Share

Bab 7. Email maut Harika

Penulis: Miarosa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-21 11:39:20

Harika menghembuskan napas panjang di meja kerjanya. Setelah insiden dokumen nyasar ke wajah bos, ia merasa hidupnya semakin dekat ke jurang pemecatan.

“Oke, hari ini harus berjalan lancar. Tidak ada kekacauan. Tidak ada kesalahan. Tidak ada drama.”

Namun siapa yang bercanda? Harika dan hari yang berjalan lancar adalah kombinasi yang lebih mustahil daripada diet tanpa cheat day.

Pukul 07.30 pagi, Harika sudah tiba di kantor lebih awal, sesuatu yang sangat langka bagi dirinya.

Alister belum datang. Ini kesempatan emas untuk menyelamatkan reputasinya sebelum bosnya masuk dan mengungkit segala bencana yang ia ciptakan kemarin.

Langkah pertama, menjaga image sebagai sekretaris profesional.

Harika duduk tegak, menata dokumen dengan rapi, dan mulai menyesap kopi dengan anggun. Namun, baru dua teguk, pintu kaca utama tiba-tiba terbuka keras.

Seorang wanita tinggi, cantik, tapi menyebalkan masuk dengan penuh percaya diri.

“Harikaaaa! Aku datang!”

Harika hampir tersedak. “Apaan sih, Fenny?!”

Fenny mendekat dengan senyum lebar. “Gila, kau jadi selebriti di kantor! Katanya kemarin kau menempelkan dokumen ke muka Pak Alister?!”

Harika memejamkan mata. “Kenapa semua orang tahu?!”

Harika menyipitkan matanya. "Kamu merekam diam-diam rapat kemarin kan? Aku melihatnya."

Fenny tertawa puas. “Benar. Kau pikir bisa menyembunyikan sesuatu di kantor ini? Berita ini sudah masuk grup gosip internal!”

Harika menahan diri untuk tidak melempar buku ke kepalanya.

“Sudah, sudah! Aku hanya ingin bilang—”

Pintu lift berbunyi dan di situlah Alister keluar dari lift, setelan rapi, ekspresi dingin seperti biasa. Harika dan Fenny langsung diam.

Alister menatap mereka sebentar. “Kalian ini pagi-pagi sudah ribut.”

Fenny langsung menyeringai. “Selamat pagi, Pak Alister! Saya hanya sedang membicarakan bakat tersembunyi Harika dalam menciptakan kekacauan.”

Alister memandang Harika sejenak, lalu bergumam santai,

“Itu bukan bakat tersembunyi. Itu sudah jadi keahliannya.”

Harika membuka mulut ingin membantah, tapi yah mereka benar.

***

Hari ini, ia bertugas mengatur pertemuan penting antara Alister dan seorang pengusaha kaya bernama Pak Samuel Wijaya. Pertemuan ini sangat krusial untuk proyek baru perusahaan. Jadi, tidak boleh ada kesalahan. Dengan penuh percaya diri, Harika mengirim email konfirmasi ke Pak Samuel. Tugas selesai!

Namun, ketika waktunya pertemuan tiba, Alister mengerutkan kening. “Harika, kenapa Pak Samuel belum datang?”

Harika tersenyum canggung. “Eh, mungkin sedang di jalan, Pak.”

Tiba-tiba telepon berdering. Harika buru-buru mengangkatnya. “Halo, Pak Samuel?”

Di ujung sana, suara Pak Samuel terdengar kebingungan. “Harika? Saya sudah di lokasi, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?”

Harika mengerjap. “Bapak ada di mana?”

Pak Samuel terdengar makin bingung. “Di restoran mewah yang kau tulis di email, Hotel Arjuna.”

Detik itu juga, Harika hampir menjatuhkan ponselnya.

Astaga.

Harusnya pertemuan di Hotel Aryaduta, bukan Arjuna! Ia melirik Alister yang mulai menatapnya dengan kecurigaan.

Tersenyum canggung, Harika berkata, “Pak, mohon tunggu sebentar, ya. Saya akan mengurus ini.”

Lalu dengan cepat, ia mengakhiri panggilan dan mulai mencari cara untuk menyelamatkan nyawanya. Begitu menutup telepon, Harika menatap Alister dengan wajah panik seperti ayam kehilangan induk.

Alister mengangkat alis. “Apa yang terjadi?”

Harika menelan ludah. “Err sedikit kesalahan teknis?”

Alister menyipitkan mata. “Seberapa besar?”

Harika tertawa kecil, mencoba tetap tenang. “Nggak besar, sih cuma lokasi pertemuannya agak geser dikit?”

Alister mengerutkan kening. “Bergeser dikit?”

Harika akhirnya mengakui dosa besarnya. “Saya mengirimnya ke Hotel Arjuna bukan Aryaduta.”

Hening.

Alister memijat pelipisnya, seperti sedang menghitung kesabarannya.

“Harika.”

Harika menelan ludah lagi. “I-iya, Pak?”

