Waktu terus berjalan, dan suasana nyaman itu akhirnya harus berakhir. Alister melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul 02.00 dini hari. Alister bangkit dari duduknya, menepuk pelan bahu Harika. "Harika, ini sudah terlalu larut. Kamu harus pulang."Harika mengangkat kepalanya dari bahu Alister, sedikit terkejut dengan perpindahan itu. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat. "Eh, iya, Pak." Ia melirik laptopnya yang tertutup, teringat kembali pada pekerjaannya. "Tapi saya masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan." Lalu menatap Alister, kali ini lebih serius. “Makasih ya, Pak.”Alister menoleh. “Untuk?”“Untuk tetap jadi manusia di tengah semua formalitas kantor ini.”Alister tersenyum. “Kamu juga.”Beberapa detik mereka hanya diam. Diam yang nyaman. Hangat. Lalu Harika berdehem dan duduk tegak lagi, berusaha menjaga jarak seperti biasa, tapi Alister tak langsung menjauh. Malah menatapnya dengan lembut."Biar saya antar pulang saja. Kamu sudah terlalu lelah."Harika menggelen
Ia membuka pintu ruang VIP perlahan, masuk dengan langkah hati-hati. Printer masih menyala di pojok ruangan. Meja-meja rapi, tapi aroma parfum menyengat khas Celine masih tercium di udara. “Kenapa setiap tempat dia datangi kayak beauty counter mall, sih,” gerutu Harika sambil mencolokkan kabel ke printer. Lampu LED laptop menyala. Sistem terbuka. “Login log printer 2.08 AM koneksi eksternal. Dapat!” Harika menggigit bibir menahan kegembiraan. Lalu tiba-tiba ada suara langkah kaki. Mata Harika membelalak. Ia meraih ember pel dan cepat-cepat jongkok, pura-pura mengepel. Pintu terbuka pelan. “Eh? Ada yang masih bersih-bersih?” Suara wanita. Harika menunduk lebih dalam, menutup wajah dengan topi dan masker. “Lembur, Bu,” gumam Harika dengan suara dibuat serak. “Baru dapet jadwal shift malam.” Celine mendekat. Sepatunya berbunyi klik-klik-klik, high heels 12 cm kesayangan yang katanya “limited edition Milan Fashion Week”. Harika menahan napas. “Pastikan kamu bersihin printer itu j
Besok paginya, Harika muncul di pantry dengan senyum mengembang dan bungkusan besar di tangan. “Januar!” serunya ceria. Januar, yang sedang menikmati roti isi dan spreadsheet pajak, mendongak seperti rusa tertangkap lampu sorot. “Eh, Harika? Tumben pagi-pagi udah ceria kayak unicorn kena kafein.” “Karena aku bawa ini.” Ia membuka bungkusan—isi lima cup kopi spesial dari kafe mahal lantai dasar dan sekotak donat yang biasanya hanya muncul saat ulang tahun direksi. “Siapa yang kamu racuni hari ini?” tanya Januar curiga. “Kamu. Maksudku, bantu aku sedikit aja, ya? Please? Nggak bakal ngerepotin! Cuma butuh kamu lacak satu email jahat dan kemungkinan pelakunya.” Januar menatap donat, lalu kopi, lalu Harika, lalu donat lagi. “Kopi ini latte gula aren tiga shot espresso?” “Dua shot, tapi ada bonus senyuman manis dari aku,” ujar Harika sambil kedip sebelah. Januar menyerah. “Fine. Tapi kalau aku masuk lubang kelinci teknologi hitam karena kamu, setidaknya aku kenyang.” Dua jam kemud
Harika segera membuka laptopnya. Tangannya gemetar menyusuri keyboard, membuka folder demi folder, mencoba mencari jejak digital yang mencurigakan. Ia tahu dirinya bukan hacker, tapi pengalaman sebagai mantan anak jurusan teknik informatika walau drop out masih meninggalkan bekas keterampilan dasar."Aku butuh jejak log… sesuatu… apa pun," gumamnya.Ia membuka event viewer, melihat daftar aktivitas sistem di komputernya, lalu ia menemukannya.Log on Time: 02:08 AMPadahal ia jelas-jelas tidak di kantor pada jam itu.“Siapa pun kamu, kamu masuk pakai remote access,” bisiknya, rahangnya mengeras.Ia menyambung kabel USB ke hard drive eksternal dan mulai menyalin seluruh log aktivitas selama seminggu terakhir. Waktunya mendatangi satu-satunya orang di kantor yang bisa membantunya membaca data ini lebih dalam, Nara, kepala tim IT.Nara mendengus pelan sambil menyisir rambut sebahunya ke belakang telinga. “Kamu tahu ini bisa dianggap pelanggaran protokol keamanan, kan? Aku bantu kamu aja u
Harika masih tertawa kecil ketika Alister menyesap air mineral dari gelasnya. “Kalau bukan karena ancaman pemecatan tadi, saya pasti bakal ngira ini date, loh, Pak.”Alister nyaris tersedak. “Date?”“Ya, maksud saya, kan kita makan berdua di rooftop, pemandangannya cakep, musiknya slow jazz, tinggal kurang lilin sama bunga aja,” gumam Harika sembari mengunyah es batu seperti tak sadar sudah melempar bom atom ke tengah suasana.Alister menatapnya tajam. “Harika.”“Ya?” Harika pura-pura polos, walau pipinya memerah.“Kalau ini date, kamu pasti udah dipecat,” sahut Alister datar.Harika langsung pura-pura tersinggung. “Kenapa, Pak? Karena saya terlalu cantik buat bos Bapak?”“Karena kamu tadi baru bilang mau jualan cilok dan minta aku jadi investor,” jawab Alister cepat, wajahnya tetap datar, tapi mata itu jelas sedang menahan tawa.Harika mendesah dramatis. “Dasar Pak CEO, mana ngerti kode. Padahal saya udah kasih sinyal kelas berat barusan.”Alister menatapnya, matanya menyipit pelan.
Alister mengangkat alis, tatapannya turun ke arah kantong plastik bening yang Harika letakkan di meja antara mereka. “Itu apa?”Harika menghela napas panjang, lalu menyodorkannya. “Permintaan spesial dari email Bapak, cilok favorit saya. Lengkap dengan saus kacang pedas, dua level di bawah sambel setan.”Alister menatapnya selama dua detik seolah tak percaya. “Kau benar-benar membawakannya?”“Ya ampun, Pak. Masa saya mau dihantui rasa bersalah seumur hidup karena CEO saya gagal makan cilok?” Harika menjawab sambil pura-pura dramatis.Mulut Alister sempat tersenyum kecil. Sekilas. Hampir tak terlihat, tapi Harika menangkapnya.Dia mengambil tusuk kayu dan menusuk satu cilok. “Kau tahu aku belum pernah makan ini seumur hidupku?”Harika membelalak. “APA? Wah, Pak Alister hidupnya kasihan banget, ya.”Alister mengabaikan komentar itu dan mulai mengunyah. Alisnya naik sedikit, seolah tak percaya bahwa kenyal-kenyal pedas itu enak.“Not bad,” gumamnya pelan.“Not bad? Cilok itu definisi keb