Alister langsung menghubungi Harika. Begitu suara lembut gadis itu terdengar, ia langsung bertanya, "Kamu baik-baik saja?"Harika menelan ludah. "Baik," jawabnya cepat, meskipun matanya masih sembab."Jangan bohong!" Suara Alister rendah tapi tegas. "Aku baru saja nonton beritanya. Aku percaya padamu. Besok kau tidak perlu ke kantor. Ayahku sudah memecatmu lebih baik kau tetap di rumah bersama orang tuamu dulu."Harika mengangguk, meski ia tahu Alister tidak bisa melihatnya. "Mengerti.""Harika," suara Alister sedikit melembut. "Aku janji akan mencari tahu kebenarannya."Setelah sambungan terputus, Harika menarik napas panjang.Harika meletakkan ponsel di meja, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa seperti memukul-mukul dadanya dari dalam. Ia memejamkan mata sejenak, berharap bisa menghapus rasa nyeri di kepala dan sesak di dada.Namun, seperti biasa naluri konyolnya muncul di saat yang tidak tepat. Ia berdiri dan bergegas ke dapur, berniat membuat mie instan, karena menu
Ponsel Harika kembali berbunyi, kali ini dari nama yang membuat matanya sedikit berbinar, Fenny."Harika, aku baru lihat berita." Suara Fenny di ujung telepon terdengar cemas. "Aku nggak percaya semua omong kosong itu. Aku kenal kamu. Kamu nggak mungkin sekejam itu."Harika mengedip cepat menahan air mata. "Fenny, terima kasih! Kalau aku nggak sedang duduk, mungkin aku sudah jatuh karena lega dengar itu."Fenny terkekeh tipis, mencoba meringankan suasana. "Jangan drama, nanti orang rumah kaget Yang penting kamu kuat ya."Harika mengusap hidungnya. "Tenang, aku kuat kok. Aku bahkan mau bikin es teh di tengah hujan supaya flu ini dapat teman."Tawa kecil Fenny pecah. "Kamu memang Harika dan tidak berubah."Harika tersenyum kecil. "Kalau aku berubah, nanti kamu susah kenal aku lagi."Fenny terdiam sejenak di ujung sana, lalu suaranya terdengar lebih lembut. "Harika, dengar aku baik-baik! Apapun yang mereka bilang di TV, itu nggak akan mengubah cara aku lihat kamu. Kamu tetap Harika yang
Suara televisi di ruang keluarga terdengar samar, awalnya hanya menjadi latar dari obrolan santai Ratih dan Yudhistira sambil menyeruput teh pagi. Harika duduk di sofa, jemarinya memainkan remote, mencari saluran berita. Tiba-tiba layar menampilkan headline besar berwarna merah."Kasus Panti Asuhan Cempaka 15 Tahun Lalu. Pelaku Diduga Harika Putri Ayyara"Gambar yang muncul berikutnya membuat napas Harika tercekat, foto lamanya saat berusia sekitar 10 tahun diambil di depan panti asuhan dengan mata sayu dan rambut acak-acakan.Ratih spontan menegakkan tubuh. "Astaga, ini apa-apaan?!"Yudhistira memegang bahu istrinya, tapi sorot matanya gelap menatap layar. Reporter di televisi mulai membacakan kronologi, suara tenangnya justru membuat kata-kata itu terdengar seperti palu godam."Berdasarkan dokumen dan kesaksian baru yang diterima redaksi, sumber menyebutkan bahwa seorang anak perempuan bernama Harika Putri Ayyara adalah pelaku insiden tragis yang menewaskan dua penghuni Panti Asuhan
"Kalau Erwin benar-benar berniat melukai Harika, aku tidak akan tinggal diam.""Alister." Reza mencoba menahan, tapi Alister sudah berbalik, langkahnya cepat menuju pintu.Gerimis yang mengguyur Menteng terasa dingin, tapi dada Alister jauh lebih dingin. Di dalam kepalanya, Erwin, pria yang kini ia tahu bukan sekadar pegawai bermuka manis. Mobilnya melaju menembus malam, lampu jalan berganti cepat di kaca depan. Jauh di lubuk hati ada amarah yang perlahan berbaur dengan rasa takut. Bukan hanya karena Erwin menyimpan dendam, tapi karena Harika sama sekali tidak tahu bahwa masa lalunya kini menjadi senjata yang diarahkan padanya.Keesokan paginya, Harika meneguk susu hangatnya perlahan. Pikirannya masih mengawang pada ucapan ibunya kemarin. Adeline menginap di kamarnya."Apa Adeline bilang sesuatu ke Ibu?" tanya Harika akhirnya.Ratih menggeleng. "Tidak banyak hanya bertanya tentang masa kecilmu. Panti asuhan itu dia sebut-sebut. Ibu pikir dia hanya ingin tahu saja, tapi kami tidak memb
Pagi harinya, aroma roti panggang dan telur orak-arik menyambut Harika ketika ia turun ke lantai bawah. Dingin Bandung menyelinap dari sela jendela, tapi kehangatan dari meja makan cukup membuat suasana jadi lebih nyaman.Yudhistira duduk membaca koran sambil menyeruput kopi dan Ratih sedang menuang susu ke gelas Harika."Selamat pagi!" sapa Ratih sambil tersenyum lembut."Pagi, Bu, Pa," sahut Harika sambil menarik kursi dan duduk."Kamu tidur nyenyak?" tanya Yudhistira, menurunkan koran."Lumayan. Banyak pikiran sih, tapi kayaknya aku lebih tenang."Ratih menyodorkan piring berisi roti dan telur. "Makan yang banyak. Kamu pasti capek setelah perjalanan kemarin."Harika mulai menyantap sarapannya, matanya melirik ibunya yang duduk di hadapannya. Ada sesuatu yang belum terucap dari sorot matanya."Ada yang mau Mama omongin," ujar Ratih akhirnya, suaranya pelan nyaris seperti bisikan.Harika berhenti mengunyah. "Apa, Bu?"Ratih bertukar pandang sejenak dengan Yudhistira, lalu kembali men
Akhir pekan tiba dan Harika tahu satu-satunya cara agar pikirannya berhenti dihantui adalah menuntaskan misteri ini sendiri. Ia memesan tiket kereta pagi ke Bandung tanpa memberitahu siapa pun di kantor, bahkan Alister.Perjalanan terasa panjang meski hanya beberapa menit. Sepanjang jalan, Harika memandangi hujan yang turun perlahan di luar jendela kereta seperti kenangan yang kembali turun satu per satu.Setibanya di Bandung, udara lebih dingin dan segar dari Jakarta. Ia naik taksi menuju rumah orang tuanya di kawasan Dago Atas, tempat yang selalu terasa aman, tapi kali ini, ada ketegangan yang menyelinap dalam setiap langkah menuju pintu rumah.Ibunya, Ratih, membuka pintu. Wajahnya terkejut melihat Harika berdiri di ambang."Ka-kamu nggak bilang mau pulang," gumam Ratih.“Kalau aku bilang, Mama pasti akan bilang jangan," jawab Harika datar. "Aku butuh penjelasan. Sekarang."Ratih diam. Dari balik ruang tamu, Ayahnya, Yudhistira, muncul. "Harika?" suaranya pelan."Aku cari tahu tent