Share

Telpon dari wanita?

Author: Liza zarina
last update Huling Na-update: 2025-07-14 11:26:04

"Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.

Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.

Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina.

“Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.

“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.

Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan.

"Mau ke mana?"

"Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dalam kondisi segenting ini, Alvano masih menahannya?

“Mm-hmm," Alvano mengangguk pelan. "Imbalannya?"

"Im—imbalan apa?" tanya Reina, detak jantungnya melonjak melihat seringai kecil di wajah Alvano. "Kamu sudah kaya. Mau imbalan apa lagi?"

“Mudah saja." Alvano menggerakkan jari telunjuk, meminta Reina mendekat, kemudian menunjuk pipinya sendiri. "Cium aku."

“Kak…” Reina mengeluh pelan, nyaris seperti bisikan. Ada gurat kecewa, bingung, juga kesal. “Seharusnya kamu cepat-cepat sembunyi. Nggak takut ketahuan Kak Arka?”

Alvano menaikkan bahu, bersikap tak acuh. “Biarin aja.”

“Biarin? Kak Al, kamu gila, ya?”

Baru kali ini dia benar-benar melihat sisi lain dari Alvano, pria pendiam yang selama ini tampak tenang dan penuh kontrol, ternyata menyimpan sisi menyebalkan. Dan juga, sedikit mesum.

Wajah Reina memerah, bukan karena malu semata, melainkan karena campuran emosi yang sulit didefinisikan. Namun, Reina tahu, waktu tak berpihak padanya. Maka, tanpa banyak kata, Reina menoleh sejenak ke arah pintu, lalu pelan-pelan mendekat.

Matanya terpejam, napasnya tercekat, dan dalam satu gerakan spontan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, Reina mendekat dengan bibir mengerucut, lalu menyentuh lembut bibir Alvano.

Senyum Alvano melebar.

Reina langsung berdiri dengan jantung berdegup kencang. Tetapi, Alvano malah menariknya ke arah pintu. Dia berdiri di belakang pintu dan menggerakkan dagu.

“Buka pintunya.”

“Apa?” Reina berbisik tegang sambil menggeleng cepat. “Nggak mau! Kalau ketahuan, gimana?”

“Nggak! Udah, cepat buka pintunya,” sanggah Alvano tanpa melepaskan genggaman tangan Reina.

"Sebentar lagi kau jadi milikku, Rein,” bisik Alvano.

Reina menyambar handuk untuk menutupi dada sebelum membukakan pintu untuk Arka yang sedari tadi masih berdiri di luar. Wajahnya tampak kusut saat berhadapan dengan adiknya itu. Arka memperhatikan Reina yang sedang tersenyum manis dari atas ke bawah.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Arka, mengelus puncak kepala adiknya. “Kata Bi Hanum, Alvano yang bawa kamu pulang dalam keadaan mabuk.”

Reina mengangguk. “Aku baik, Kak. Cuma mabuk sedikit aja.”

“Maaf, Rein, semalam kakak masih di kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” sesal Arka.

Reina mengangguk pelan, mencoba menarik tangannya dari genggaman yang justru membuatnya semakin tegang. Namun Alvano malah mempermainkannya, mengecup punggung tangan Reina dengan sengaja.

Gerakan gugup Reina rupanya tak luput dari pengamatan Arka. Tatapannya mengunci tangan kanan Reina yang terus bergerak resah. Sesekali, mata wanita itu melirik ke arah pintu, seperti ingin melepaskan diri. Membuat Arka bertanya-tanya.

“Kamu kenapa? Merasa nggak nyaman?” tanya Arka, sedari tadi memperhatikan Reina yang berdiri kaku dengan senyum kikuk.

“Ha? Nggak, Kak. Aku … belum mandi.” Reina tersenyum lebar, memperlihatkan sederet giginya.

“Yasudah. Habis mandi langsung makan, ya. Kakak tunggu di meja makan.” Arka mengulas senyum manis dan berlalu pergi.

Begitu langkah Arka menjauh, Alvano mendorong pintu dan bersandar. Ia menarik Reina ke pelukannya, melingkarkan tangan di pinggang wanita itu dengan penuh hasrat. Jemarinya menyentuh tepi handuk di dada Reina dan perlahan menariknya turun, mata mereka saling mengunci dalam diam yang mendebarkan.

“Kak Al, kamu—”

Alvano mendekatkan bibirnya pada Reina, memulai kecupan manis yang membuat darahnya berdesir. Dalam kedekatan itu, bola mata mereka saling bersiborok, jantung Alvano hampir mencelos, tak percaya dengan keberaniannya sendiri. Namun, karena tak ada penolakan berarti, Alvano menyusupkan lidahnya ke bibir Reina yang terkatup.

Lidah Alvano bermain, menyusuri rongga mulut Reina yang masih mematung. Tangan berurat itu menarik pinggang sang wanita supaya semakin dekat. Jarak mereka terkikis habis, debaran jantung beradu detak, hembusan napas yang menggebu terdengar seirama.

Karena Reina diam, Alvano mulai memikirkan banyak kemungkinan. ‘Apakah Reina tidak menyukai ciuman ini? Mungkinkah dia menganggapku kurang ajar? Atau … dia tidak pandai membalas ciuman?’

Kendati demikian, Alvano berani melangkah lebih jauh, dia menyusupkan tangan dan menurunkan tali bra Reina. Tangannya pun bergerak menurunkan resleting gaun wanita itu. Saat hampir terbuka, Reina menangkap tangan Alvano. Mata Reina tak lepas dari jakun Alvano yang berulang kali naik turun, Reina bisa menebak bahwa hasrat pria itu memuncak.

Reina terpana dan terbuai dengan perlakuan manis Alvano, seakan otaknya memberitahu bahwa ini cara ampuh untuk melupakan sakit hati karena perselingkuhan Bimo. Meski hatinya menolak keras, tetapi Reina tak kuasa melawan setiap sentuhan pria di hadapannya.

Ketika gaunnya sudah terbuka dan menampakkan bra-nya, Alvano menyusupkan wajah di belahan dada Reina.

“Ah… Kak Al!” Reina mendesah pelan, bibirnya sedikit terbuka kala Alvano meninggalkan jejak kiss mark.

“Kamu suka?” tanya Alvano, suaranya lirih bercampur gairah. Penampilan tubuh polos Reina membuat Alvano tak sanggup mengontrol diri.

“Aku—”

Sebelum Reina menjawab, Alvano lebih dulu membungkam mulut wanita itu, terlalu takut dengan jawaban yang tak sesuai keinginannya. Pria itu kembali mencumbu Reina, suara desahan Alvano memenuhi kamar, dia tak sabar menjadikan Reina miliknya.

"Hm." Alvano mengangguk.

“Hentikan, Kak!" Reina langsung panik, dia buru-buru menolak Alvano menjauh, menghapus jejak air liur sisa cumbuan. Sepasang kaki jenjang itu melangkah cepat.

Namun, sebelum Reina melangkah terlalu jauh, suara Alvano membuatnya mematung. “Mau ke mana? Kalau Arka melihat tanda kemerahan itu, bagaimana?" Alvano menantang.

"Kak Al ninggalin kiss mark lagi?" Reina mengusap lehernya. Sejurus kemudian, Reina mengerjap. “Memangnya kenapa? Aku udah dewasa.”

Alvano menoleh pada Reina dengan wajah datar, memperhatikan wanita itu dari atas ke bawah. Dia lalu geleng-geleng kepala.

Tanpa mengubah ekspresi, Alvano kembali mendekat pada Reina yang spontan melangkah mundur. Namun, Reina sadar dia tak boleh terlihat ketakutan atau Alvano akan terus-menerus menindasnya dengan cara yang mesum. Tidak. Dia harus melawan.

Reina berdiri tegak, membalas tatapan tajam Alvano, sembari mengepalkan tangan di sampingnya. Dia mendongak ketika Alvano berada semakin dekat dengannya. Pria itu mencondongkan tubuh pada Reina, melipat kedua tangannya ke belakang.

Alvano tersenyum. “Kalau begitu, nggak masalah kalau aku menambahkan kissmark sampai memenuhi lehermu, kan?”

