Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / MEMBOHONGI PEMBOHONG

Share

MEMBOHONGI PEMBOHONG

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-05-24 12:32:30

Memalukan sekali. Kenapa aku bisa bertemu dengan orang random seperti pria itu?

Ah, sudahlah. Aku cukup lelah memikirkan masalah hidupku.

Hari ini cukup banyak pasien di rumah sakit, sehingga aku sedikit sibuk dan kelelahan. Bahkan, aku sampai lupa akan rencana balas dendamku pada Tasya.

Aku pulang pukul sebelas malam. Dengan langkah lelah, aku berjalan menuju apartemenku. Seperti biasanya, aku sempat berpikir untuk membeli rumah dan berhenti menyewa apartemen. Tapi... nanti saja, setelah rencana pembalasanku selesai.

Saat aku masuk, suasana terasa sepi. Tidak ada Tasya yang menyambut.

Ah, biarlah. Aku juga cukup malas melihat wajahnya.

"Plis... jangan garis dua lagi. Aku takut Raka akan meninggalkanku..."

Suara itu? Itu Tasya? Apa tadi dia bilang... garis dua?

Dengan cepat aku berlari menuju sumber suara. Setelah kuperiksa, ternyata dia ada di dalam toilet kamarnya.

Apa dia sedang memakai tespek?

Dengan cepat aku pura-pura memanggilnya. Aku punya ide yang sempurna. Senyum l
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DI BENCI

    Aku berjalan santai bersama suamiku menuju pintu utama. Sepanjang jalan, para pekerja di rumah ini menyapa kami dengan ramah. Hangat. Penuh rasa hormat. Hati kecilku dipenuhi rasa syukur. Betapa berbedanya hidupku sekarang. Dulu, saat bersama Raka, mana pernah aku diperlakukan seperti ini? Jangankan dihormati, dihina pun sering. Aku banting tulang membeli rumah, mobil, beserta isinya sementara dia? Ah, kalian pasti tahu. Sebelum kami sampai di pintu utama, asisten rumah tangga sudah membukanya lebar-lebar, seolah tahu kami akan datang. Begitu masuk, aku melihat Vivi ,putri kecilku yang manis berdiri di dalam. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas empat SD. Waktu terasa cepat. Senyumku langsung merekah. Aku merentangkan tangan, berharap dia berlari dan memelukku seperti biasanya. Namun senyumku mendadak pudar. Vivi melewatiku begitu saja. Tanpa kata, tanpa pelukan, bahkan tanpa tatapan. Ia langsung berlari ke arah David, ayahnya, yang berdiri di belakangku. Aku menoleh

  • Sekarang Giliranku   BUKAN MAYA TAPI AKU

    Tasya baru saja pulih setelah seminggu dirawat. Tapi Udin, suaminya, bersikeras langsung membawanya pulang ke kampung, menolak mampir ke rumah kami. "Tapi dia baru sembuh... Biarkan dia beristirahat dulu, setidaknya sehari," ucap Nadia, mencoba bernegosiasi dengan adik iparnya itu. Namun, Udin tetap bersikukuh dengan pendiriannya. "Maaf, Kak. Bukannya saya tidak sopan, tapi tujuan kami ke sini hanya untuk meminta maaf, dan sekarang Tasya sudah dimaafkan. Terima kasih, Kak, sudah memaafkan istri saya," ucapnya sopan namun tegas. Nadia menghela napas panjang. Ia tahu, sekeras apa pun memohon, Udin tidak akan mengubah keputusannya. Sementara Tasya hanya diam menunduk. Hatinya masih gundah, masih ada beban yang belum selesai. Nadia bahkan belum sempat menjelaskan tentang Hana, atau rekaman dari ibu mertuanya yang membuat Tasya salah paham. Saat ia hendak menjelaskannya, Udin dan David keburu bangun, mengganggu momen berdua mereka. Akhirnya Nadia memutuskan menunda penjelasan i

  • Sekarang Giliranku   SALAH PAHAM

    Setelah mengatakan kesalahpahaman itu, Susi bangkit tanpa berkata sepatah kata pun, lalu pergi begitu saja meninggalkan Tasya yang merasa cemas dan dibohongi. Wajah Susi tersenyum miring, ia yakin ini akan berhasil. Udin yang melihat gerak-gerik itu langsung menggenggam tangan pucat sang istri. "Ingat, tujuan kita sudah berhasil.Tujuan utama kamu datang ke sini adalah meminta maaf pada kakakmu, dan itu sudah selesai. Setelah kamu sembuh, kita pulang," ucapnya lembut, mengingatkan niat awal mereka datang kemari. Tasya menoleh, menatap sang suami dengan pandangan yang sudah berkaca-kaca. "Iya..." Ia mengangguk lemah, namun di dalam lubuk hatinya ia merasakan sakit yang begitu dalam. Ya, ia sudah kemakan omongan Bu Susi. "Ternyata seperti ini rasanya dikhianati saudara sendiri, Mas... sakit..." lirihnya pelan, berkata dengan suara bergetar. "Luaskan hatimu, Tasya," jawab Udin dengan sabar, mengusap lembut rambut sang istri. . . . "Sudah siuman, Tasya?" suara ber

  • Sekarang Giliranku   TERUS MENGHASUT

    Malam itu, setelah berhasil menidurkan Vivi, Nadia merasa sangat penasaran dengan keadaan Hana yang sudah ia kurung sejak pagi tadi. Ia pun beranjak dan melangkah perlahan menuju kamar tamu—tempat di mana Hana dikurung. Dua orang satpam yang berjaga di depan pintu segera berdiri tegak saat melihat majikan mereka datang. Keduanya mengangguk hormat. Nadia membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Begitu sampai di depan pintu, Nadia menoleh ke arah dua pria berbadan kekar itu. “Apa dia sudah diberi makan dan minum?” tanyanya sopan, namun dengan nada dingin, menirukan gaya sang suami. Kedua satpam itu saling melirik. Wajah mereka tampak tegang, seolah baru menyadari sesuatu yang mereka lupakan. Dahi Nadia langsung berkerut. “Kenapa?” tanyanya curiga. Keduanya menggeleng bersamaan, mata mereka menunduk ke lantai, tak berani menatap langsung ke arah Nadia. Mata Nadia membelalak kaget. “Astaga... seharian ini tak ada yang memberinya makan atau minum?!” bentaknya. Suaranya me

  • Sekarang Giliranku   HASUTAN

    Tangan itu perlahan bergerak, membuat Udin sedikit kaget sekaligus lega. "Tasya..." lirihnya pelan, seolah memanggil sang istri untuk bangun. Namun, wajah itu masih terpejam. Tak ada respons. Udin tak pernah beranjak dari duduknya sejak kemarin. Ia benar-benar terpukul dengan kejadian yang menimpa Tasya. Dalam hidupnya sekarang, hanya Tasya yang ia punya. Hanya Tasya yang menjadi alasannya bertahan. Ia bahkan telah merencanakan sesuatu. Jika Tasya sembuh, ia akan segera membawanya pulang ke kampung. Sepeda motor yang sudah ia belikan untuk sang istri belum sempat diambil, padahal uangnya telah ia serahkan seluruhnya. Semua ia lakukan demi Tasya. Sementara itu, Nadia meminta izin sebentar pada Udin untuk keluar. Putri sambungnya sudah merengek ingin bertemu sang bunda. Nadia tak tega menolak. . . . "Sayang, kamu yakin menyayangi Bunda Nadia?" tanya Susi, sang oma, dengan nada lembut yang menyembunyikan niat liciknya. Ia berusaha menyusupkan keraguan ke hati cucunya, V

  • Sekarang Giliranku   PAGI TAK TERDUGA

    Nadia melotot, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tasya… adiknya… , membela dirinya habis-habisan. Dengan panik, Nadia mencoba mendekat untuk melerai, namun tubuh mereka terlalu kuat terkunci dalam pusaran emosi yang membara. Tangan Tasya masih mencengkeram rambut Hana, sementara tubuh Hana terus terhuyung, kesakitan tak tertahan. "Tasya! Hentikan!" Nadia berteriak, namun seolah tak terdengar di tengah kegaduhan. Udin dan David berdiri mematung, wajah mereka penuh keresahan. Keduanya ingin ikut turun tangan, tapi bingung harus mulai dari mana—karena setiap orang yang mencoba mendekat, langsung ditendang dan dihajar oleh Tasya. Tasya bagaikan singa betina yang mengamuk. Satu tangannya masih kuat menarik rambut Hana, dan kini tangan lainnya mendorong bahu perempuan itu kasar. "Aaaakh! Sakit! Lepasin! Gila kamu!" teriak Hana, suaranya nyaris hilang karena terus menjerit. Beberapa satpam yang datang pun dibuat mundur. Mereka kewalahan. Siapa pun yang mencoba menarik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status