Jihan menggenggam erat plastik asoy di tangannya, dengan ujung jari tampak memucat. Saat ini, ia sedang berdiri di depan meja administrasi, matanya kembali melirik angka yang tertera di lembar tagihan, lima juta. Selisih tiga juta rasanya seperti jurang tak bertepi.
Ditambah lagi, uang yang ada di tangannya hanya 1,9 juta. Awalnya, Jihan terkejut mengapa bisa demikian, padahal jelas-jelas semalam ia diberi upah senilai dua juta. Tetapi setelah diingat-ingat kembali, Jihan sadar bahwa ia telah menggunakan seratus ribu uang itu, untuk membeli keperluan penting seperti popok, tisu basah, dan makanan sehat untuk dirinya sendiri. Bukan karena Jihan egois apalagi ingin memanjakan diri, melainkan karena ia butuh nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan dan memastikan produksi ASI tetap lancar. "Ya Allah, uangku benar-benar kurang banyak. Bagaimana ini?" Tangan Jihan gemetar sambil merogoh saku celana, berharap menemukan uang terselip, tetapi hasilnya nihil. Hanya ada beberapa lembar uang kecil, yang bahkan tak cukup untuk ongkos pulang. Kemana ia harus mencari pinjaman? Jihan tidak punya siapa-siapa. Keluarga mantan suami? Tidak, mereka dulu bahkan tidak menyukai statusnya sebagai istri Rafli. Orangtua kandung? Mereka bahkan tidak tahu kalau Jihan telah diceraikan dan kini berjuang sendirian. Jari-jemari Jihan mengepal, hatinya berperang dengan logika. Ingin rasanya menawar sekali lagi, memohon keringanan atau berhutang terlebih dahulu, tetapi suara pun terasa berat untuk keluar dari tenggorokannya. Akan tetapi, Jihan tidak punya pilihan selain memohon untuk ke sekian kali. Persis ketika ia hendak membuka mulut, tiba-tiba saja sebuah kartu hitam terjulur di depannya. "Bayar semuanya," ucap si pemilik kartu. Perlahan Jihan menolah ke belakang, tubuhnya langsung terpaku pada wajah lelaki selaku pemilik kartu premium, yang hanya dimiliki orang dengan status ekonomi kelas atas tersebut. "Pak Reynand?" Untuk ke sekian kali Jihan menyebutnya. Sejenak ia terpana melihat sosok dengan setelan jas formal yang berdiri dengan tatapan lurus ke depan itu. Sedikitpun Reynand tidak merespon keterkejutan Jihan, seolah ini hanya transaksi biasa, seolah ia tidak sedang menolong seseorang, seolah Jihan bukan siapa-siapa baginya. "Kenapa diam?" Reynand justru menegur kasir yang melongo memandangi kartu limited edition di meja. "Hah? Oh, i-iya, Pak. Sebentar, ya," ucap kasir itu segera mengangguk dan mulai memproses pembayaran. Sementara Jihan masih berdiri kaku tepat di sisi Reynand, kedua tangannya mengepal, berkeringat dingin. Ingin menolak, tapi bibirnya terlalu berat untuk berbicara. Setelah beberapa menit menunggu, mesin EDC berbunyi tanda transaksi berhasil. "Sudah selesai, Pak," kata kasir sambil menyerahkan kembali kartu Reynand dengan dua tangan, penuh hormat. Reynand menerima tanpa banyak bicara, tapi kemudian— "Bu, tagihannya sudah dibayarkan oleh suami Ibu, terima kasih, ya. Kalian memang suami-istri yang serasi." Sontak Jihan melotot, ucapan kasir itu sukses menampar kesadarannya. Jihan terkesiap, jantungnya berdebar kencang. Dengan gugup, ia melirik ke samping, tepat ke arah Reynand yang tertegun. Bola mata hitam pria itu bergerak perlahan, melirik ke arahnya, membuat Jihan semakin panik. Cepat-cepat ia memalingkan wajah lantas menatap petugas administrasi untuk mengklarifikasi. "Bu, saya bukan—" Ucapan Jihan terjeda saat tangan besar Reynand mencengkeram pergelangannya. Refleks Jihan mendongak, nyalinya menciut saat melihat Reynand yang menatapnya sangat tajam. "Ikut saya," suara Reynand terdengar rendah, dingin, namun tak memberi ruang untuk penolakan. "Ke-kemana, Pak?" ** Mobil hitam Reynand melaju di bawah langit senja yang memerah, menciptakan siluet keemasan di jendela. Di dalam kabin yang senyap, Jihan duduk tegang di samping Reynand. Tangan kecilnya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran tubuhnya. Sedang Reynand yang duduk di kursi kemudi, tetap fokus pada jalan. Namun, ekspresi wajahnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke depan. