Share

Bab 5

Penulis: Melvii_SN
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-10 13:05:23

Jihan menggenggam erat plastik asoy di tangannya, dengan ujung jari tampak memucat. Saat ini, ia sedang berdiri di depan meja administrasi, matanya kembali melirik angka yang tertera di lembar tagihan, lima juta. Selisih tiga juta rasanya seperti jurang tak bertepi.

Ditambah lagi, uang yang ada di tangannya hanya 1,9 juta. Awalnya, Jihan terkejut mengapa bisa demikian, padahal jelas-jelas semalam ia diberi upah senilai dua juta.

Tetapi setelah diingat-ingat kembali, Jihan sadar bahwa ia telah menggunakan seratus ribu uang itu, untuk membeli keperluan penting seperti popok, tisu basah, dan makanan sehat untuk dirinya sendiri. Bukan karena Jihan egois apalagi ingin memanjakan diri, melainkan karena ia butuh nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan dan memastikan produksi ASI tetap lancar.

"Ya Allah, uangku benar-benar kurang banyak. Bagaimana ini?" Tangan Jihan gemetar sambil merogoh saku celana, berharap menemukan uang terselip, tetapi hasilnya nihil. Hanya ada beberapa lembar uang kecil, yang bahkan tak cukup untuk ongkos pulang.

Kemana ia harus mencari pinjaman? Jihan tidak punya siapa-siapa. Keluarga mantan suami? Tidak, mereka dulu bahkan tidak menyukai statusnya sebagai istri Rafli. Orangtua kandung? Mereka bahkan tidak tahu kalau Jihan telah diceraikan dan kini berjuang sendirian. 

Jari-jemari Jihan mengepal, hatinya berperang dengan logika. Ingin rasanya menawar sekali lagi, memohon keringanan atau berhutang terlebih dahulu, tetapi suara pun terasa berat untuk keluar dari tenggorokannya.

Akan tetapi, Jihan tidak punya pilihan selain memohon untuk ke sekian kali. Persis ketika ia hendak membuka mulut, tiba-tiba saja sebuah kartu hitam terjulur di depannya.

"Bayar semuanya," ucap si pemilik kartu.

Perlahan Jihan menolah ke belakang, tubuhnya langsung terpaku pada wajah lelaki selaku pemilik kartu premium, yang hanya dimiliki orang dengan status ekonomi kelas atas tersebut.

"Pak Reynand?" Untuk ke sekian kali Jihan menyebutnya. Sejenak ia terpana melihat sosok dengan setelan jas formal yang berdiri dengan tatapan lurus ke depan itu.

Sedikitpun Reynand tidak merespon keterkejutan Jihan, seolah ini hanya transaksi biasa, seolah ia tidak sedang menolong seseorang, seolah Jihan bukan siapa-siapa baginya.

"Kenapa diam?" Reynand justru menegur kasir yang melongo memandangi kartu limited edition di meja.

"Hah? Oh, i-iya, Pak. Sebentar, ya," ucap kasir itu segera mengangguk dan mulai memproses pembayaran.

Sementara Jihan masih berdiri kaku tepat di sisi Reynand, kedua tangannya mengepal, berkeringat dingin. Ingin menolak, tapi bibirnya terlalu berat untuk berbicara.

Setelah beberapa menit menunggu, mesin EDC berbunyi tanda transaksi berhasil. "Sudah selesai, Pak," kata kasir sambil menyerahkan kembali kartu Reynand dengan dua tangan, penuh hormat.

Reynand menerima tanpa banyak bicara, tapi kemudian—

"Bu, tagihannya sudah dibayarkan oleh suami Ibu, terima kasih, ya. Kalian memang suami-istri yang serasi."

Sontak Jihan melotot, ucapan kasir itu sukses menampar kesadarannya. Jihan terkesiap, jantungnya berdebar kencang. Dengan gugup, ia melirik ke samping, tepat ke arah Reynand yang tertegun.

Bola mata hitam pria itu bergerak perlahan, melirik ke arahnya, membuat Jihan semakin panik. Cepat-cepat ia memalingkan wajah lantas menatap petugas administrasi untuk mengklarifikasi.

"Bu, saya bukan—"

Ucapan Jihan terjeda saat tangan besar Reynand mencengkeram pergelangannya. Refleks Jihan mendongak, nyalinya menciut saat melihat Reynand yang menatapnya sangat tajam.

"Ikut saya," suara Reynand terdengar rendah, dingin, namun tak memberi ruang untuk penolakan.

"Ke-kemana, Pak?"

**

Mobil hitam Reynand melaju di bawah langit senja yang memerah, menciptakan siluet keemasan di jendela. Di dalam kabin yang senyap, Jihan duduk tegang di samping Reynand. Tangan kecilnya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran tubuhnya.

Sedang Reynand yang duduk di kursi kemudi, tetap fokus pada jalan. Namun, ekspresi wajahnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke depan. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin Reynand ajukan.

Dia sudah cukup sabar menahan diri, sekarang tidak lagi. Dia harus tahu mendapat semua kebenarannya malam ini juga.

"Banyak yang ingin saya tanyakan padamu," ujar Reynand memulai pembicaraan.

Jihan tampak menelan ludah, dan diliputi perasaan gugup, "Pertanyaan apa, Pak?"

