Alarm ponsel Harika sudah berbunyi sejak satu jam lalu, tapi pemiliknya justru masih bergelung di balik selimut. Sinar matahari menembus celah gorden dan menyusup ke wajahnya dan tepat pukul 9:07 pagi, seekor ayam tetangga berkokok dengan nada tinggi yang menyebalkan."AKHH!!" Harika duduk tegak seperti baru saja tertarik dari mimpi buruk ke dunia nyata. Matanya membelalak ke arah jam dinding."YA AMPUN! Aku kesiangan! Kenapa nggak ada yang ingetin kalau hari Minggu tetap harus nyuci baju, nyapu, dan masak!"Ia berlari ke kamar mandi dengan sandal rumah sebelah kiri dan kanan yang tidak sama ukuran, rambut awut-awutan, dan daster penuh gambar alpukat. Saat menyikat gigi, ia memandangi wajahnya di cermin dan tiba-tiba bayangan semalam menyerbu masuk ke pikirannya. Kilatan lampu kapal pesiar. Alunan musik lembut. Wajah Alister yang temaram di bawah cahaya lilin."Aku mencintaimu, Harika."GUBRAK! Sikat giginya jatuh ke wastafel.Wajah Harika langsung memerah. "Ya Tuhan, dia bilang cinta
Langit malam di atas kapal pesiar Ventura semakin pekat dihiasi bintang-bintang yang malu-malu mengintip dari balik awan. Lampu-lampu kapal memantul di permukaan laut yang tenang, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di meja makan yang terletak di dek belakang kapal, Harika dan Alister duduk berhadapan.Harika tertawa kecil setelah menyesap mocktail-nya. "Kalau tahu bakal makan malam kayak gini, aku nggak bakal pakai sepatu yang bikin kaki lecet."Alister menatapnya, matanya lembut namun tegas. "Harika."Nada suaranya membuat Harika berhenti tertawa. Ia meletakkan gelasnya perlahan, mengangkat wajah dan menatap pria di hadapannya."Ya, Pak?""Anggap saja ini kencan pertama dan terakhir kita."Harika menatapnya berusaha mencari petunjuk bahwa itu hanya lelucon atau kalimat pengantar untuk sesuatu yang manis, tapi tatapan Alister terlalu serius."Mulai besok tidak akan ada lagi hubungan selain antara bos dan sekretaris. Kita harus kembali ke tempat kita semula," lanjut Alister pelan
Malam itu tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Cahaya senja menyapu langit pelabuhan saat Alister melangkah keluar dari mobilnya. Jas hitam pas badan membungkus tubuhnya sempurna, rambutnya tersisir rapi. Matanya menyapu kapal pesiar mewah bernama The Ventura yang bersandar dengan elegan di dermaga.Lampu-lampu keemasan memantul di permukaan air, menciptakan bayangan romantis yang terasa seperti setting sebuah kisah yang salah waktu. Alister naik ke dek kapal dengan langkah pasti. Ia disambut oleh seorang petugas dengan pakaian serba putih."Selamat malam, Tuan Alister. Anda tamu pertama yang datang."Alister hanya mengangguk singkat, matanya menyapu ruangan pesta yang telah dihias dengan nuansa putih dan emas, menandakan kemewahan khas keluarga Ranjaya. Meja-meja panjang dihiasi bunga lili putih, lilin-lilin aromaterapi mengambang di atas mangkuk kaca bening, tapi belum ada tanda-tanda Adeline ataupun para tamu lainnya dan kemudian terdengar langkah kaki. Alister berbalik.Harika
"Harika?"Suara Fenny dari HRD yang sedang berdiri di dejat meja resepsionis terdengar nyaris tak percaya saat gadis ceroboh itu melenggang masuk ke lobby utama dengan rok pensil, sepatu hak tiga senti yang tampaknya baru dibeli semalam dan ekspresi seperti baru menang undian."Selamat pagi dunia yang penuh fitnah dan kemenangan moral!" seru Harika dramatis, menjentikkan rambutnya ke belakang.Beberapa staf berhenti di tengah langkah, menatapnya dengan rasa penasaran dan gumaman pelan. Harika mendekat ke meja resepsionis sambil berbisik, "Eh, tadi malam ada keajaiban. Namaku bersih. Bersih, Fenny. Kaya piring selesai dicuci pake sabun lemon anti-bakteri."Fenny membuka mulut, lalu berkata, "Tapi kamu seharusnya masih....""Diliburkan? Itu seharusnya, tapi entah kenapa tadi pagi aku dapat email langsung dari Pak Direktur Utama. Katanya semua tuduhan dicabut. Nama baik dipulihkan dan aku boleh kembali kerja seperti biasa."Fenny masih bengong saat Harika mengedipkan mata penuh kemenanga
Malam hari di rumah besar keluarga Ardiwijaya, Alister membuka pintu ruang kerja ayahnya tanpa mengetuk. Tirtakusuma yang sedang membaca koran, mendongak. "Ada apa lagi, Alister?”"Jadi Ayah sengaja menjatuhkan Harika?" tanyanya tanpa basa-basi lagi. Alister belum puas dengan percakapan di telepon tadi sore."Aku melakukan apa yang perlu dilakukan agar kamu tidak menghancurkan masa depanmu sendiri!" bentak Tirtakusuma. "Perempuan itu hanya sekretarismu. Tidak layak jadi istrimu!"Alister menatap ayahnya, rahang mengeras. "Kalau begitu Ayah juga tidak layak mengatur hidupku."Sinar bulan mulai merayap ke dinding kaca yang tinggi, menyisakan bayangan putih pucat yang menari di antara rak-rak buku tua dan figura emas berbingkai lambang keluarga. Tirtakusuma duduk di kursi utama seperti biasa, tegak, dingin, penuh kendali. Di hadapannya, Alister berdiri dengan rahang mengeras dan tangan mengepal."Ayah akan mebersihkan nama Harika," ucap Tirtakusuma mantap, menyandarkan diri ke kursi, lal
Ruang kerja Alister.Layar monitornya menampilkan dokumen dan log akses sistem internal. Januar berdiri di depan meja, memaparkan temuannya."Seperti perintah Bapak, saya lacak semuanya."Alister menatap layar dengan tajam."Siapa yang terakhir mengakses data?""Login atas nama Harika, tapi lokasi aksesnya dari IP eksternal, di luar jam kerja dan bukan dari perangkat yang biasa digunakan. Saya sudah cocokkan, itu bukan laptopnya Harika.""Berarti ada yang gunakan login dia?""Benar dan data itu dimasukkan oleh karyawan baru atas nama Geri, tapi yang lebih penting, Pak...." Januar menekan folder lain. "Data itu di-approve oleh salah satu staf freelance di divisi legal. Tanda tangannya resmi, tapi bukan sembarang orang."Alister berdiri. "Siapa?""Anna Dewanti."Alister langsung diam. Matanya menajam, tapi Januar belum selesai."Dan Pak...." Ia menyerahkan berkas tambahan. "Dokumen persetujuan proyek yang jadi sumber laporan yang berisi pengesahan paling akhir diteken langsung oleh Tirt