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin Reynand ajukan. Dia sudah cukup sabar menahan diri, sekarang tidak lagi. Dia harus tahu mendapat semua kebenarannya malam ini juga. "Banyak yang ingin saya tanyakan padamu," ujar Reynand memulai pembicaraan. Jihan tampak menelan ludah, dan diliputi perasaan gugup, "Pertanyaan apa, Pak?" "Bayimu itu ...." Reynand memulai interogasi, dengan sedikit hati-hati, "Di mana kamu melahirkannya?" Sontak Jihan terkesiap, matanya membelalak. Tidak menyangka Reynand akan mengajukan pertanyaan di luar dugaan. Dan yang terpenting, keingintahuannya pasti menyimpan rahasia serta tujuan. "Sa-saya ...." Jihan terbata-bata, "Saya melahirkannya di rumah." "Di rumah?" Mata tajam Reynand memicing, "Tanpa dokter? Tanpa bidan? Kamu yakin tidak sedang berbohong?" Lagi lagi Jihan terdiam. Begitu banyak hal yang ia khawatir dan pertimbangkan. Pun, memberitahu kenyataan dibalik bayinya adalah sesuatu yang berisiko, karena bagaimanapun juga dia bukan ibu kandung sang bayi. "Kalau orang bertanya, biasakan untuk menjawab. Katakan, siapa yang membantumu melahirkan di rumah?" tekan Reynand belum menyerah. "Saya ... tidak ingat namanya." "Tidak ingat?" Reynand berdecak sinis, "Seorang ibu yang melahirkan anaknya sendiri tapi tidak ingat siapa yang membantu menanganinya?" Jihan menggigit bibirnya lebih keras, merasakan getir di dalam dada, "Maaf, Pak. Saya benar-benar lupa." Tak ingin memaksa, Reynand pun manggut-manggut paham. Tetapi bukan berarti sesi interogasi sudah selesai, karena di detik selanjutnya ia kembali melontarkan pertanyaan baru. "Jika kamu melahirkan sendirian, lalu bagaimana bisa tahu kalau bayimu punya kelainan jantung bawaan?" Lagi, Jihan tidak bisa menjawab. Matanya berkabut, berkedip beberapa kali mencari jawaban yang bisa lolos dari penghakiman Reynand. Dua hingga tiga menit berlalu, Jihan masih bungkam. Reaksi tersebut membuat Reynand geram, ia pun mencekeram kemudi lebih erat, "Tidak bisakah kamu menjawab? Atau memang kamu menyembunyikan sesuatu dari saya?!" Detik itu juga, Jihan merasa dirinya seakan terpojok dalam ruangan sempit yang dindingnya semakin mendekat. "Pak, jangan seperti ini. Pertanyaan Bapak sudah mengarah ke ranah pribadi. Untuk apa Bapak menanyakan mengenai bayi saya? Terlepas di mana saya melahirkan, dia tetaplah bayi saya dan suami." "Suami? Bukankah sekarang statusmu janda?" Pupil mata Jihan melebar, dengan sedikit keberanian ia mencondongkan tubuh ke depan, "Bagaimana Bapak bisa tau?" Reynand menoleh, membalas tatapan nanar Jihan. "Dari mana saya tau itu tidak penting, yang penting sekarang jawab pertanyaan saya. Jelaskan secara detail bagaimana kamu bisa memiliki bayi dengan kelainan jantung bawaan!"Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be
Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu
Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing
"Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup
Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu