Seorang perempuan duduk sendirian di sebuah kafe. Ia memainkan ponselnya, lalu menekan sebuah nomor untuk menelepon seseorang. Lama ia menunggu, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Hingga akhirnya, panggilannya tersambung. “Kenapa lama sekali?!” kesalnya, dengan suara sedikit meninggi, membuat si penerima telepon spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. “Sabar! Aku di sini menyamar sebagai pekerja. Kau kira aku datang sebagai tamu? Diam, bersantai? Tidak, aku bekerja!” balasnya tak kalah sengit. Perempuan itu terdiam, tak menunjukkan rasa tersinggung. “Baiklah... baiklah,” ucapnya, mencoba mengalah. “Tapi, bagaimana? Kapan kamu melakukan rencanamu? Sudah dua minggu tak ada pergerakan atau kabar baik sama sekali,” sambungnya tak sabar. “Kau pikir ini gampang? Yang kita hadapi itu CEO, bukan orang sembarangan. Ini butuh waktu. Bukan sehari dua hari!” Hana berdecak kesal. Ia merasa sudah tidak sanggup lagi menunggu, tapi kenyataannya, semua butuh proses. Dengan perasaan je
Raka mulai merencanakan balas dendamnya. Diam-diam ia terus memperhatikan gerak-gerik David dan Nadia. Dari caranya berpakaian, gaya bicara, hingga rutinitas sehari-hari David yang nyaris selalu bersama Nadia. Raka merasa ada yang janggal David tak terlihat seperti orang yang bekerja, tapi hidupnya bergelimang kemewahan. Pikiran itu terus mengusiknya sampai akhirnya ia mengetahui sebuah fakta mengejutkan: David adalah seorang CEO. Bukan hanya satu perusahaan, tapi banyak. Bahkan bisnisnya merambah ke berbagai bidang dari perusahaan besar, hingga kafe-kafe mewah yang tersebar di mana-mana. Semuanya atas nama David. Hanya dari kenyataan itu saja, Raka sudah merasa kecil. Terintimidasi. Tapi pukulan selanjutnya jauh lebih mengejutkan: seorang gadis kecil yang dulu tak pernah ia lihat, kini sudah tumbuh besar dan duduk di kelas lima SD. Raka sempat bertanya-tanya anak siapa? Dan ternyata, gadis kecil itu adalah anak sambung Nadia. Raka mulai menyusun rencana baru. Fokus balas dend
Raka berjalan perlahan, langkahnya berat namun penuh tekad. Ia sudah mendapatkan alamat tempat tinggal baru Nadia rumah yang kini ia tinggali bersama suaminya. Raka tak datang dengan wajah lamanya. Ia menyamar dengan cermat; potongan rambut yang sangat berbeda, gaya pakaian yang asing, bahkan caranya berjalan pun dibuat tak dikenali. Ia yakin, dengan penampilan seperti ini, Nadia tak akan pernah mengenalinya. Ia tahu, Nadia sedang mencari asisten baru untuk membantu merawat halaman belakang memotong rumput dan memangkas tanaman. Dan ia tahu itu bukan dari sembarang sumber. Ia tahu dari Susi, ibu mertua Nadia sendiri. Baginya, ini adalah kesempatan emas. Kesempatan untuk masuk ke dalam kehidupan Nadia... Kesempatan untuk menghancurkannya dari dalam. Raka menyimpan dendam yang dalam. Luka-luka lama yang belum sembuh. Ia belum lupa bagaimana namanya dihancurkan, reputasinya diinjak-injak oleh perempuan itu. Ia belum lupa rasa malu saat harus digiring ke kantor polisi
“Ini untukmu,” ucap Kak Nadia lagi, memecah keheningan yang sempat menggantung di antara kami. Aku terperangah. Tak percaya dengan apa yang kulihat di hadapanku. “Ini… ini…” Kata-kataku tercekat, terbata-bata. Lidahku terasa kelu. Aku tak percaya. Mimpi pun rasanya tak akan semanis ini. Kak Nadia mengangguk pelan. Senyumnya tampak begitu tulus. Tapi… kenapa baru sekarang dia memberikannya? Kenapa tak dari dulu, saat aku memintanya dengan penuh harap? Aku melirik David, yang duduk diam di sebelah istrinya. Wajah dinginnya tampak tenang, tapi senyum sinis yang terukir di bibirnya membuat dahiku berkerut. Apa maksudnya? Apakah dia sedang mengejekku? Menganggap aku tidak pantas menerima ini? “Kak…” panggilku, suara lirih, penuh kebingungan. Hatiku masih belum bisa mencerna semuanya. Apa sebenarnya arti dari semua ini? “Ya, Tasya…” ucap Kak Nadia lembut. “Ini sudah waktunya. Kakak akan menepati janji—setelah kamu menikah dan mendapatkan pria yang benar-benar
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk ke kamarku, menembus celah jendela kayu, membelai wajahku lembut hingga aku terbangun. Perlahan aku meregangkan tubuh, menghirup udara segar pedesaan yang sudah tiga bulan terakhir menjadi tempat singgahku. Tak terasa, sudah tiga bulan aku berada di sini, meninggalkan hiruk-pikuk kota yang begitu padat dan riuh. Dan hari ini... inilah yang aku tunggu-tunggu sejak awal acara empat bulanan adikku. Setelah semuanya selesai, mungkin aku akan kembali ke kota, menuruti permintaan David yang sejak kemarin tak henti mengingatkan. Setelah bersiap, aku segera melangkah menghadiri acara itu. Aku sengaja mengenakan baju sederhana, tak ingin merusak momen sakral yang sedang berlangsung. Dari kejauhan, aku melihat adikku sedang menjalani prosesi siraman. Air disiramkan oleh sesepuh desa, mengalir pelan di tubuhnya yang kini tengah mengandung. Hatiku hangat terharu dan bahagia. Adikku benar-benar telah berubah. Malam ini, setelah semua usai, aku te
“Tasya… kamu tega banget ngomong kayak gitu ke kakakmu sendiri!” seru salah satu ibu dengan nada tinggi. “Nggak tahu malu ya? Udah dibantuin, eh malah marah-marah begitu!” “Iya, ih!” sambung ibu lainnya, menyambung dengan nada kesal. “Udah dibantu, disiapin semuanya juga, kok malah nggak bersyukur! Harusnya berterima kasih, bukan malah ngamuk!” “Kalau dipikir-pikir ya… pasti semua biaya acara ini juga dari Bu Nadia!” celetuk yang lain lagi. “Nggak mungkin kamu bisa bikin acara semewah ini sendirian!” “Tasya… tega ya kamu berkata seperti itu?” bentak Udin tiba-tiba, sorot matanya tajam menatap istrinya. “Tega sama kakakmu sendiri! Kakak yang selama ini begitu baik, rela melakukan apapun untukmu! Dan ini balasanmu? Nggak tahu diri! Nggak tahu malu!” Telunjuknya terarah tepat ke wajah Tasya, membuat semua ibu-ibu yang hadir menyorakinya dengan nada kecewa dan cemoohan. Beberapa bahkan menggeleng-gelengkan kepala, merasa tak habis pikir. Namun, tiba-tiba… “Tasya…” suara lembut Nadi