"Bayimu itu ...." Reynand memulai interogasi, dengan sedikit hati-hati, "Di mana kamu melahirkannya?"

Sontak Jihan terkesiap, matanya membelalak. Tidak menyangka Reynand akan mengajukan pertanyaan di luar dugaan. Dan yang terpenting, keingintahuannya pasti menyimpan rahasia serta tujuan.

"Sa-saya ...." Jihan terbata-bata, "Saya melahirkannya di rumah."

"Di rumah?" Mata tajam Reynand memicing, "Tanpa dokter? Tanpa bidan? Kamu yakin tidak sedang berbohong?"

Lagi lagi Jihan terdiam. Begitu banyak hal yang ia khawatir dan pertimbangkan. Pun, memberitahu kenyataan dibalik bayinya adalah sesuatu yang berisiko, karena bagaimanapun juga dia bukan ibu kandung sang bayi.

"Kalau orang bertanya, biasakan untuk menjawab. Katakan, siapa yang membantumu melahirkan di rumah?" tekan Reynand belum menyerah.

"Saya ... tidak ingat namanya."

"Tidak ingat?" Reynand berdecak sinis, "Seorang ibu yang melahirkan anaknya sendiri tapi tidak ingat siapa yang membantu menanganinya?"

Jihan menggigit bibirnya lebih keras, merasakan getir di dalam dada, "Maaf, Pak. Saya benar-benar lupa."

Tak ingin memaksa, Reynand pun manggut-manggut paham. Tetapi bukan berarti sesi interogasi sudah selesai, karena di detik selanjutnya ia kembali melontarkan pertanyaan baru.

"Jika kamu melahirkan sendirian, lalu bagaimana bisa tahu kalau bayimu punya kelainan jantung bawaan?"

Lagi, Jihan tidak bisa menjawab. Matanya berkabut, berkedip beberapa kali mencari jawaban yang bisa lolos dari penghakiman Reynand. Dua hingga tiga menit berlalu, Jihan masih bungkam.

Reaksi tersebut membuat Reynand geram, ia pun mencekeram kemudi lebih erat, "Tidak bisakah kamu menjawab? Atau memang kamu menyembunyikan sesuatu dari saya?!"

Detik itu juga, Jihan merasa dirinya seakan terpojok dalam ruangan sempit yang dindingnya semakin mendekat.

"Pak, jangan seperti ini. Pertanyaan Bapak sudah mengarah ke ranah pribadi. Untuk apa Bapak menanyakan mengenai bayi saya? Terlepas di mana saya melahirkan, dia tetaplah bayi saya dan suami."

"Suami? Bukankah sekarang statusmu janda?"

Pupil mata Jihan melebar, dengan sedikit keberanian ia mencondongkan tubuh ke depan, "Bagaimana Bapak bisa tau?"

Reynand menoleh, membalas tatapan nanar Jihan. "Dari mana saya tau itu tidak penting, yang penting sekarang jawab pertanyaan saya. Jelaskan secara detail bagaimana kamu bisa memiliki bayi dengan kelainan jantung bawaan!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 82

    Suasana kamar mereka malam itu begitu syahdu. Tirai tipis berwarna krem melambai perlahan tertiup angin malam yang menyusup dari celah jendela. Cahaya kuning keemasan dari lampu tidur menciptakan bayangan lembut di dinding, seolah turut menjaga keintiman dua insan yang baru saja diikat oleh janji suci.Reynand duduk bersandar di kepala ranjang, mengenakan piyama sutra berwarna gelap. Di sampingnya, Jihan tampak masih mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih gading, duduk dengan tangan bertaut di pangkuannya. Wajahnya redup dalam diam, namun matanya menyiratkan perasaan yang tak mampu didefinisikan hanya dengan kata.“Malam ini terasa seperti mimpi,” gumam Reynand pelan, memecah keheningan.Jihan menoleh, bibirnya tersenyum tipis. “Jika ini mimpi, maka aku tak ingin terbangun.”Reynand menatap lekat wajah istrinya. Ada sesuatu yang damai dalam tatapan itu, sesuatu yang selama ini ia kejar namun baru benar-benar ia temukan malam ini—kehadiran yang tidak hanya diterima, tetapi juga m

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 81

    Hari itu langit begitu bersih seakan mengerti bahwa bumi tengah menyambut satu janji suci yang tak main-main. Di sebuah gedung bergaya arsitektur klasik modern, berbalut putih gading dan sentuhan emas di setiap lengkungannya, acara pernikahan Reynand dan Jihan berlangsung dengan anggun, tanpa cela. Lantunan instrumental dari grand piano mengisi ruangan dengan melodi lembut yang menyatu dengan aroma bunga segar yang menguar dari setiap sudut ruangan.Para tamu datang dengan pakaian formal bernuansa nude dan pastel, menambah kesan teduh dan elegan. Meja-meja bundar berhias lilin kaca dan buket mawar putih dikelilingi oleh kursi dengan pita emas yang diikat rapi. Cahaya lampu gantung kristal menari pelan di langit-langit, menciptakan atmosfer yang tidak hanya mewah, namun juga menghangatkan hati siapa pun yang hadir.Di tengah sorotan lembut, berdirilah Reynand dengan jas abu tua yang menjulang gagah, berdasi hitam polos dan sepatu mengilap. Wajahnya tenang namun matanya memancarkan sin

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 80

    Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 79

    Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 78

    Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 77

    Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status