Alister menahan napas. "Ayah, aku...." "Sudah cukup. Aku ingin kamu dan Adeline mengumumkannya secara resmi bulan depan. Keluarga besar akan hadir." "Ayah, dengarkan dulu...." "Kamu laki-laki, Alister dan laki-laki sejati menepati janji! Adeline menyelamatkanmu saat kamu hampir tenggelam di danau waktu kecil. Kau sendiri bilang akan menikahinya. Sekarang waktunya membayar budi!" Alister membeku. Suara Ayahnya semakin tegas. "Dia calon menantu yang sempurna bukan seperti sekretaris cerobohmu itu!" Ekspresi Alister berubah. Rahangnya mengeras. Matanya tajam, gelap. "Ayah, aku tidak mencintai Adeline." Tapi jawabannya hanya dijawab dengan napas kasar di ujung sambungan. "Kau tidak perlu mencintainya. Kau hanya perlu menghormati perjanjian keluarga dan membalas budi." Klik. Telepon diputus. Alister memejamkan mata. *** Malam itu di rumah keluarga Ardiwijaya, Tirtakusuma berdiri di ruang kerja pribadinya, mengenakan batik formal dan wajah yang tegas seperti ukiran batu. "Kau bahk
Di balik tirai balkon yang sebagian terbuka, Adeline berdiri mematung. Matanya memicing, telinganya menangkap jelas setiap kata yang dilontarkan oleh Gayatri dan Alister. Awalnya ia hanya ingin mencari udara segar, tapi kemudian langkahnya membeku saat mendengar namanya disebut, lalu nama Harika. Urat di lehernya menegang, napasnya dangkal. Saat Gayatri mengatakan "Harika itu bukan tipe wanita yang akan menunggu terlalu lama", seluruh tubuh Adeline menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, cekungan kuku menancap ke telapak tangannya. Sorot matanya tajam, nyaris bergetar menahan amarah. Ia bukan hanya kehilangan kendali atas tunangannya, ia kehilangan kendali atas permainan yang selama ini ia kuasai. Dengan cepat ia berbalik, gaun elegannya berkibar tertahan oleh angin malam. Ia berjalan penuh tekad menyusuri lorong menuju area belakang ballroom, di mana ia tahu Harika biasanya menyingkir dari keramaian. Harika sedang duduk di kursi tumpuk dekat troli katering, membuka s
Harika berdiri diam di lorong yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya bukan karena suhu ruangan, tapi karena perasaan yang menggantung di udara. Ia menatap punggung Alister yang semakin menjauh, langkahnya cepat, menyusul Adeline yang ‘pingsan’ di tengah gala dinner paling glamor tahun ini. "Ya udah, Harika," gumamnya pelan. "Balik ke kenyataan." Ia menyandarkan tubuh ke dinding sekali lagi, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kembali tak teratur. Beberapa menit berlalu dalam hening. Harika akhirnya kembali ke ballroom, mencoba tersenyum sopan ke tamu-tamu yang memperhatikannya, lalu menyelinap ke sisi ruangan yang sepi. Ia mengambil segelas air putih dan mencoba menyibukkan diri dengan mengecek ulang rundown acara di tablet kecilnya. Namun, pikirannya jauh dari daftar acara. Di sisi lain ballroom, Alister berdiri di samping ranjang lipat darurat di ruang medis kecil hotel. Adeline terbaring dengan mata terpejam dan tangan diletakkan manis di perut. Perawat yang memeri
Acara gala dinner malam itu berlangsung megah di ballroom hotel bintang lima milik Ardiwijaya Grup. Kristal gantung memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, para tamu dari Jepang dan Indonesia berseliweran dengan senyum formal dan gelas anggur di tangan. Harika, dengan gaun biru muda simpel berdiri di dekat meja hidangan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa berdetak lebih cepat sejak ia melihat Alister di sudut ruangan. Namun, jantungnya hampir copot saat melihat Adeline masuk. Wanita itu tampak seperti aktris di red carpet. Gaun putih gading dengan potongan elegan, rambut digelung anggun, dan senyum manis yang nyaris mematikan. Ia berjalan mendekat ke arah Alister yang sedang berbincang dengan CEO mitra Jepang. Tanpa ragu, Adeline menyentuh lengan Alister ringan dan membisikkan sesuatu. Alister menoleh dan tersenyum, sedikit kaku, tapi cukup terlihat hangat jika dilihat dari kejauhan. Harika langsung merasa seperti seseorang yang berdiri di luar jendela re
Begitu pintu ruang rapat itu tertutup rapat, Harika berdiri terpaku di depan mejanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah mencoba meredam gejolak di dalam dada yang semakin sulit dikendalikan. Ia menelan ludah, lalu duduk perlahan di kursinya. Suasana ruangan tampak sama seperti tadi pagi tertata, tenang, dan penuh berkas, tapi dalam dirinya tidak ada yang tenang. Ucapan Alister tadi seperti membuka kunci rahasia yang selama ini ia kunci rapat-rapat. "Kalau begitu setidaknya izinkan aku tetap ada, meski kamu menjauh." Harika menunduk, menatap tangannya sendiri. Jemarinya gemetar, karena ia tahu ia juga merasakannya. "Aku juga ngerasa ada yang hilang, Pak, tapi aku terlalu pengecut buat ngakuin itu duluan." Ia menghela napas dalam-dalam, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.Sejak Adeline datang dan percakapan mereka sore itu di rumah kontrakan, Harika memang sengaja menjaga jarak. Ia pikir, kalau ia menjauh semuanya akan kembali ke tempatnya. Ia kembali jadi sekretaris cerob
Alister menutup laptopnya perlahan. Matanya menatap ke luar jendela ke langit Jakarta yang mendung seperti pikirannya.Sudah hampir tiga jam sejak Harika tiba di kantor pagi tadi, dan selama itu pula suasana di antara mereka terasa berbeda. Dingin. Kaku. Kosong.Ia menyandarkan tubuh ke kursi kerja, menghela napas panjang sambil menatap ke arah pintu ruangan yang tertutup. Di balik pintu itu hanya berjarak beberapa langkah, Harika duduk di mejanya, tapi rasanya seperti dia berada di tempat yang sangat jauh. "Apa yang berubah?" gumamnya pelan.Biasanya Harika akan masuk dengan langkah cepat dan napas terengah-engah karena hampir terlambat, lalu mengoceh tentang betapa dia "dikhianati oleh alarm". Atau tentang sepatu hak yang bunyinya mirip tikus got berantem. Sekarang, Harika bahkan tidak menatapnya saat menjawab.Alister bangkit dari kursi, berjalan ke rak buku yang entah kenapa mendadak tidak menarik sama sekali. Tangannya menyentuh punggung buku, tapi pikirannya jauh dari halaman ma