แชร์

MENGUNGKIT MASA LALU

ผู้เขียน: Ayuwine
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-14 10:20:19

"Tenang saja."

Suara David memecah keheningan di meja makan. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu menatap kami satu per satu dengan ekspresi tenang.

"Boru itu pekerjaku. Klinik yang sedang dibangun itu milikku—untuk desa sebelah."

Seketika suasana menjadi hening. Mataku membelalak tak percaya, dan aku melihat jelas raut wajah Tasya dan Udin yang benar-benar terkejut. Bahkan tangan Udin yang semula memegang sendok, kini berhenti di udara.

"Mas... kenapa kamu nggak pernah bilang kalau salah satu pekerjanya adalah adikku sendiri?" tanyaku nyaris tak percaya, masih mencerna apa yang baru saja kudengar.

David menghela napas kecil dan tersenyum tipis.

"Mas juga nggak tahu, sayang. Mas benar-benar nggak pernah tahu siapa saja yang kerja di proyek itu. Semua dikelola langsung oleh tim lapangan dan Boru. Mas baru tahu sekarang, setelah Udin menyebut namanya."

Tasya menunduk, terlihat campur aduk antara bingung, malu, dan tak percaya.

Sementara Udin terlihat kikuk,
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Sekarang Giliranku   MASALALU DAVID

    Pukul enam pagi biasanya menghadirkan kehangatan dan kedamaian. Tapi pagi ini berbeda—sunyi ruangan berubah menjadi arena diam yang siap meledak, dihuni oleh dua perempuan beda usia, dibalut ketegangan yang pekat. Tasya tertegun. Wajahnya pucat, seolah masa lalunya dicongkel paksa oleh seseorang yang bahkan tak ia kenal. Sementara itu, Nadia berdiri tegak, menatap tajam ke arah Hana. Tangannya terkepal kuat. Atmosfer ruangan mendadak panas, seolah menunggu letupan berikutnya. "Jawab, Hana! Dari mana kamu tahu semua ini?" Bentak David sekali lagi. Namun, bukannya takut, Hana justru tersenyum licik—seolah menyimpan celah yang bisa membuat lawannya terdiam kaku. "David, berhenti membentak Hana!" sela Susi, ibu David sekaligus mertua Nadia. Suaranya menggema, tajam dan tak terbantahkan. "Kamu lupa siapa yang selalu ada di sisimu saat istrimu meninggal? Siapa yang menjadi teman setiamu ketika bahkan aku, ibumu, tak mampu menenangkanmu waktu itu?" Kalimat Susi menohok, mengung

  • Sekarang Giliranku   MENGUNGKIT MASA LALU

    "Tenang saja." Suara David memecah keheningan di meja makan. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu menatap kami satu per satu dengan ekspresi tenang. "Boru itu pekerjaku. Klinik yang sedang dibangun itu milikku—untuk desa sebelah." Seketika suasana menjadi hening. Mataku membelalak tak percaya, dan aku melihat jelas raut wajah Tasya dan Udin yang benar-benar terkejut. Bahkan tangan Udin yang semula memegang sendok, kini berhenti di udara. "Mas... kenapa kamu nggak pernah bilang kalau salah satu pekerjanya adalah adikku sendiri?" tanyaku nyaris tak percaya, masih mencerna apa yang baru saja kudengar. David menghela napas kecil dan tersenyum tipis. "Mas juga nggak tahu, sayang. Mas benar-benar nggak pernah tahu siapa saja yang kerja di proyek itu. Semua dikelola langsung oleh tim lapangan dan Boru. Mas baru tahu sekarang, setelah Udin menyebut namanya." Tasya menunduk, terlihat campur aduk antara bingung, malu, dan tak percaya. Sementara Udin terlihat kikuk,