“Cepat cari solusi sebelum aku kehilangan kesabaran.”

“Siap, Pak!” Harika langsung beraksi seperti agen rahasia yang nyaris ketahuan menyusup.

Setelah menghubungi Pak Samuel dan meminta maaf, Harika mengira semuanya sudah aman. Namun, seperti biasa, kenyataan berkata lain. Saat buru-buru mengatur ulang jadwal pertemuan, Harika tidak sadar telah menciptakan kekacauan baru.

Entah bagaimana, dalam dokumen yang ia buat, ia salah mengetik angka. Ia menulis pertemuan berlangsung pukul 10.00 malam, bukan 10.00 pagi dan ini baru ketahuan beberapa jam kemudian saat Alister membaca ulang dokumen itu.

Suara dingin Alister menggema di ruangan.

“Harika.”

Harika berbalik perlahan dengan senyum canggung. “Iya, Pak?”

Alister mengangkat dokumen dan menunjuk jadwal yang ia buat. “Ini jam berapa?”

Harika melirik sekilas. “Eh, 10.00… oh.…”

Wajahnya langsung pucat.

Alister menatapnya dengan ekspresi datar, tapi aura kehancuran sudah terasa. “Jadi kau pikir aku akan melakukan rapat bisnis jam 10 malam?”

Harika mengerjap. “Eeeeh mungkin kalau Bapak memang suka kerja lembur?”

Alister menghela napas panjang.

“Harika.”

“Ya?”

“Jangan bicara dulu sebelum aku benar-benar ingin memecatmu.”

Harika langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Saat Harika berusaha menenangkan diri, Fenny mengiriminya pesan.

Fenny: Gimana, Harika? Bos sudah ngamuk belum?

Harika mengetik balasan cepat.

Harika: Astaga, aku hampir dipecat. Aku salah kirim lokasi rapat dan salah ketik jam. Bos pasti mikir aku idiot. Aku yakin dia sudah berencana mengusirku dari kantor. Habis ini aku mungkin harus jualan cilok di pinggir jalan.

Setelah mengirim pesan itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Namun, satu detik kemudian notifikasi masuk dan detik itu juga, Harika merasa jiwanya meninggalkan raga. Pesan itu tidak terkirim ke Fenny. Pesan itu terkirim ke Alister.

Darahnya langsung surut.

MATI AKU.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 44. Aku Bukan Siapa-Siapa

    Harika mengangguk, sedikit kikuk, lalu mempersilakan Adeline masuk. Mereka duduk di ruang tamu kecil dengan karpet tipis dan kipas angin yang mengayun pelan di langit-langit. "Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Adeline sambil menatap sekeliling. "Iya, tapi aman kok," jawab Harika sambil menyuguhkan air putih. Setelah basa-basi sebentar, Adeline meletakkan gelas di meja dan menatap Harika lekat-lekat. "Aku langsung ke inti aja ya, Harika. Aku cuma mau tahu satu hal." Harika menelan ludah. "Apa itu?" "Kamu punya perasaan sama Alister?" Suasana langsung membeku. Harika terdiam, matanya berkedip cepat, lalu tertawa kecil yang jelas-jelas dipaksakan. "Lho kok nanyanya kayak gitu?" "Harika," potong Adeline. "Aku serius. Aku tahu kamu dekat sama dia. Kamu sering bersikap konyol, tapi aku bukan bodoh. Aku bisa lihat sesuatu dari cara dia mandang kamu." "B-bukan gitu, aku... aku cuma sekretarisnya. Lagian Pak Bos itu terlalu perfeksionis buat tipe aku. Aku mah sembarangan orangny

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 43. Sekretaris yang seharusnya jadi tunangan

    Alister membuka mulutnya, tampak hendak mengatakan sesuatu, namun sebelum sempat melanjutkan, Harika buru-buru menambahkan, “Tapi sebelumnya saya ke pantry dulu ya, Pak. Kayaknya saya butuh secangkir teh manis biar bisa hadapi dunia ini.” Tanpa menunggu jawaban, Harika melangkah keluar ruangan sambil terkekeh kecil, meninggalkan aroma bunga peony dari parfumnya yang ringan. Tak lama setelah pintu tertutup kembali, suara ketukan lain terdengar. Kali ini pelan dan penuh keraguan. "Masuk!" ujar Alister, masih menyesuaikan fokusnya kembali. Pintu terbuka perlahan. Adeline berdiri di sana, mengenakan blus putih dan rok abu panjang. Wajahnya pucat, namun matanya tampak lebih tenang daripada terakhir kali mereka bertemu. Alister langsung berdiri. "Adeline?" Adeline melangkah masuk. "Aku tahu seharusnya aku tidak ke sini tanpa janji dulu, tapi aku butuh bicara." Alister menunjuk kursi di hadapannya. "Silakan duduk!" Adeline duduk perlahan. Sejenak ia menatap meja, lalu berkata pelan, "