Reina terbelalak, bergidik ngeri dengan penuturan Alvano. Tubuhnya mendadak kaku, tapi dia cepat menguasai diri. Kegugupan yang dirasa tak ditampakkan sedikit pun. Dengan angkuh, dia mengangkat dagunya, berbicara dengan nada yang dikuatkan. Reina tersenyum miring seraya mengangguk.

“Hm! Mau di mana?” tanyanya, menunjuk sembarang area di lehernya. “Di sini?”

Senyum Alvano melembut melihat ekspresi Reina yang menggemaskan di matanya. “Kamu yang memancingku, Rein.”

Alvano membenamkan wajahnya di lekuk leher Reina. Baru saja bibirnya menyentuh kulit hangat itu, suara dering ponsel tiba-tiba memecah keintiman mereka.

Dengan kesal, Alvano meraih ponsel dalam sakunya. Sekilas melihat nama yang tertera, raut wajahnya langsung berubah datar. Tanpa banyak kata, ia membalikkan badan dan menerima panggilan itu.

“Kak Al, kamu di mana?”

Reina menegang. Suara dari seberang terdengar begitu jelas, itu suara wanita.

“Suara seorang wanita? Jadi, dia sudah punya pacar? Tapi kenapa bersikap semesum itu padaku?” Kening Reina mengernyit penuh tanda tanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cika Nurlika
kasihan Reina, jgn smp d buat kecewa lg krn terlalu gampang pasrah
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Pandangan Pertama

    Ditatap begitu intens, Reina berusaha mengatur nafas dan tersenyum untuk mengurangi kegugupan yang melanda. Namun, entah apa kesalahannya, Velo malah tak berkedip menatap Reina yang tak berani menunduk, apalagi mengalihkan pandang. ‘Ke-kenapa dia terus menatapku? Aku tidak sopan? Atau penampilanku aneh?’ batin Reina, meskipun tersenyum dia merasa tidak enak hati. “Nanti malam ada acara penyambutanmu. Pacarmu nggak marah, kan?” tanya Velo sambil tersenyum, jelas tertarik pada Junior secretary baru itu.Reina menggeleng ringan, senyumnya tipis. “Saya nggak punya pacar, Pak.”Senyum Velo semakin melebar mendengar jawaban itu. Kepalanya mengangguk-angguk, tatapannya turun naik, seolah menilai Reina dari atas ke bawah. Rasa tertarik yang ia simpan semakin tampak jelas.“Malam besok saya ada meeting keluar kota,” ucap Velo kemudian, suaranya datar namun matanya menatap terlalu dalam. Pandangan intens itu membuat Reina salah tingkah, tak tahu harus bereaksi bagaimana.Dari samping, Karina

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Dia cantik sekali

    “Kenapa, Rein?” Arka panik melihat adiknya menjerit sekeras itu. Dia ikut berdiri, mengamati wajah Reina yang pucat pasi dan tegang. Reina melirik Alvano yang menaikkan sebelah alis, tak merasa bersalah. Kemudian menatap Arka, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Reina tak ingin pertemanan kakaknya hancur. Terlebih selama ini mereka hidup karena bantuan dari keluarga Dominic.“Aku kenyang, Kak.” Reina menampilkan senyum pahit, mengambil tas dan ponselnya. “Aku berangkat sekarang, ya.” Dia mengecup pipi kanan Arka, langsung pergi sebelum kakaknya sempat menanggapi.Arka menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Reina kehilangan selera makan. Perlahan, dia menoleh pada Alvano yang sibuk mengutak-atik ponselnya. “Apa yang terjadi padanya, Al?” tanya Arka, menatap lekat Alvano. “Dia duduk di sampingmu. Kamu pasti tau.” Alvano menoleh sekilas, mengangkat bahu. “Mungkin di