  • Sekarang Giliranku   KEHANGATAN

    Aku masih diam, merenung mengingat kejadian semalam. Bahkan aku tak menyangka, perempuan itu berani datang ke rumah—melawanku, bahkan mencoba menyingkirkanku... tepat di depanku. Aku menghela napas panjang. Rasanya menyesal... bukan karena menikah dengan David—tidak, bukan itu. Aku mencintainya. Tapi... keluarganya. “Kak.” Aku menoleh. Tasya sudah berdiri di depan pintu, tampak menunggu izin untuk masuk. Aku mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia mendekatiku. “Kak... maafin aku,” lirihnya membuatku kembali menatapnya. “Sudahlah, Tasya. Lupakan semuanya. Rasanya aku malas mengungkit luka lama,” ucapku, berusaha tegar. “Perempuan semalam... siapa?” tanyanya pelan. Aku kembali menoleh ke arahnya. Menghela napas panjang, aku mulai menceritakan semua yang aku tahu dan lihat—semuanya. Ia menggenggam tanganku, meremasnya dengan lembut. Aku tahu, ia sedang berusaha menguatkanku. "Kita lawan, Kak," bisiknya penuh tekad. Aku mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. "Nggak,

  • Sekarang Giliranku   BEKINGAN NYA KUAT

    "Sayang... apa ada Hana di sana?" Suara itu membuatku menegang seketika. David menatapku, matanya sempat berpindah ke arah Hana. Aku bisa melihat jelas—Hana tersenyum sinis penuh kemenangan ke arahku, seolah menikmati kekacauan yang terjadi. "Iya," jawab David singkat, tanpa ekspresi. Dari ujung telepon, suara wanita itu kembali terdengar, lebih tajam kali ini. "Dia tamu Mama! Jangan berani mengusir dia, awas aja kalau—" Belum sempat suara itu menyelesaikan kalimatnya, David memotong dengan nada tajam namun tenang, membuat lawan bicaranya terdiam seketika. "Tidak. Jangan pernah masukkan orang lain ke dalam kehidupanku." Suara David terdengar tegas, menusuk hingga ke hati. "Hana adalah orang lain. Mama juga sudah tahu kalau aku sudah menikah lagi. Dan jika Mama tidak suka dengan istriku, setidaknya hargai aku sebagai anak Mama. Jangan lupakan Vivi... Dia akan sangat sedih kalau melihat Bundanya tersakiti." Ya... dia adalah mertuaku. Ibu dari David. Sejak awal, b

  • Sekarang Giliranku   BIBIT PELAKOR

    Namun, aku segera menghela napas panjang, memejamkan mata perlahan, mencoba menahan gejolak di dada. Aku harus pintar menghadapi perempuan seperti dia. Bukan dengan kemarahan aku bisa membuatnya kalah, tapi dengan ketenangan. Genggaman tanganku yang semula mengepal erat mulai melonggar perlahan. Aku menatap suamiku. Ia hanya diam, menatapku penuh kekhawatiran, bahkan kepalanya ikut menggeleng pelan. Pandangan mataku lalu beralih kepada Hana. Perempuan cempreng itu menatapku dengan angkuh, seolah dia sudah menang. Hmph, jangan harap! “Ya, wajar saja dia mengingkari janjinya. Soalnya, perempuannya seperti kamu—cempreng, banyak gaya, sombong, angkuh. Atau...” Aku berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, “...mungkin ada alasan lain yang lebih menyakitkan hingga akhirnya membuat suamiku batal menikahimu.” Ucapanku tenang tapi tajam, membuat matanya membulat kaget. Bibirnya terkatup rapat, bergetar menahan amarah. Sementara itu, aku hanya tersenyum centil, men

  • Sekarang Giliranku   MEMBERI KESEMPATAN

    Tiba-tiba saja ia langsung bersujud di kakiku. Refleks, aku mundur satu langkah, menatapnya dengan heran. Mataku kemudian beralih pada suamiku yang berdiri di sampingku. Dengan tenang, ia meneluk kedua pundakku, seolah menyuruhku untuk sabar dan tidak terbawa emosi. “Kak… maafin aku, Kak…” isaknya terdengar menyedihkan. “Aku… aku benar-benar minta maaf. Tolong, Kak… tolong maafin aku. Ini demi kelangsungan hidupku…” lanjutnya tersendat-sendat. Aku makin bingung. Apa maksudnya dengan "demi kelangsungan hidup"? “Maafkan dia. Saya mohon…” Suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Aku menoleh cepat. Siapa dia? Kenapa dia ikut campur? Dan kenapa semua ini terasa begitu membingungkan? Ah… kepalaku benar-benar pusing... . . . Kami duduk di ruang tamu. Malam itu terasa gerah, entah mengapa, padahal udara begitu dingin menusuk kulit. Keringat dingin membasahi pelipisku, bukan karena panas, tapi karena gelisah yang menggantung di udara. "Tenangkan d

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status