Keesokan harinya, Ghazi terlihat sibuk merawat tanaman yang ada di depan rumah. Tangannya dengan cekatan menyirami, menata, serta memberi pupuk bunga-bunga yang ada disekitarnya. Senyum kecil sesekali akan muncul ketika seekor kupu-kupu terbang mengelilingi tubuhnya. Pria itu terlihat sangat menikmati apa yang tengah ia lakukan.
Ara yang sedari tadi mengamati dari dalam pun tertarik untuk menghampiri sang suami. Ia keluar kemudian duduk di teras dekat dengan Ghazi."Kamu suka berkebun?" Ghazi langsung menoleh saat suara Ara terdengar. Wanita itu terlihat masih mengenakan piyamanya dengan rambut yang digelung asal."Suka, dulu saya sering berkebun sama almarhum Mama. Kalau kamu?" tanya Ghazi."Nggak terlalu, saya lebih suka permen jahe." sahut Ara asal. Wanita itu memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja, berbelanja, dan makan, daripada melakukan kegiatan lain seperti berkebun. "Kamu nggak pergi jualan?" tanya Ara.Ghazi menggeleng. "Kamu bilang mau pergi ke rumah paman saya, jadi saya nggak jualan hari ini." sahutnya.Ara hanya mengangguk meng-iyakan. Wanita itu kembali diam dengan tangan yang mulai bergerak memainkan sekop, menyerok asal tanah yang tengah Ghazi gunakan untuk menanam. Dagunya ia topang di atas kedua lutut tanpa semangat. "Kapan kita akan pergi?" tanya Ara lesu.Melihat gelagat sang istri yang sepertinya merasa bosan, Ghazi langsung membereskan semua barang-barangnya. "Kalau pagi paman saya jualan di pasar, kita nggak akan ketemu sama dia. Gimana kalau bersepeda ke taman dulu? Ini hari minggu, di sana pasti ramai."Tawaran Ghazi bagaikan angin sejuk bagi Ara. Wanita itu langsung mendongak mulai tertarik. "Memangnya kamu punya sepeda?" tanya Ara memastikan."Punya, ayo ganti baju, kita pergi sekarang." ajak Ghazi. Senyum lebar seketika terlukis di wajah Ara. Wanita itu langsung berdiri menatap berbinar kearah Ghazi."Oke, tunggu sebentar yah." ucapnya menepuk pelan pipi Ghazi sebelum berlari masuk dengan sumringah.Ghazi paham, kalau tindakan Ara barusan adalah spontanitas karena wanita itu merasa bahagia. Tetapi nyatanya, itu memberi efek yang cukup besar terhadap Ghazi. Senyuman serta sentuhan wanita itu terasa menggetarkan jiwa. Membuat Ghazi sempat terpaku, dengan detak jantung yang bertalu.Sepuluh menit kemudian, Ara sudah siap dengan setelan olahraganya yang sederhana tetapi tetap terlihat mahal. Rambut hitam panjangnya ia gelung lebih rapih dari sebelumnya. Wajah cantiknya ia biarkan natural tanpa polesan make up. Sedangkan Ghazi hanya mengenakan kaos oblong putih, dipadukan dengan celana pendek berwarna cream gelap yang sudah tidak lagi baru. Walau sangat sederhana, Ghazi tetap terlihat gagah."Kita naik ini?" tanya Ara menatap sebuah sepeda tandem berwarna merah yang sudah terparkir di halaman. Ghazi mengangguk."Ini memang sepeda lama, tetapi masih kuat kok. Jadi kamu nggak usah khawatir rodanya akan lepas di jalan." sahut Ghazi terkekeh. Pria itu mulai menaiki sepeda tersebut.Berbeda dengan Ara yang hanya diam kebingungan karena tidak tahu bagaimana cara mengendarai sepeda tandem. Ghazi yang menyadari hal itu pun langsung menjelaskan secara singkat. Ara yang pintar dengan cepat mengerti ucapan Ghazi. Dengan hati-hati, ia ikut naik ke atas sepeda dan kendaraan itu pun perlahan mulai melaju.Awalnya Ara masih sangat kaku, tetapi saat dirinya mulai terbiasa, tubuhnya perlahan rileks menikmati kayuhan sepeda yang terasa mengasikkan. Tetapi lama-kelamaan, Ara merasa bosan karena Ghazi mengayuh sepedanya dengan sangat pelan."Ayo dong, lebih cepat." serunya."Jangan, segini saja. Nanti kamu susah mengimbangi." sahut Ghazi membuat Ara semakin merengut. Wanita itu mulai mencubiti pinggang Ghazi."Ayo berhenti! Biar saya saja yang di depan." ucapnya. Karena merasa geli, Ghazi terpaksa menepi. Membiarkan Ara yang berada di depan. Sepeda pun kembali melaju.Saat sudah memasuki jalanan beraspal, Ara mengayuh sepedanya dengan lebih cepat. Mulutnya tidak berhenti bersorak-sorai kegirangan."Woah! Ini seru!" teriaknya riang. Angin pagi yang berhembus menyapu wajah Ara pun membuat wanita itu semakin merasa rileks. Entah kapan terakhir kali Ara bisa bersepeda sebebas ini, karena hari-harinya selalu dipenuhi oleh berkas-berkas perusahaan.Ara jadi merasa sedikit beruntung memiliki Ghazi. Pria itu sangat peka dan mampu membuatnya merasa senang seperti sekarang. Mungkin ke depannya, Ara akan lebih lunak kepada pria itu."Berhenti di sana Ra." ucap Ghazi menunjuk sebuah kursi panjang yang masih kosong.Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya mereka sampai disebuah taman yang terlihat ramai pengunjung. Banyak pasangan muda-mudi atau keluarga kecil yang berolahraga santai di sana. Dan disekitar tempat itu juga banyak dijajakan makanan-makanan ringan yang sangat menggugah selera."Saya baru tahu ada taman di sini." ujar Ara saat mereka sudah duduk di kursi tersebut. Matanya sibuk memindai taman yang sangat bersih dan terasa asri, dengan berbagai macam bunga yang tertanam rapih."Taman ini sudah ada sejak dulu, mungkin kamu yang terlalu sibuk, sampai nggak sadar ada tempat sebagus ini." sahut Ghazi menyodorkan sebotol air mineral yang sudah ia buka. Ara hanya mengangguk setuju sembari meraih botol tersebut kemudian meminumnya hingga setengah."Memang akhir-akhir ini saya semakin sibuk. Apalagi saat--""Ara?" Ucapan Ara terhenti ketika seorang wanita memanggilnya. Saat ia menoleh, terlihatlah Fella-anak dari om Abraham-tengah berdiri bersama calon tunangannya. Raut wajah Ara langsung berubah drastis. Ghazi yang menyadari itu masih tetap diam berusaha memahami situasi."Oh hi Fella." sahut Ara tersenyum sedikit terpaksa. Fella adalah wanita yang paling sering menghinanya ketika tengah berkumpul bersama dengan para keluarga. Entah mimpi buruk apa yang Ara alami semalam, sampai bisa bertemu dengan si biang rusuh ditempat ini."Kamu ke sini sama siapa? Sama dia?" tanya Fella menatap remeh kearah Ghazi. "Kasihan banget sih kamu, sudah lama single eh sekalinya dapat pacar tukang cilok. Haha .... " Tawa Fella saat ia menyadari bahwa lelaki yang kini duduk di samping Ara adalah seorang penjual cilok yang pernah ia temui tengah berjualan di taman ini."Dia bukan pacar saya." sahut Ara. Kini raut wajahnya menjadi datar tanpa ekspresi. Mood nya seketika hancur melihat Fella yang menertawainya."Terus siapa dong? Suami?" tanya Fella dengan nada meledek. Ara terdiam bingung harus menjawab apa. Ia takut akan dihina. Tetapi ia juga tidak mau menyakiti hati Ghazi jika ia menjawab tidak."Ya, saya suaminya." sahut Ghazi ringan. Kedua manik Fella seketika melebar. Begitu pula dengan Ara yang langsung menoleh menatap Ghazi tak percaya."Kapan kalian menikah? Kenapa nggak ada keluarga Papa yang diundang? Atau jangan-jangan ... " Ucapan Fella mengantung. Ia menatap Ara penuh curiga. "Jangan-jangan kamu hamil duluan yah?" lanjutnya terkejut.Mendengar itu Ara memejamkan mata. Sudah ia duga, kalau wanita itu pasti akan berfikiran yang tidak-tidak. Kalau sudah begini, bagaimana cara Ara untuk menjelaskan? Hinaan-hinaan yang mungkin akan ia dapatkan dari keluarga yang lain mulai memenuhi otaknya. Diri yang tak pandai menyembunyikan perasaan pun membuat Ara menjadi gelisah. Ghazi yang menyadari itu langsung memegangi tangan sang istri."Saya menikahi dia karena saya menyukainya. Bukan karena skandal seperti apa yang kamu tuduhkan. Bukannya kamu sendiri yang begitu? Berbuat gila dengan orang lain, tapi minta pertanggung jawaban pada pacarmu, miris sekali." ucap Ghazi santai. Fella mendelik. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Ghazi. Bagaimana bisa seorang penjual cilok mengetahui masalahnya, sedangkan sang papa yang berkuasa saja bisa ia bodohi?"Tutup mulutmu Gembel!" sungut Fella menunjuk wajah Ghazi. Ara yang merasa bahwa ucapan Fella sudah keterlaluan pun berdiri menyingkirkan tangan wanita itu."Fe, saya nggak mau ribut sama kamu. Lebih baik kamu pergi dari sini." ucap Ara tegas."Cih, kamu sudah berani nyuruh-nyuruh saya hah?" sahutnya sinis mencengkram tangan Ara. Ara menghela napas mencoba tenang. Fella ini memang sangat keras kepala. Apalagi kalau sudah marah seperti sekarang. Ara jadi bertanya-tanya, mengapa wanita ini langsung berapi-api mendengar ucapan Ghazi? Atau jangan-jangan itu adalah sebuah fakta? Tetapi bagaimana Ghazi bisa tahu?Calon tunangan Fella yang sedari tadi diam mengamati Ghazi pun langsung menarik Fella. "Ayo pergi dari sini, aku nggak mau cari masalah sama dia." bisiknya melirik Ghazi. Ghazi yang masih bisa mendengar itu pun tersenyum tipis."Apa maksudmu hah? Dia itu cuma tukang cilok! Kenapa kamu harus takut?" seru Fella kesal."Sudah ayo pulang, dia bukan seperti apa yang kamu kira." ucap pria itu menarik Fella pergi dari sana.Ara mendengus. Ia menenggak minumannya hingga kandas. Mengapa Ara seperti sulit merasa tenang? Apa Ara kurang bersyukur? Baru saja ia merasa bahagia bisa bersepeda, eh malah bertemu dengan Nenek lampir."Minta uang, mau borong semua jajan yang ada di sini." Seperti tak sadar karena diliputi amarah, Ara mengangkat tangannya meminta kepada Ghazi. Dengan mudah Ghazi memberi selembar uang seratus ribuan. Ara langsung mengambilnya, kemudian pergi mulai membeli makanan."Untung saja bawa uang cash." ucap Ghazi lega. Pria itu mengambil ponselnya kemudian menghubungi seseorang. Matanya sesekali melirik kearah Ara, takut kalau wanita itu tiba-tiba kembali.Saat panggilan mulai tersambung, "Cari tahu lebih banyak tentang Fella Abraham dan tunangannya, lalu beri mereka sedikit hadiah." Tut. Sambungan langsung terputus."Siapapun yang membuat istri saya kesal, harus menerima hukuman yang setimpal." batin Ghazi.Ghazi berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dokumen yang tertukar, mengharuskannya kembali untuk mengambil yang benar."Di mana dokumen itu?"Ghazi terus mencari. Ia memilah-milah tumpukan kertas yang ada di ruang kerjanya dan prang! Sikunya tak sengaja menyenggol foto Ara yang ada di atas meja. Merunduk, Ghazi membersihkan foto tersebut dari serpihan kaca.Ketika sedang memandangi wajah Ara, dada Ghazi tiba-tiba berdenyut sakit. Perasaannya mendadak tak enak dan bayang-bayang sang istri terus muncul dalam benaknya. Ada apa ini?Baru saja ingin mencoba menghubungi Ara untuk menanyakan kabar wanita itu, Willy lebih dulu menelponnya membuat Ghazi mau tak mau segera kembali ke kantor mengesampingkan kekhawatirannya terhadap sang istri.Waktu terus berlalu, pekerjaan Ghazi akhirnya selesai juga. Pria itu baru sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Ghazi berharap disambut oleh Ara, namun ternyata hanya ada Biru yang menunggu kedatangannya."Mama ke mana sih Pa? Kok mama nggak pulang-pula
Hujan rintik-rintik mengiringi acara pemakaman Carol. Semua orang di keluarga Addaith ikut hadir termasuk Zelin dan Roan. Dari sekian banyaknya orang, yang paling terpukul atas kematian Carol adalah Ara. Sedari tadi, wanita itu hanya diam dipelukan Ghazi dengan tatapan kosong. Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman menyisahkan Ara dan Ghazi serta Giana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Amour, ayo kita pulang." Ara menggeleng. "Saya masih mau di sini, Mas. Kamu pulanglah lebih dulu,"Ghazi diam merasa bimbang. Ia tidak mungkin meninggalkan Ara seorang diri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun meeting penting yang harus Ghazi hadiri juga tidak bisa diabaikan begitu saja."Pergilah Zi, kamu ada meeting kan hari ini? Biar Ara tante yang menemani." ucap Giana tersenyum lembut. Melihat sang istri yang hanya diam, Ghazi pun menganggap kalau wanita itu tidak keberatan kalau dirinya pergi. Sedikit menunduk, Ghazi pun berucap, "Amour, saya pergi dulu sebentar ya? Di si
