Beranda / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 5: Bayangan di Balik Tirai

Share

Bab 5: Bayangan di Balik Tirai

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-14 14:59:22

Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.

Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.

Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.

Daftar Pekerjaan Hari Ini:

1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.

2. Cuci dan setrika semua pakaian.

3. Siapkan makan siang dan malam.

4. Belanja kebutuhan dapur.

Wulan menatap daftar tersebut dengan perasaan campur aduk. Daftar pekerjaan ini terasa seperti beban tambahan, tetapi ia tahu bahwa ia harus menyelesaikannya. Ia memulai tugas-tugasnya dengan langkah yang berat, memastikan semuanya dilakukan dengan sempurna.

Sementara itu, Ana muncul di dapur, masih dengan rambut acak-acakan dan mata yang mengantuk. "Mbak, aku butuh kamu untuk ambilkan paket dari pos, ya? Dan juga, belikan aku beberapa kosmetik yang baru keluar," ucap Ana dengan nada yang seperti biasanya—entah memerintah atau meminta.

Wulan menahan napas dan mengangguk. "Iya, Ana. Nanti aku ambilkan."

Ana tidak menunggu jawaban lebih lanjut dan langsung menuju ruang tamu, meninggalkan Wulan yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, Wulan menyelesaikan semua tugas di daftar, meski seringkali merasa seperti berada di bawah pengawasan yang ketat.

Hari itu terasa semakin lama, seolah waktu berjalan sangat lambat. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Wulan menuju ke luar untuk membeli kebutuhan dapur dan memenuhi permintaan Ana. Di pasar, Wulan merasa sedikit lebih lega, bebas sejenak dari ketegangan di rumah. Namun, rasa tenang itu hanya bersifat sementara.

Di pasar, Wulan berusaha menenangkan dirinya dengan mengamati keramaian, mencoba merasakan kehangatan matahari yang lembut. Ia memilih bahan-bahan dengan hati-hati, berusaha untuk tidak memikirkan semua yang menunggunya di rumah. Namun, setiap kali ia teringat betapa sulitnya situasi di rumah, kelegaan itu cepat memudar.

Ketika ia kembali ke rumah, beban yang harus dihadapi kembali terasa. Ana sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan, sementara ibu mertuanya duduk di dapur, memeriksa bahan-bahan yang telah Wulan beli.

"Bagaimana dengan belanjaanku?" tanya Ana tanpa melihat Wulan.

Wulan mengeluarkan belanjaan dan meletakkannya di meja dapur. "Semua sudah aku beli. Ini beberapa kosmetik yang kamu minta," ujarnya sambil menyerahkan beberapa kotak kosmetik yang telah Ana pesan.

Ana memeriksa barang-barangnya dengan cepat dan kemudian melanjutkan aktivitasnya. Sementara itu, ibu mertua Wulan memberikan perintah tambahan untuk menyiapkan makan malam lebih awal karena akan ada beberapa tamu yang datang.

Wulan mengangguk dan segera mulai menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. Ketika semuanya hampir siap, ibu mertuanya memanggil Wulan ke ruang tamu.

"Wulan, aku ingin kamu memastikan bahwa semuanya siap sebelum para tamu datang. Mereka akan tiba dalam satu jam," ucap ibu mertuanya dengan nada tegas. "Jangan ada yang kurang."

Wulan mengangguk dan kembali ke dapur, berusaha untuk tetap fokus dan tidak membiarkan stres menguasai dirinya. Namun, hatinya terasa semakin berat. Setiap kali ia merasa sudah melakukan segalanya dengan benar, selalu ada sesuatu yang terasa kurang atau tidak sesuai dengan harapan ibu mertuanya.

Malam tiba, dan rumah kembali dipenuhi dengan tamu-tamu ibu mertua Wulan. Suara tawa dan percakapan ramai menggema di seluruh rumah. Wulan melayani para tamu dengan ramah, berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi ekspektasi mereka, meski hatinya terasa hampa.

Di tengah keramaian itu, Wulan merasa seperti berada di luar lingkaran. Para tamu berbicara tentang topik-topik yang tidak familiar baginya—tentang bisnis, investasi, dan kehidupan sosial yang jauh dari dunia yang ia kenal. Ia merasa seperti berada di luar tempat yang seharusnya ia miliki, terasing dalam lingkungan yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupannya.

Ketika kesempatan akhirnya datang untuk beristirahat sejenak, Wulan duduk di sudut ruangan, menikmati secangkir teh yang disiapkannya sendiri. Ia mencoba untuk tenang, tetapi pikirannya terus berputar—mengenai masa depan, mengenai apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki keadaan, dan mengenai seberapa lama ia bisa terus bertahan seperti ini.

Tiba-tiba, Ana muncul di sampingnya, memandang Wulan dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu tidak ikut berbicara dengan para tamu? Bukankah itu seharusnya menjadi tugasmu juga sebagai istri Dimas?" tanyanya dengan nada sinis.

Wulan terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. "Aku hanya ingin memberikan mereka ruang untuk menikmati malam ini. Lagipula, aku lebih suka duduk sejenak dan beristirahat."

Ana mengangkat bahu. "Baiklah, terserah kamu."

Setelah Ana pergi, Wulan memandangi keramaian dari sudutnya. Ia merasa sendirian di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, merasa terasing dalam dunia yang tidak sepenuhnya ia pahami. Perasaan ini semakin menekan hatinya, membuatnya merasa semakin terasing dan tidak berdaya.

Malam itu, setelah para tamu pergi, Wulan membersihkan sisa-sisa pesta dengan perasaan lelah dan kosong. Ia merasa seolah-olah telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk memastikan bahwa semua orang di sekelilingnya merasa nyaman dan puas. Namun, ketika semuanya selesai dan rumah kembali tenang, Wulan duduk di dapur, menatap tumpukan piring dan gelas kotor yang harus ia bersihkan.

Ada rasa hampa dan keputusasaan yang melanda dirinya. Ia tahu bahwa jika ia terus seperti ini, ia akan semakin tertekan. Wulan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain, tentang bagaimana caranya untuk mengubah hidupnya dan memperbaiki keadaan. Namun, ia juga menyadari bahwa untuk mencapai itu, ia harus lebih dari sekadar bertahan.

Dengan perasaan yang berat dan penuh keputusasaan, Wulan akhirnya menutup mata dan memejamkan dirinya di kursi dapur. Ia berdoa dalam hatinya, berharap agar ada cahaya yang bisa membimbingnya keluar dari kegelapan yang melingkupi hidupnya saat ini.

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang hampir sama, tetapi di dalam diri Wulan, ada perasaan yang semakin berkembang—sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu, untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya sekadar istri yang patuh. Dengan penuh tekad, Wulan mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk mengubah hidupnya, sambil terus bertahan dalam tekanan yang ada.

Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja. Keinginan untuk memperbaiki keadaan dan menemukan jalan keluar dari situasi ini semakin membara dalam dirinya. Dan meskipun ia belum tahu bagaimana caranya, Wulan mulai merasakan secercah harapan di ujung terowongan yang gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status