"Rumah Sakit Bakti Negara, Pak. Saya melahirkan di rumah, lalu dibawa ke sana, kemudian dapat surat hasil pemeriksaan." Kepalang pusing, Jihan pilih menjawab asal saja.
*** Keesokan paginya, Jihan kembali datang untuk bekerja. Seperti biasa, kondisi rumah selalu sepi karena hanya ditinggali Reynand dan beberapa ART. Sengaja datang lebih pagi karena Jihan ingin istirahat sebentar, setelah kemarin mengurus Baby Rangga yang diserang flu. Reynand pulang sore, jadi Jihan punya waktu seharian untuk mengumpulkan tenaga sebelum squishy kembarnya bekerja. "Ah ... akhirnya bisa rebahan juga, ternyata begini rasa sofa orang kaya." "Mbak Jihan." "Eh?" Refleks Jihan bangkit dan kaget melihat seorang ART mendekatinya. "Iya? Ada apa?" "Mbak Jihan diminta Pak Reynand ke ruangan gym." "Loh? Bapak tidak ke kantor, Bi?" "Katanya Bapak tidak enak badan, Mbak. Cepet susulin gih." "Oh gitu." *** Dunia memang tidak mengizinkan Jihan istirahat, selalu ada saja hal-hal yang membuatnya harus bergerak. Sekarang ia sudah berdiri di depan ruangan gym, dan di dalam, Reynand sedang angkat beban dengan tubuh berkeringat. Glek. Jihan refleks menelan ludah saat melihat Reynand hanya mengenakan celana olahraga hitam, yang menggantung rendah di pinggang. 'Besar-besar sekali ototnya, pasti yang di bawah juga ... astaghfirullah, apa yang kamu pikirkan, Han! Stop berpikiran jorok!' Menepis pikiran mesumnya, Jihan pun segera mendekat. "Ehem ... Permisi, Pak." "Tutup pintunya." Jihan refleks menoleh ke arah pintu kaca yang terbuka. Memang tadi ia lupa menutup karena tertegun melihat kegagahan tubuh Reynand. Cepat-cepat Jihan menuruti perintah, lalu kembali ke tempat semula dengan berdiri kikuk. "Sudah, Pak." Reynand tidak menyahut, dia masih sibuk dengan dumbbell di tangan. Keringat yang mengalir pada setiap inci tubuh membuat kulitnya mengilap. Pemandangan itu membuat Jihan menelan ludah untuk ke sekian kali, pun pikirannya berkelana, dan tanpa sadar kedua pipinya memerah. "Suka pemandangannya?" "Hah? Eeee ...." Jihan terkesiap, gugup, "Maaf, Pak. Saya hanya—" "Hanya?" Reynand menaikkan satu alis, tatapannya mengunci Jihan di tempat. Jihan menggigit bibirnya, merasakan hawa panas menjalari tengkuknya, "A-anu. Saya datang ke sini karena disuruh ART. lagipula bukan salah saya memandangi bapak seperti tadi, siapa suruh bapak tidak memakai atasan. Wanita normal manapun pasti akan—" "Mesum." Pletak! "Ahhw! Kenapa Bapak sentil kening saya?" sungut Jihan marah. "Marah?" "Ya, jelaslah, Pak." "Justru seharusnya saya yang marah dengan kamu, Jihan!" "Kenapa begitu?" "Kamu berbohong tentang keberadaan rumah sakit itu, jadi sekarang terima hukumannya." Sontak Jihan melotot, "Hukuman?" Ia meneguk ludah, kenapa cepat sekali ketahuan bahwa RS Bakti Negara itu tidak ada? Sejak awal Jihan memang sengaja berbohong demi terlepas dari interogasi Reynand, tapi tidak menyangka terbongkar dalam waktu kurang dari 24 jam. "Ya. Empat sesi, sekarang!" "Apa? Sesi? Sesi apa?" Jihan terlihat ngeblank, pikirannya mendadak kacau. Belum sempat bertanya, Reynand sudah mengangkat ponsel dan menyorotkan layar tampilan goggle maps ke wajah Jihan. "Paham sekarang?" "Tidak, Pak. Apa itu?" "Astaga!" Geram Reynand, tangannya mencekeram handphone kuat-kuat, berusaha menekan emosi yang menggunung, "Ini hasil pencarian Rumah Sakit Bakti Negara di G-maps, hasilnya tidak ada Jihan. Itu artinya, kamu berbohong dengan saya!" "Hoooo, kok tidak ada ya?" Jihan mulai berakting, ekspresi wajahnya dibuat-buat seperti orang merasa bersalah, "Aduh, maaf Pak. Habisnya semalam Bapak tanya waktu saya lagi capek." "Jadi kamu mau bilang kalau ini salah saya?" "Maunya