Ara melangkah ke sana kemari mencari keberadaan Carol yang tak kunjung ia temukan. Sejak pulang dari rumah Zelin sampai menjelang sore, batang hidung wanita itu tidak terlihat di mana pun. "Kamu di mana sih Carol?" keluh Ara mencoba menghubungi wanita itu. Merasa lelah, Ara yang tengah berada di dalam kamar Carol pun mendudukan diri di tepian ranjang milik wanita itu.Seperti biasa, kamar Carol selalu rapi. Ara terus menelisik sampai matanya melihat secarik kertas di antara tumpukan buku, ia pun meraihnya. [Nyonya, Anda adalah wanita terbaik yang pernah saya temui setelah ibu saya. Saya pamit ya, Nyonya?]Ara tertegun membaca sederet kata yang tertuang di dalam surat tersebut. Jadi ... Carol pergi meninggalkannya? Tetapi kenapa? Ara segera bangkit membuka lemari milik wanita itu. Tak menemukan apa pun di dalam sana, Ara mulai dirundung panik. Wanita itu berlari ke luar sembari memanggil-manggil nama Carol. "Amour, apa yang kamu cari?"Ara berjengit ketika suara Ghazi tiba-tiba terd
"Selamat pagi, Tan." sapa Ara tersenyum ke arah Giana yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Dengan santai, ia mengecup pipi sang tante membuat wanita itu mendelik tak terima. Menekan rasa kesalnya, Giana memilih berteriak memanggil salah satu pelayan agar membawakan secangkir kopi untuknya. Tetapi bukannya mendapatkan kopi, Giana malah diberi segelas air putih. "Maaf Bu, mengingat umur Anda yang tidak lagi muda, air putih lebih baik untuk kesehatan Anda."Ara nyaris menyemburkan tawanya mendengar perkataan Carol. Entah bagaimana ceritanya wanita itu bisa memegang bagian dapur, yang jelas, Ara cukup terhibur melihat wajah Giana yang kini berubah masam. "Saya tidak memanggil kamu, Carol. Saya memanggil Mira!""Sstt ... jangan marah-marah, Tan. Ini masih pagi loh, Tante mau wajah Tante semakin keriput?" "Kamu," desis Giana hampir melayangkan sendok di tangannya ke arah Ara kalau saja Ghazi tidak berjalan mendekati mereka. "Selamat pagi semua,""Selamat pagi, Mas." sahut A
"Ayo jelaskan semuanya sekarang juga, Carol." desak Ara menancapkan sebilah pisau ke sebuah apel sebelum mencincangnya dengan brutal. Kesabarannya mulai menipis menunggu Carol yang sengaja menyibukkan diri.Carol meringis. Menyadari kalau sang nyonya mulai kesal, ia pun mengalah. Bergerak menaruh sapu di tangannya, kemudian beranjak duduk di samping wanita itu."Apa Anda melihat sebuah villa yang berada di sisi barat hutan, Nyonya? Itu adalah villa milik Giana. Saya bertemu dengannya di sana dan kami bertengkar. Tidak terima karena saya memintanya untuk mengakui semua kesalahannya, dia mendorong saya dari lantai atas. Saya jatuh ke sungai dan seperti yang Anda lihat, saya berhasil selamat."Ara tercengang sampai menjatuhkan pisau di tangannya. Cerita Carol, terdengar seperti kisah thriller yang sangat mengerikan. Kalau memang Giana terbukti melakukan itu semua, Ara bersumpah akan menjaga jarak dengan wanita itu. "Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah sepele seperti itu dia tega me
"Tetap di sana dan jangan mendekat."Ghazi benar-benar kesal dengan Olivia yang terus menyambanginya. Sejak mendengar dirinya sakit, wanita itu memang selalu mengekorinya seperti anak kucing. Ini semua gara-gara Giana! Wanita tua itu sengaja meminta Olivia untuk menemani Ghazi dengan alasan agar sang ponakan tidak merasa kesepian."Ayolah Zi, aku kan hanya ingin lebih dekat denganmu, masa nggak boleh?" Ghazi meremas pulpen di tangannya. Kenapa Olivia tidak paham juga kalau dirinya tidak mau diganggu? "Dengar Oliv, saya tidak suka melihat kamu di sini. Sebaiknya kamu pergi seka--""Sayang, jangan terlalu kasar pada Olivia. Bukankah beberapa hari ini dia telah merawatmu? Berterimakasihlah padanya dengan bersikap baik." ujar Giana menepuk pelan pundak Ghazi. Wanita itu mengambil duduk tak jauh dari mereka sembari menikmati secangkir teh. "Dengar Zi? Kamu harus bersikap baik padaku. Berhubung hari ini kondisi kamu sudah jauh lebih baik, gimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"Ghazi sont