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Arka curiga

    Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar pengakuan Reina. Pandangan mereka bergantian tertuju pada wanita itu, lalu beralih pada Alvano yang membisu. Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kepuasan terselubung.Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Fakta mengejutkan itu sudah cukup membungkam mulut mereka. Meski sulit dipercaya, sebab selama ini Reina dan Alvano sama sekali tak pernah terlihat dekat, bahkan Reina pernah menikah dengan pria lain.“Kita pulang,” desak Alvano pelan, menyentuh ujung jemari Reina.Namun, dengan cepat wanita itu menepisnya. Reina justru memeluk lengan kanannya sendiri, lalu menggeleng sambil terkekeh. Ia duduk di atas meja dengan kaki terlipat ke belakang. Jemarinya menyapu pelan leher Alvano kemudian menolak kening pria itu.“Aku nggak mau lihat kamu. Di mana para pria sexy itu? Aku mau mereka….” Reina memegangi kepalanya yang sakit, menjambak rambut agar lebih enakan. Ketika rasa mual mengaduk perut, dia langsung menutup mulut d

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Menggerayangi pria lain

    “Jangan kebanyakan mikir, Reina! Aku jamin, kamu nggak bakal nyesel.” Alaya berkata dengan wajah meyakinkan.“Kita bisa jaga rahasia, Rein. Ini pertama kalinya kita datang ke tempat ginian. Habisnya dulu kamu sibuk nge-bucin,” ledek Sani, menahan tawa melihat Reina malah mencebikkan bibir tanpa membalasnya.Sasha sejak tadi diam, tak memaksa Reina karena paham temannya itu pasti tidak nyaman. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa bersalah karena langsung membawa Reina ke club tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Kalau Reina nggak nyaman, jangan dipaksa. Salah kita juga maksa dia,” sela Sasha. “Kita cari tempat lain aja.”Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya. Wajah mereka langsung kecewa, meskipun mengangguk setuju. Dia buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun, tersenyum manis pada mereka semua sambil menggelengkan kepala.“Yakin bisa jaga rahasia?” tanyanya, jari telunjuknya mengarah pada ketiga temannya yang serentak mengangguk. “Come on!” Kita ajak kamu ke sini buat h

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Nggak Mau!

    “Jangan seperti ini, Rein, aku benar-benar mencintaimu.” Alvano tak lagi peduli pada penolakan Reina, ia mendekat dan merengkuh pinggang wanita itu. Mereka saling menatap, tapi bibir tak bisa mengatakan apa-apa. Alvano langsung memeluk erat Reina, tangannya mengelus rambut panjang wanita itu yang tegerai. Reina mendengar suara detak jantung Alvano yang berpacu cepat, seakan menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, dia tetap tak nyaman dengan pelukan ini, kata-kata menyakitkan Alea terngiang dalam ingatan, membuatnya menangis sesenggukan.“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan perasaanku, Rein?” tanya Alvano, tak melepaskan Reina. Aroma wanita itu membuatnya begitu nyaman. “Aku bisa melakukan semua hal untukmu.” Reina bergeming dalam kebisuan. Masih tak mengerti sejak kapan cinta tumbuh dalam hati Alvano, pria yang sudah bersamanya sejak kecil. Benarkah kebencian yang diperlihatkan hanya untuk menutupi cinta? Reina menengadahkan wajah, menutup mata sejenak sambil membuang

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Aku Mencintaimu

    “Kak Arka!” Reina berteriak memanggil kakaknya yang entah dimana. Dia memejamkan mata, menggeleng kuat dan menghentakkan kaki.Melihat perlawanan Reina yang menggemaskan, Alvano tersenyum tipis tapi tak melepas tangan wanita itu. Dia sengaja mencengkram tangan Reina di dadanya, memajukan bibir seolah ingin mencumbu wanitanya.“Kalau Kak Arka tau, kamu pasti akan dihabisi, Kak!” kecam Reina, matanya menyipit agar lebih meyakinkan.“Nggak masalah.” Alvano menaikkan bahu. “Bukannya lebih bagus kalau dia tau? Aku bisa secepatnya mendapat restu.” “Hahaha!” Reina tertawa mendengar penuturan Alvano yang dianggap sedang melucu. “Aku Reina Mayumi, bukan calon istrimu.” “Jangan katakan itu, Rein. Aku nggak suka kamu menyebut orang lain saat kita sedang berdua,” sanggah Alvano, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.Reina melirik dari ekor mata, menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sinis.“Yang barusan kusebut itu calon istrimu, Kak Al. Biar kamu ingat,” tegasnya.Alvano

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status