begitu, Pak." "Kyaaak!" Ingin rasanya Reynand menyentil kening Jihan sekali lagi, tapi rasanya percuma. Menarik napas dalam lalu diembuskan perlahan, kembali ia berbicara. "Fine, saya yang salah. Tapi kamu tetap harus dihukum, empat sesi." "Empat sesi?" Jihan melotot nyalang. Reynand mengangguk santai sambil menyandarkan tubuhnya ke alat gym di belakang. "Ya. Empat sesi. Mulai sekarang." Ada senyum puas yang terpancar di wajahnya. Meskipun dibohongi, setidaknya ia dapat imbalan yang lebih dari kata sepadan. "Bapak bercanda, kan? Saya ini cuma penjual ASI, bukan atlet. Mana kuat nge-gym empat sesi." Gantian Reynand yang melotot, jawaban Jihan sungguh di luar ekspektasi, "Maksud kamu?" "Ya, saya tidak bisa nge-gym empat sesi, Pak," ujar Jihan dengan nada pasrah. "Punya mata kan? Coba lihat saya, otot nggak ada, lemak banyak. Jangankan angkat beban, jongkok berdiri aja udah ngos-ngosan." "Jihan, saya tidak sedang bicara soal olahraga!" "Lalu?" "Pekerjaanmu," kata Reynand mengangkat 4 jari besarnya, "Empat sesi. Hari ini! Saya tunggu di kamar!" Segera Reynand berlalu sambil memijit sisi kepala, dia terlihat sangat pusing karena memikirkan pekerjaan, bayinya, dan juga Jihan yang mendadak seperti Jerry dalam kartun Tom & Jerry, kecil lagi menyebalkan. "Duh ... bagaimana ini? Ck, sial sekali hidupku. Dia pikir aku betulan tidak paham arti empat sesi? Dasar hyper sek! Tiga sesi aja rasanya nyawaku tertarik sampai akhirat, apalagi empat. Minta disunat lagi kayaknya." *** Jihan sudah tiba di kamar Reynand, laki-laki itu sepertinya sedang mandi. Terbukti dari adanya suara shower yang hidup. Sambil menunggu Jihan menatap sekeliling kamar luas dan mewah itu. "Sungguh gila! Kira-kira dia tajir dari lahir apa hasil korupsi, ya?" Ceklek! "Ini empat sesi sungguhan, Pak?" Jihan berjalan menghampiri. "Menurut kamu?" "Bapak gila, ya? Bapak kira saya sapi perah apa?" "Kalau begitu, lima sesi." "HAH?!" "Kalau kamu menyangkal lagi, jadi enam." Jihan hampir pingsan di tempat. "Pak, tolong jangan bercanda. Saya ini manusia, bukan dispenser susu otomatis!" *** Malam hari Jihan baru pulang, langkahnya gontai, dingin malam menusuk kulit, tapi ada satu hal yang lebih mengganggu. Nyeri berdenyut di dada setelah disekop sekop empat sesi oleh Reynand. "Memang hyper sekali dia, besok sepertinya aku harus check up ke rumah sakit, aku harus pastikan gunung Everest ku masih baik-baik saja." Sesampainya di jajaran rumah kontrakan yang sempit, Jihan disambut Bu Rani yang menjaga bayinya selama bekerja. "Kamu baik-baik saja, Han? Kok kelihatan pucat?" Jihan tersenyum lemah. Sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Tetapi, mana mungkin dia bisa jujur? "Hanya capek biasa, Bu." "Sebenarnya kamu kerja apa, sih? Tiap pulang selalu kelihatan lelah begitu. Tadi pagi juga kamu buru-buru banget. Ada apa?" "Kerja biasa, kok, Bu. Jadi asisten pribadi gitu." Bu Rani menghela napas panjang, lalu menyerahkan bayi Jihan, "Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri, ya. Kamu itu masih muda, tapi beban hidupnya berat banget." "Iya, Bu. Makasih, ya." Melipir dari jajaran rumah kontrakan pada umumnya, Jihan pergi ke rumah kontrakan terpisah, yang letaknya di belakang kontrakan umum, dekat dengan tumpukan sampah. "Gantengnya Bunda, sebentar lagi kita sampai. Seben—loh, Pak Rey? Sedang apa dia di depan kontrakan ku?"Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi
Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani
Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be
Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu
Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing