Nayla tertawa pelan."Aku kangen banget sama kamu, Ji. Sumpah. Terakhir kita ngobrol serius tuh… pas zaman masih suka curhat di bawah meja lab sambil pura-pura nyatet reaksi kimia, ya gak sih?”Jihan ikut terkekeh. “Iya... dan kamu selalu bawa contekan, terus pura-pura pingsan tiap disuruh maju.”“Please, itu bukan pingsan, itu akting!” Nayla memutar bola matanya sambil menyeruput cappuccino yang baru diantar barista. “Eh, tapi serius. Aku senang banget kamu hubungi aku lagi. Sempat mikir, kamu lupa aku.”Jihan tersenyum samar, lalu menatap ke luar jendela. Daun-daun yang basah terlihat gemetar ditiup angin.“Gak mungkin aku lupa kamu, Nay. Cuma... ya, hidup bikin aku keasikan tenggelam. Ada hal-hal yang gak pernah aku sangka bakal aku lewati sendirian.”Nayla mendengarkan dengan wajah serius, tapi tidak menekan. Ia tahu, sahabatnya ini bukan tipe yang mudah membuka luka.“Aku denger kamu menikah... tapi kok aku gak diajak?”Jihan tersenyum kecut. “Yah... itu bukan pernikahan yang sem
Reynand memicingkan mata. Tatapannya menelusuri wajah Jihan yang terlihat pucat, seperti sedang menahan sesuatu. Napas Jihan tersengal pelan, meski ia berusaha tampil biasa saja. Tapi gerak tubuhnya tak bisa bohong—ia gemetar. Terutama tangan kirinya yang bersembunyi di saku.“Jihan…” Reynand mendekat, suaranya lebih pelan kali ini, “ada yang kamu sembunyikan dari aku?”Jihan menelan ludah. Dalam hati, ia bergulat. Ingin jujur. Ingin menunjukkan benda itu. Tapi rasa takut menghantam dadanya lebih dulu.Kalau benar Alira masih mengisi hati Reynand, lalu dia apa? Cuma bayangan yang datang telat?“Enggak, Mas.” Jawabannya akhirnya keluar, pelan dan nyaris tak terdengar. “Cuma… aku jadi kepikiran hal-hal aneh belakangan ini.”Reynand mendekat lebih lagi. Tangannya menyentuh bahu Jihan, lembut. “Aneh yang gimana? Kamu bisa cerita ke aku. Aku nggak mau kamu simpan semuanya sendirian.”Jihan mendongak, menatap mata pria itu. Ada ketulusan. Ada kasih sayang. Tapi juga ada kebingungan yang mem
Pagi itu, matahari bersinar hangat di balik awan tipis. Di sebuah minimarket kecil yang biasa dikunjungi Jihan untuk membeli keperluan harian, suasananya lengang. Lantunan musik pop lembut mengisi udara, bercampur dengan suara mesin kasir dan derap langkah pengunjung.Jihan berdiri di lorong susu formula, tangan kanannya menimbang dua kotak berbeda merek. Matanya menyipit, mencoba membaca kandungan gizi yang tercetak kecil di kemasan. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans longgar, rias wajahnya nyaris tanpa polesan. Aura keibuannya begitu terasa—tenang, lembut, dan penuh kasih.“Jihan, ya?”Sebuah suara mengejutkan memanggil namanya dari samping. Suara perempuan—tenang tapi menyimpan nada sinis terselubung. Jihan menoleh.Seorang wanita berdiri di sana, anggun dan percaya diri. Blazer berwarna gading membingkai tubuh rampingnya, celana panjang hitam menambah kesan tegas. Make-up-nya presisi: tidak menor, tapi sangat terencana. Rambut panjang bergelombang jatuh rapi di
Pagi itu, gedung kantor utama PT Radevara berdiri megah di bawah naungan matahari yang baru naik. Langit biru bersih, seolah ikut menyambut babak baru dalam kehidupan mereka yang kini tak lagi diwarnai ketakutan.Langkah kaki Reynand terdengar mantap di sepanjang koridor lantai enam, berbalut setelan abu arang yang rapi. Namun berbeda dari biasanya, hari ini langkahnya tidak sendiri.Di sebelahnya, Jihan berjalan dengan ringan, mengenakan blouse krem sederhana dan celana kain senada. Di pelukannya, Rangga tertidur lelap, kepalanya bersandar manis di bahu ibunya. Sesekali, Jihan menatap wajah mungil itu, memastikan napasnya tetap tenang.Reynand membuka pintu ruangannya. Udara dingin dari AC menyambut mereka. Ia menoleh, mengisyaratkan tempat duduk kecil di sudut ruangan.“Kamu bisa duduk di sana, sayang,” ucap Reynand lembut. “Kalau Rangga terbangun, tinggal panggil aku.”Jihan tersenyum mengangguk, duduk perlahan sambil tetap mengayun pelan tubuh Rangga.“Terima kasih, Mas.”Reynand
“Kalau begitu aku bawa sandal jepit saja,” goda Jihan sambil berpura-pura berbalik ke kamar.Reynand buru-buru menarik pergelangan tangannya lembut. “Jangan, nanti kamu menyesal.”Jihan tertawa. “Baiklah… tapi aku penasaran setengah mati.”“Memang seharusnya,” jawab Reynand pelan, sembari menatap matanya dengan intens. “Karena hal-hal paling indah memang datang dalam kejutan yang paling sederhana.”Tatapan itu membuat Jihan mendadak gugup. Ada sesuatu di balik senyum pria itu hari ini. Bukan kegugupan biasa, bukan juga keraguan. Tapi semacam keyakinan… seperti seseorang yang sudah menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang besar.Mereka pun melangkah keluar. Di halaman rumah, mobil sudah menunggu. Reynand membuka pintu depan untuk Jihan, memperlakukannya seperti seorang putri, lalu masuk dari sisi kemudi.Sepanjang perjalanan, Jihan beberapa kali melirik ke arah pria di sampingnya. Tapi Reynand hanya fokus menyetir, sesekali melempar senyum penuh rahasia.“Mas, jangan
Jihan menunduk, air mata tipis mengalir tanpa suara. Tapi bukan air mata sedih—melainkan air mata lega. Ia tahu betul luka di masa lalu belum sepenuhnya sembuh, tapi malam ini, dengan hangat tangan Reynand dan detak napas Rangga yang mulai tenang, ada ruang baru dalam hatinya yang terasa utuh kembali.“Mas,” panggilnya lirih.“Ya?”“Terima kasih... untuk membiarkan aku ada di sisi kalian.”Reynand tersenyum, lalu mencium punggung tangannya. “Justru kami yang berterima kasih. Karena kamu membuat rumah ini hidup.”Malam terus berjalan. Di kamar kecil itu, mereka berdua tetap terjaga, saling bergantian merawat Rangga. Kadang Jihan membacakan dongeng dengan suara pelan, kadang Reynand memijat lembut kaki Rangga. Mereka tidak saling bicara banyak, tapi komunikasi lewat mata dan gerakan kecil cukup untuk menjelaskan bahwa mereka kini adalah satu tim.Saat waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Rangga mulai terlelap lebih dalam. Suhunya menurun perlahan, tubuh kecilnya tidak lagi gelisah.Ji