Share

6. Saling mengagumi

"Sampai kapan kamu akan menyamar seperti ini? Aku yakin, istrimu itu lama-kelaman akan merasa curiga." ucap Willy menatap bosan kearah Ghazi yang kini tengah memakai sebuah topi.

"Bukannya aku sudah pernah bilang?" sahut Ghazi mulai menata isi gerobak yang terlihat berantakan. Saat ini keduanya tengah meneduh disebuah gubuk kosong tempat tukang tambal ban yang saat ini sudah tutup.

"Kalau ternyata yang kamu cari nggak ada sama dia, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Willy. Ghazi terdiam. Ia menatap Willy serius.

"Ada atau nggak adanya bukti itu, aku nggak akan pernah melepas apa yang sudah menjadi milikku." sahut Ghazi. Willy hanya menghela napas pasrah. Ia paham betul bagaimana sifat Ghazi, pria itu sangat membenci sebuah perpisahaan. Meski yang dimilikinya itu bukanlah hal yang ia sukai, Ghazi cenderung sulit untuk melepaskan.

"Lalu apa lagi setelah ini? Kamu akan menerobos hujan sampai ke rumah supaya terlihat meyakinkan begitu?" ujar Willy memandang derasnya air hujan yang turun dari langit. Menyentuhnya pelan, merasakan dingin yang perlahan menjalar ketelapak tangannya. Saat ia kembali menoleh ke samping, Willy langsung melongo melihat Ghazi yang sudah berjalan santai mendorong geroboknya menerobos air hujan. "Dasar pria gila!" teriaknya tak habis pikir.

Tidak jauh dari sana, tepatnya di dalam sebuah rumah, Ara terlihat duduk seorang diri di depan televisi menunggu sang suami pulang.

"Kenapa pria itu belum pulang juga? Memang wajar yah berjualan cilok sampai larut malam?" gumam Ara melirik kearah jam dinding yang kini menunjukan pukul sembilan malam.

Hujan yang turun sangat deras, membuat Ara sedikit takut. Pasalnya ia baru tinggal di sini selama dua hari, dan belum begitu tahu tentang lingkungan sekitar. Bagaimana jika ada orang jahat yang tiba-tiba datang? Atau mungkin ... hantu? Ara seketika bergidik ngeri membayangkannya.

Saat wanita itu memutuskan untuk kembali ke kamar, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Membuat ia langsung berlari kemudian mengintip dari balik jendela. Melihat Ghazi yang berdiri dalam keadaan basah kuyup, Ara langsung mengambil handuk kemudian membukakan pintu.

"Kenapa baru pulang? Terus kenapa bisa basah kuyup begini sih?" tanya Ara reflek mengusap-usap wajah serta kepala sang suami yang basah dengan handuk. Ghazi yang diperlakukan seperti itu pun merasa menjadi seorang anak sepuluh tahun yang ketahuan bermain hujan oleh ibunya.

"Hujan Ra, jadi basah." jawab Ghazi tanpa menyingkirkan tangan sang istri.

"Saya tahu, maksudnya apa kamu nggak bawa jas hujan atau payung? Kalau kamu sakit gimana? Saya kan sibuk kerja, siapa yang akan merawat kamu?" omel Ara. Hati Ghazi menghangat melihat ada seseorang yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Sebab semenjak kedua orang tuanya meninggal, tak ada lagi orang yang mau memperhatikan, atau peduli terhadapnya.

"Di sini dingin tahu Ra." sahut Ghazi memeluk dirinya sendiri. Ara yang menyadari bahwa mereka masih di luar pun langsung menyeret sang suami masuk kemudian kembali mengunci pintu.

"Ayo cepat mandi, sudah saya siapin airnya." ucap Ara. Alasan ia bersikap baik kepada Ghazi adalah Ara ingin lebih mengenal lelaki itu, dan meladeni suami adalah suatu kewajiban bagi seorang istri. Walaupun hati Ara masih belum bisa menerima semuanya dengan ikhlas, ia tak mau menjadi wanita durhaka yang melalaikan tugasnya.

