Harika tersenyum kecil. “Kecuali kamu mau kami buka rekamanmu di rooftop gedung ini, malam tadi, saat kamu menelepon seseorang dan bilang ‘proyek berhasil dijual dan uangnya sudah masuk’.”Celine mendadak pucat. “Kalian—kalian memata-matai aku?”Januar mengangkat ponselnya. “CCTV rooftop. Rekaman suara dan saksi. Sayangnya kamu terlalu percaya diri.”Alister berdiri.“Celine Margareta, kamu dinonaktifkan dari seluruh akses sistem perusahaan per detik ini. Tim hukum akan memproses pelaporan ke pihak berwenang,” ujarnya tegas. “Silakan keluar dari ruangan!"Celine masih berdiri di tengah ruangan, tubuhnya kaku, mata membara. Alister baru saja mengeluarkan perintah tegas, ia dinonaktifkan dari perusahaan dan akan diproses secara hukum. Namun, bukannya pergi, Celine menahan langkah. Ia mendengus tajam, kemudian berbalik dan menatap Alister dengan mata merah berair, karena amarah dan luka yang lama terpendam.“Jadi, begini akhirnya, ya?” suaranya gemetar namun keras. “Anda senang sekarang
Langit mulai gelap. Angin sore berembus kencang di atap gedung Ardiwijaya Grup. Harika berdiri, sementara Januar sibuk membuka laptop di atas bangku beton tua. “Cepat, Jan. Sebelum sinyal VPN kita terdeteksi,” bisik Harika cemas, matanya terus menatap pintu akses darurat. “Tenang, aku bukan anak magang lagi,” gumam Januar, jemarinya lincah mengakses file hasil penelusuran. Beberapa detik kemudian, layar laptop menampilkan halaman transaksi digital. Sebuah rekening anonim yang terhubung ke nama Celine A. Margareta, menunjukkan transfer masuk sebesar Rp 1,3 miliar dari sebuah perusahaan teknologi luar negeri—salah satu kompetitor utama proyek ArTech yang sedang dikembangkan Ardiwijaya Grup. Harika menahan napas. “Itu… itu transfernya.” Januar mengangguk. “Dan lihat ini. File log sistem. Celine mengakses server riset ArTech tiga kali dalam seminggu terakhir, padahal dia nggak punya izin masuk ke divisi itu.” Harika meremas tangan. “Dia jual rahasia perusahaan dan aku yang dijadikan
Harika baru saja selesai membuang cup es krim ke tempat sampah saat ponselnya bergetar.Pesan Masuk – Pak Alister.“Ke ruanganku sekarang. Kita harus ke ArTech Tower, lokasi proyek di pinggiran kota.”Harika menelan ludah. Bukan karena takut—oke, mungkin sedikit, tapi karena otaknya langsung memutar ulang adegan semalam seperti slide presentasi yang terlalu cepat. Ia buru-buru merapikan blazer, menyambar tablet kerjanya, lalu berjalan cepat menuju lift.Ruang CEO, Alister sedang memasukkan beberapa berkas ke dalam tas kulitnya ketika Harika masuk. “Kamu siap?”“Siap, Pak. Tapi, proyek ArTech Tower?” Harika mengernyit. “Bukannya itu masih dalam tahap struktur? Kita nggak jadwal tinjau lapangan hari ini, kan?”Alister menyampirkan jas di lengan dan menatapnya sekilas. “Justru karena tidak dijadwalkan, saya ingin lihat langsung. Ada laporan yang nggak sinkron dan kamu perlu lihat langsung cara kerja vendor lapangan.”Harika menahan komentar. Tentu saja. CEO perfeksionis selalu punya alas
Waktu terus berjalan, dan suasana nyaman itu akhirnya harus berakhir. Alister melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul 02.00 dini hari. Alister bangkit dari duduknya, menepuk pelan bahu Harika. "Harika, ini sudah terlalu larut. Kamu harus pulang."Harika mengangkat kepalanya dari bahu Alister, sedikit terkejut dengan perpindahan itu. Ia mengucek matanya yang masih terasa berat. "Eh, iya, Pak." Ia melirik laptopnya yang tertutup, teringat kembali pada pekerjaannya. "Tapi saya masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan." Lalu menatap Alister, kali ini lebih serius. “Makasih ya, Pak.”Alister menoleh. “Untuk?”“Untuk tetap jadi manusia di tengah semua formalitas kantor ini.”Alister tersenyum. “Kamu juga.”Beberapa detik mereka hanya diam. Diam yang nyaman. Hangat. Lalu Harika berdehem dan duduk tegak lagi, berusaha menjaga jarak seperti biasa, tapi Alister tak langsung menjauh. Malah menatapnya dengan lembut."Biar saya antar pulang saja. Kamu sudah terlalu lelah."Harika menggelen
Ia membuka pintu ruang VIP perlahan, masuk dengan langkah hati-hati. Printer masih menyala di pojok ruangan. Meja-meja rapi, tapi aroma parfum menyengat khas Celine masih tercium di udara. “Kenapa setiap tempat dia datangi kayak beauty counter mall, sih,” gerutu Harika sambil mencolokkan kabel ke printer. Lampu LED laptop menyala. Sistem terbuka. “Login log printer 2.08 AM koneksi eksternal. Dapat!” Harika menggigit bibir menahan kegembiraan. Lalu tiba-tiba ada suara langkah kaki. Mata Harika membelalak. Ia meraih ember pel dan cepat-cepat jongkok, pura-pura mengepel. Pintu terbuka pelan. “Eh? Ada yang masih bersih-bersih?” Suara wanita. Harika menunduk lebih dalam, menutup wajah dengan topi dan masker. “Lembur, Bu,” gumam Harika dengan suara dibuat serak. “Baru dapet jadwal shift malam.” Celine mendekat. Sepatunya berbunyi klik-klik-klik, high heels 12 cm kesayangan yang katanya “limited edition Milan Fashion Week”. Harika menahan napas. “Pastikan kamu bersihin printer itu j
Besok paginya, Harika muncul di pantry dengan senyum mengembang dan bungkusan besar di tangan. “Januar!” serunya ceria. Januar, yang sedang menikmati roti isi dan spreadsheet pajak, mendongak seperti rusa tertangkap lampu sorot. “Eh, Harika? Tumben pagi-pagi udah ceria kayak unicorn kena kafein.” “Karena aku bawa ini.” Ia membuka bungkusan—isi lima cup kopi spesial dari kafe mahal lantai dasar dan sekotak donat yang biasanya hanya muncul saat ulang tahun direksi. “Siapa yang kamu racuni hari ini?” tanya Januar curiga. “Kamu. Maksudku, bantu aku sedikit aja, ya? Please? Nggak bakal ngerepotin! Cuma butuh kamu lacak satu email jahat dan kemungkinan pelakunya.” Januar menatap donat, lalu kopi, lalu Harika, lalu donat lagi. “Kopi ini latte gula aren tiga shot espresso?” “Dua shot, tapi ada bonus senyuman manis dari aku,” ujar Harika sambil kedip sebelah. Januar menyerah. “Fine. Tapi kalau aku masuk lubang kelinci teknologi hitam karena kamu, setidaknya aku kenyang.” Dua jam kemud