebas dari impitan lorong gelap. Kedua matanya menyipit, menghalau sengatan matahari yang tiba-tiba menghunjam nyalang. Pendar cahaya dari atas langit seakan menyebar langsung ke segala penjuru, menampakkan segala hal. Barisan awan menyerupai kapas menggantung di langit biru. Deretan bangunan berukuran besar terhampar di tanah lapang dengan atap berbentuk kerucut. Di depan, kerumunan manusia terlihat tengah mengadang jalan, tersenyum manis, menyambut kedatangan. Berada di posisi paling belakang, Wrahaspati mengembangkan cuping hidungnya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dengan tatapan sinis, ia mengerling ke arah samping. “Kau sungguh keterlaluan, Budak!” tukasnya. “Maaf, Tuan. Tapi mereka tak mengizinkanku untu
Seonggok kayu kering perlahan-lahan dilahap oleh kobaran api. Nyala api itu menjadi penerang sekaligus penghangat untuk udara malam. Langit berbintang menjadi latar yang menawan. Menaungi beberapa sosok lelaki yang tengah duduk menghampar mengitari api unggun.“Apa persiapan kalian sudah selesai?” Saloth bertanya kepada beberapa lelaki di sekitarnya. Ke arah api unggun, kedua tangannya terjulur dengan telapak membuka.Wakaru mengangguk. “Semua senjata, obat-obatan, dan beberapa makanan sudah kami persiapkan.”Sejenak, Saloth mengangkat kepala. Memandang lamat-lamat langit berbintang. Menarik napas dalam-dalam. “Perjalanan kalian nantinya akan sangat panjang. Lawan kalian juga tidak akan mudah. Dengan bergabungnya para Penjaga dari desa Jamahitpa, semoga kalian dan mereka, benar-benar bisa sampai ke Istana Kerajaan dengan selamat.”“Wakaru,” Katan setengah berseru. “Ada yang menguping.”Wak
Kedua mata indah itu tak lepas mengamati langit berbintang. Suara debur ombak yang sama. Kesiur angin yang sama sekali tak jauh beda. Suasana itu tak berubah sedikit pun, namun tetap terasa kurang. Ada sosok penting yang tiba-tiba hilang.Sebulir air mata jatuh. Buru-buru Kuja menghapus dengan tangan. Tak ia biarkan siapa pun tahu tentang kesedihannya. Cukup ia, dan malam yang terlampau datang lebih awal.Tanpa diminta dan diduga, Seorang lelaki bertubuh gempal datang mendekat. “Apa kau sudah menemui ibumu?” tanya Luca sembari berdiri. Pandangan matanya seketika menyapu ke langit malam.Kuja bergeming. Beberapa hari bersama lelaki itu, tak perlu lagi ia menoleh untuk melihat sosoknya, mendengar suara langkah kakinya saja, ia tahu, Kepala Suku akan mengganggu keheningan malam yang mulai nyaman ia rasakan.“Sudah,” jawab Kuja, datar. Sungguh, ia sedang tak ingin diganggu.Luca berkacak pinggang. “Kau seharusnya tahu, ibu
Kepulan asap membubung naik. Riak air itu kini tak lagi bergerak tenang. Bergetar. Berguncang. Beberapa letupan kecil semakin bertambah seiring dengan waktu yang terus berjalan. Tak lama, air di dalam belanga itu pun akhirnya mendidih sempurna. Bergegas, dua orang perempuan langsung memasukkan beberapa jenis sayuran sekaligus. “Ini adalah tempat yang biasa kami gunakan untuk memasak,” kata Wakaru, menjelaskan. Ia dan rombongan baru saja tiba di sebuah bangunan yang tingginya hampir menyentuh langit. Di dalam bangunan itu, beberapa orang perempuan tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Sebagian besar perempuan di desa ini sehari-sehari memang bertugas untuk membuat berbagai macam makanan.” “Kapan jamuan besarnya akan dimulai?” tak sabar, Wrahaspati langsung menginterupsi. “Tunggu sebentar, Kawan. Kau bisa lihat sendiri, kan, semua perempuan yang ada di sini masih sibuk memasak.” Wrahaspati mengerucutkan bibirnya. Ada kesal yang begitu kentara. “O
Teko emas itu tengah dimiringkan dengan sudut yang pas untuk menumpahkan isi di dalamnya. Aliran Curcas terjun bebas dari moncong teko menuju ke satu cangkir bambu berukuran mungil. Di dekatnya, cangkir-cangkir lain menunggu giliran.Segala hidangan tersaji di atas meja panjang. Saloth menempati posisi tepat di bagian kepala meja. Bertengger di sana, ia bak seorang komandan. Di sebelah kiri dan kanan, para Penjaga dari kedua desa saling duduk berhadapan. Para Penjaga desa Podom menduduki baris sebelah kanan, sementara para Penjaga desa Jamahitpa terduduk di sisi seberang.“Mana yang harus kumakan lebih dulu?” Wrahaspati bergumam. Kedua tangannya telah berada dalam posisi siap sedia untuk meraih apa pun di depannya. Hanya dalam hitungan detik, kedua tangan gemuk itu bergerak gesit.“Tunggu!” duduk tepat di hadapan Wrahaspati, Sakda menyergah dengan suara tinggi. Semua orang spontan melirik ke satu arah.“Ada apa?” tanya
Matahari kini telah hampir berada di atas ubun-ubun, tetapi ketiga lelaki itu masih tak berniat untuk beranjak dari tempat mereka sekarang. Dari selepas perjamuan besar yang mendadak terasa menjengahkan, mereka bertiga memilih untuk tak kembali beristirahat seperti yang telah diinstruksikan.Sebuah pohon besar di pinggir danau dengan dedaunan yang rindang menjadi pilihan. Bisa dibilang, pertemuan mereka kali ini sama sekali tak direncanakan. Terbesit begitu saja dalam kepala Darangga, bahwa kepergian Gunawan harus segera mereka diskusikan.Dua orang yang kini menemaninya pun tak terpikirkan sebelumnya. Tadi, di Ruang Peristirahaan, sesaat setelah pandangannya berkeliling, Darangga merasa bahwa Marca adalah orang yang pas untuk ia ajak berdiskusi. Ia lantas mengirimkan isyarat berupa lirikan mata, yang ternyata dipahami juga oleh Buda. Setelah sedikit berbasa-basi agar tak ada yang curiga, dan agar pertemuan mereka tak diketahui oleh para Penjaga ataupun penduduk desa P