Selagi menunggu Ghazi membersihkan diri, Ara mulai menata makanan yang sudah ia hangatkan di atas meja. Saat tangannya tengah menuangkan air ke dalam gelas, Ghazi keluar dengan hanya menggunakan handuk yang pria itu lilitkan dipinggangnya. Dada bidang serta perut sixpack dengan tetes-tetes air yang masih tersisa, langsung tersugu membuat Ara terkesiap. Ia tak menyangka Ghazi mempunyai tubuh yang begitu sempurna. Sepersekian detik, matanya tak lepas dari tubuh Ghazi yang terlihat sangat menggoda.

"Ra itu airnya sudah penuh." Ara langsung tersadar saat suara Ghazi terdengar. Wanita itu buru-buru meletakkan teko yang ia pegang dengan wajah yang bersemu malu.

"Cepat pakai bajumu." suruh Ara memalingkan wajahnya salah tingkah. Sungguh ia merasa malu. Rasanya Ara ingin menghilang detik ini juga.

Ara adalah wanita tulen. Disuguhkan pemandangan sebagus itu, matanya mana tahan untuk tidak melirik. Ghazi yang menyadari bahwa Ara diam-diam mengaguminya pun hanya tersenyum sebelum melangkah menuju kamar.

Perginya pria itu membuat Ara menghela napas lega. Ia mengetuk-ketuk kepalanya sendiri, merasa kesal karena tidak bisa mengontrol diri. Hancur sudah rencana ingin jual mahal, sebab nyatanya baru dua hari Ara tinggal bersama Ghazi, ia sudah tak berdaya akan pesona pria itu.  

"Ayo sini makan dulu." ajak Ara saat Ghazi sudah kembali. Ia mencoba bersikap biasa saja, walau sebenarnya batinnya masih bergejolak membayangkan tubuh pria itu. Sehalus apa kulitnya? Dan sehangat apa jika Ara tidur di atasnya? Bisikan-bisikan gila terus berdengung di kepala Ara membuat wanita itu menggeleng beberapa kali.

"Ra?" Suara Ghazi terdengar ketika Ara tak kunjung memberinya piring yang sudah wanita itu isi dengan nasi beserta lauk-pauknya.

Lagi-lagi Ara merasa malu. Buru-buru ia meletakkan piring yang ia pegang di depan Ghazi, kemudian ikut duduk dan mulai menyantap makanannya sendiri.

"Kamu nggak perlu segitunya Ra, tubuh saya ini cuma buat kamu. Kamu bisa lihat dan pegang kapan pun kamu mau." Uhuk. Ucapan Ghazi sontak membuat Ara tersedak. Tangannya langsung menyambar gelas yang berisi air, menenggaknya hingga kandas. Apa yang baru saja pria itu katakan sungguh membuat pikiran Ara semakin menggila.

"Jangan goda-goda saya! Cepat habisin makanan kamu." seru Ara mencoba menyembunyikan kegugupannya. Sial, tidak biasanya Ara se-kacau ini hanya karena melihat tubuh seorang pria.

Ghazi hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis tersungging di ujung bibirnya. Ia tak menyangka akan mendapat seorang istri yang mudah sekali tergoda.

Setengah jam berlalu setelah mereka selesai menghabiskan makanan masing-masing, kini Ara tengah duduk menemani Ghazi menghitung uang di depan televisi yang menyala.

"Dibayar berapa kamu sama si tukang foto itu?" tanya Ara yang masih penasaran dengan keberadaan Ghazi di restaurant pagi tadi.

"Lumayan, lima puluh ribu. Nih, buat kamu." balas Ghazi mengulurkan selembar uang.

Ara terdiam memandang uang tersebut. Tanpa perlu menghitung, uang segitu tidak ada apa-apanya bagi Ara. Sebab ia sudah terbiasa menghabiskan banyak uang dalam waktu sehari. Walau tidak masuk dalam kategori boros, Ara tetap mengeluarkan setidaknya lima ratus ribu setiap harinya. 

"Ini buat saya?" cicit Ara.

Ghazi mengangguk. "Kurang yah?" tanyanya. Ara langsung menggeleng. Ia mengambil uang ditangan Ghazi kemudian menaruhnya ke dalam saku piyamanya.

"Nggak kok, makasih yah." ucap Ara. Ia tidak ingin menyakiti hati sang suami hanya karena uang yang pria itu beri cuma sedikit.

Dulu Ara pernah hidup susah, dan saat itu uang seribu rupiah sangatlah berharga baginya. Sampai papahnya berhasil menjadi seorang polisi, hidup Ara menjadi lebih baik. Dan menjadi lebih baik lagi saat ia sekarang sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Karena itulah Ara menghargai pemberian Ghazi dan selalu mensyukuri semua yang ia miliki saat ini.

"Sama-sama." sahut Ghazi tersenyum. Ia tahu sebenarnya uang itu sangatlah tidak cukup bagi Ara, tetapi melihat wanita itu tetap mau menerimanya tanpa protes, membuat Ghazi terkagum. Sebab banyak wanita diluaran sana yang selalu menuntut suaminya, tanpa mau tahu kesulitan apa yang sang suami hadapi dalam mencari rezeki.

"Oh ya, kata Mama, dulu yang jadi wali nikah kamu itu dari pihak paman. Besok bawa saya ke sana yah?" ucap Ara. Ia mungkin bisa mendapat banyak informasi tentang Ghazi dari orang itu.

Ghazi yang tiba-tiba diam, membuat Ara kembali dirundung curiga. Lupa ingatan yang Ara alami membuat berbagai spekulasi hadir dalam otaknya. Ara sempat menebak bahwa Ghazi adalah orang jahat yang sengaja menjebaknya, dan orang yang pria itu katakan sebagai pamannya, hanyalah orang sewaan. Jangan salahkan Ara atas pemikiran negatifnya, karena ini semua terlalu mendadak dan masih abu-abu baginya.

"Ya, besok saya bawa kamu ke sana." Ara tersenyum saat akhirnya Ghazi bersuara. Ia kira, lelaki itu akan tetap diam tanpa menjawab.

"Oke kalau begitu, ayo tidur sudah malam." ajak Ara yang mulai mengantuk. Ghazi mengangguk. Keduanya pun masuk ke dalam kamar setelah mengunci semua pintu.

Tanpa diminta, Ghazi bergerak menata bantal supaya Ara merasa nyaman, dan menyelimutinya setelah wanita itu berbaring. Ara yang diperlakukan demikian pun merasa tersentuh. Ia hanya tersenyum tipis sebagai ucapan terimakasih, dan berbalik memunggungi sang suami.

 

"Mimpi indah yah, kalau kamu butuh sesuatu, langsung bangunin saya." ucap Ghazi mengecup singkat pelipis Ara. Tubuh wanita itu seketika menegang. Terlalu terkejut dengan apa yang Ghazi lakukan.

Ini adalah pertama kalinya Ara menerima sebuah kecupan dari pria lain selain papahnya. Dan entah mengapa, bukannya merasa marah, hati Ara malah berdesir dengan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Perasaan macam apa ini?

Tak mau memikirkannya lebih jauh, Ara mencoba memejamkan mata. Tetapi baru sesaat, kelopak matanya kembali terbuka. Ara, tidak bisa tidur. Banyak sekali hal yang hadir menghantui pikirannya dan itu didominasi oleh pria di sampinganya.

Memberanikan diri, Ara menoleh. Wajah tampan Ghazi yang tertidur tenang langsung terpampang. Ara bukanlah wanita munafik yang buta. Ia lebih mudah menerima Ghazi karena lelaki itu terlihat baik dan mempunyai paras yang rupawan. Kalau tidak, mungkin Ara akan lebih sulit menerima. Sebab semua wanita pasti ingin menikah dengan lelaki yang dicintainya, atau minimal lelaki gagah yang kaya raya.

"Entah mengapa, saya masih merasa kalau kamu menyembunyikan banyak hal." lirih Ara masih menatap lekat wajah Ghazi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status