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 42. 0,2 Cm

    "Maaf, saya pembawa kekacauan," balas Harika, pura-pura serius. "Dan anehnya semua kekacauan yang kamu bawa justru bikin semuanya hidup."Harika melirik cepat, tapi tak berani terlalu lama menatapnya."Aku harusnya marah tadi," lanjut Alister pelan. "Tapi begitu lihat kamu teriak ‘meletus balon hijau dor!’ sambil jatuh, rasanya semua beban di kepala langsung hilang.""Apa Pak Alister baru saja bilang saya jadi semacam terapi stres perusahaan?"Alister mengangguk. "Yang mahal, langka, dan tidak tergantikan."Harika terdiam. Angin meniup rambutnya pelan. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan, merasa jantungnya mulai mengetuk pintu akal sehatnya lagi."Pak Alister.""Hmm?""Kalau semua orang punya versi terburuknya, saya kayaknya udah nunjukin semua versi saya ke Bapak."Alister menoleh padanya. Tatapannya lembut, namun tajam seperti biasa."Justru karena itu, aku jadi tahu siapa kamu tanpa topeng dan tahu apa yang aku rasakan."Harika menatap api, tidak berani menoleh. "Apa yang Bapak

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 41. Balon Meletus, Hatiku Ikut Pecah

    Sabtu pagi di lokasi gathering di Villa Ardiwijaya, kawasan PuncakVilla luas berarsitektur modern minimalis itu sudah ramai dengan staf. Halaman belakang menghadap langsung ke pegunungan berkabut, lengkap dengan taman hijau, area BBQ, dan panggung kecil. Suasana santai dan ceria menyambut seluruh karyawan Ardiwijaya Grup. Harika baru turun dari mobil jemputan sambil membawa dua totebag besar berisi perlengkapan acara dan satu bantal leher berbentuk ayam lucu. "AAAKKK!!" Tali totebag sebelah kanan putus. Sekantong keripik, kotak mic karaoke, dan bantal ayam kesayangan Harika berjatuhan di jalan masuk. Ia langsung panik memunguti barang-barangnya dengan gaya khas Harika—panik, heboh, dan setengah mengomel pada diri sendiri. "Ya ampun, ayamku kotor! Aku belum sempat cuci, kenapa nasibnya seperti cilok jatuh ke got?!" Fenny datang tergopoh-gopoh, tertawa sambil ikut membantu. "Kamu tuh emang bawa bala setiap kali acara kantor, tapi setidaknya kamu bawa hiburan gratis." "Saya bawa s

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 40. Antara Laporan Dan Latte

    Alister duduk di kursinya, membuka halaman demi halaman laporan, tapi konsentrasinya teralih. Ia mengingat ucapan ayahnya. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu, Alister." Lalu ia mengingat lagi senyum ceroboh Harika, tumpahan kopi yang sudah tak terhitung, dan semua gumaman sok berani yang malah terdengar lucu. Dia menghela napas. "Justru karena dia tidak cocok untuk siapa pun, dia jadi cocok untukku." Sementara itu, di kafetaria kantor, Fenny menyenggol bahu Harika yang sedang menyeruput teh tarik. "Jadi kamu sekarang udah bikin dua orang pingsan karena jatuh cinta, satu bos, satu vas." Harika menunduk ke meja. "Tolong, jangan ingatkan aku soal vas itu." "Tapi kamu sadar nggak, akhir-akhir ini Pak Alister makin posesif? Kayak waktu kamu ngobrol sama Mas Januar kemarin, ekspresi dia kayak pengen makan Januar pakai garpu." Harika langsung menutup muka dengan gelas. "Jangan mulai. Jangan mulai. Jangan mulai." Fenny mengaduk minumannya dengan ekspresi jahil. "Harika, ini serius. Ak

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 39. Lontong Di Sepatu Bos

    Sore hari Harika sedang menuang air panas ke gelas dan seperti biasa terlalu penuh sampai air meluap."Panas! Panas! Aduh, duh, duh, duh!" jeritnya sambil loncat-loncat kecil.Januar yang kebetulan lewat langsung mengulurkan tisu. "Kamu butuh pengawas pribadi sepertinya."Harika tertawa malu-malu. "Atau pelatihan dasar menyeduh teh."Di sudut ruangan, Alister sedang berdiri sambil memeriksa ponselnya, tapi matanya jelas-jelas memperhatikan Harika. Ia melihat tawa Harika yang entah kenapa selalu terasa istimewa dan tawa itu bukan untuknya.Beberapa detik kemudian, ia langsung berjalan menghampiri mereka."Harika!" panggilnya tiba-tiba.Harika menoleh cepat, hampir menjatuhkan gelas. "Ya, Pak?""Mulai minggu depan, kamu ikut saya dalam semua pertemuan dengan investor. Termasuk konferensi pers dan kunjungan proyek di luar kota."Harika mengedip. "Eh? Tapi saya belum pernah....""Anggap ini bagian dari promosi informal. Saya ingin kamu belajar lebih banyak."Januar hanya tersenyum kecil,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status