Harika menghembuskan napas panjang di meja kerjanya. Setelah insiden dokumen nyasar ke wajah bos, ia merasa hidupnya semakin dekat ke jurang pemecatan.
“Oke, hari ini harus berjalan lancar. Tidak ada kekacauan. Tidak ada kesalahan. Tidak ada drama.” Namun siapa yang bercanda? Harika dan hari yang berjalan lancar adalah kombinasi yang lebih mustahil daripada diet tanpa cheat day. Pukul 07.30 pagi, Harika sudah tiba di kantor lebih awal, sesuatu yang sangat langka bagi dirinya. Alister belum datang. Ini kesempatan emas untuk menyelamatkan reputasinya sebelum bosnya masuk dan mengungkit segala bencana yang ia ciptakan kemarin. Langkah pertama, menjaga image sebagai sekretaris profesional. Harika duduk tegak, menata dokumen dengan rapi, dan mulai menyesap kopi dengan anggun. Namun, baru dua teguk, pintu kaca utama tiba-tiba terbuka keras. Seorang wanita tinggi, cantik, tapi menyebalkan masuk dengan penuh percaya diri. “Harikaaaa! Aku datang!” Harika hampir tersedak. “Apaan sih, Fenny?!” Fenny mendekat dengan senyum lebar. “Gila, kau jadi selebriti di kantor! Katanya kemarin kau menempelkan dokumen ke muka Pak Alister?!” Harika memejamkan mata. “Kenapa semua orang tahu?!” Harika menyipitkan matanya. "Kamu merekam diam-diam rapat kemarin kan? Aku melihatnya." Fenny tertawa puas. “Benar. Kau pikir bisa menyembunyikan sesuatu di kantor ini? Berita ini sudah masuk grup gosip internal!” Harika menahan diri untuk tidak melempar buku ke kepalanya. “Sudah, sudah! Aku hanya ingin bilang—” Pintu lift berbunyi dan di situlah Alister keluar dari lift, setelan rapi, ekspresi dingin seperti biasa. Harika dan Fenny langsung diam. Alister menatap mereka sebentar. “Kalian ini pagi-pagi sudah ribut.” Fenny langsung menyeringai. “Selamat pagi, Pak Alister! Saya hanya sedang membicarakan bakat tersembunyi Harika dalam menciptakan kekacauan.” Alister memandang Harika sejenak, lalu bergumam santai, “Itu bukan bakat tersembunyi. Itu sudah jadi keahliannya.” Harika membuka mulut ingin membantah, tapi yah mereka benar. *** Hari ini, ia bertugas mengatur pertemuan penting antara Alister dan seorang pengusaha kaya bernama Pak Samuel Wijaya. Pertemuan ini sangat krusial untuk proyek baru perusahaan. Jadi, tidak boleh ada kesalahan. Dengan penuh percaya diri, Harika mengirim email konfirmasi ke Pak Samuel. Tugas selesai! Namun, ketika waktunya pertemuan tiba, Alister mengerutkan kening. “Harika, kenapa Pak Samuel belum datang?” Harika tersenyum canggung. “Eh, mungkin sedang di jalan, Pak.” Tiba-tiba telepon berdering. Harika buru-buru mengangkatnya. “Halo, Pak Samuel?” Di ujung sana, suara Pak Samuel terdengar kebingungan. “Harika? Saya sudah di lokasi, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?” Harika mengerjap. “Bapak ada di mana?” Pak Samuel terdengar makin bingung. “Di restoran mewah yang kau tulis di email, Hotel Arjuna.” Detik itu juga, Harika hampir menjatuhkan ponselnya. Astaga. Harusnya pertemuan di Hotel Aryaduta, bukan Arjuna! Ia melirik Alister yang mulai menatapnya dengan kecurigaan. Tersenyum canggung, Harika berkata, “Pak, mohon tunggu sebentar, ya. Saya akan mengurus ini.” Lalu dengan cepat, ia mengakhiri panggilan dan mulai mencari cara untuk menyelamatkan nyawanya. Begitu menutup telepon, Harika menatap Alister dengan wajah panik seperti ayam kehilangan induk. Alister mengangkat alis. “Apa yang terjadi?” Harika menelan ludah. “Err sedikit kesalahan teknis?” Alister menyipitkan mata. “Seberapa besar?” Harika tertawa kecil, mencoba tetap tenang. “Nggak besar, sih cuma lokasi pertemuannya agak geser dikit?” Alister mengerutkan kening. “Bergeser dikit?” Harika akhirnya mengakui dosa besarnya. “Saya mengirimnya ke Hotel Arjuna bukan Aryaduta.” Hening. Alister memijat pelipisnya, seperti sedang menghitung kesabarannya. “Harika.” Harika menelan ludah lagi. “I-iya, Pak?” “Cepat cari solusi sebelum aku kehilangan kesabaran.” “Siap, Pak!” Harika langsung beraksi seperti agen rahasia yang nyaris ketahuan menyusup. Setelah menghubungi Pak Samuel dan meminta maaf, Harika mengira semuanya sudah aman. Namun, seperti biasa, kenyataan berkata lain. Saat buru-buru mengatur ulang jadwal pertemuan, Harika tidak sadar telah menciptakan kekacauan baru. Entah bagaimana, dalam dokumen yang ia buat, ia salah mengetik angka. Ia menulis pertemuan berlangsung pukul 10.00 malam, bukan 10.00 pagi dan ini baru ketahuan beberapa jam kemudian saat Alister membaca ulang dokumen itu. Suara dingin Alister menggema di ruangan. “Harika.” Harika berbalik perlahan dengan senyum canggung. “Iya, Pak?” Alister mengangkat dokumen dan menunjuk jadwal yang ia buat. “Ini jam berapa?” Harika melirik sekilas. “Eh, 10.00… oh.…” Wajahnya langsung pucat. Alister menatapnya dengan ekspresi datar, tapi aura kehancuran sudah terasa. “Jadi kau pikir aku akan melakukan rapat bisnis jam 10 malam?” Harika mengerjap. “Eeeeh mungkin kalau Bapak memang suka kerja lembur?” Alister menghela napas panjang. “Harika.” “Ya?” “Jangan bicara dulu sebelum aku benar-benar ingin memecatmu.” Harika langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Saat Harika berusaha menenangkan diri, Fenny mengiriminya pesan. Fenny: Gimana, Harika? Bos sudah ngamuk belum? Harika mengetik balasan cepat. Harika: Astaga, aku hampir dipecat. Aku salah kirim lokasi rapat dan salah ketik jam. Bos pasti mikir aku idiot. Aku yakin dia sudah berencana mengusirku dari kantor. Habis ini aku mungkin harus jualan cilok di pinggir jalan. Setelah mengirim pesan itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Namun, satu detik kemudian notifikasi masuk dan detik itu juga, Harika merasa jiwanya meninggalkan raga. Pesan itu tidak terkirim ke Fenny. Pesan itu terkirim ke Alister. Darahnya langsung surut. MATI AKU.Gerbang besar itu terbuka, seorang pria berjas hitam yang wajahnya terlihat tegas dan dewasa keluar menyambut. "Pak Alister?"Alister menoleh. "Erwin."Pria itu tersenyum tipis. “Saya sudah menunggu Anda.""Kenpa kamu bisa tahu ini rumah Harika?" Nada suara Alister ada rasa tidak suka karena Erwin lebih tahu tentang keluaga Harika."Semasa kami kecil, saya pernah diundang ke sini, jadi aku tahu."Alister mengangguk mengerti. Begitu masuk ke ruang tamu, ia langsung disambut Ratih, Rendra, Yudhistira, dan Kakek Gunawan. Wajah mereka semua tegang, jelas-jelas cemas karena Harika yang menghilang."Selamat malam, Pak Alister!" Ratih menyapa dengan suara bergetar. Alister mengangguk dalam, suaranya berat. "Saya sudah dengar dari Erwin, karena itu saya langsung datang. Saya ingin membantu menemukan Harika."Ayahnya Harika menatap Alister lekat-lekat. "Terima kasih! Harika sudah banyak bercerita tentang Anda, tapi sebelum itu mungkin ada sesuatu yang perlu Anda tahu."Alister terdiam. Jantu
Harika menempelkan pipinya ke kaca jendela gudang kosong tempat Adeline mengurungnya. Ia bergumam lirih sambil mengembungkan pipi, "Ya ampun, ini kayak film thriller tapi versi low budget. Mana aku jadi pemeran utama yang nggak dikasih naskah."Pintu berderit, Adeline masuk sambil membawa segelas air. Senyumnya tampak manis, tapi tatapannya menusuk."Kamu pikir bisa lolos dariku, Harika?"Harika langsung cengar-cengir, "Eh, lolos? Siapa juga yang mau lolos. Aku mah lagi staycation. Tuh, lihat!" Ia menunjuk lantai berdebu, "Ini kayak karpet hotel bintang minus lima."Adeline menyipitkan mata. "Kamu selalu bisa membuat orang lain tertipu dengan kelakuan bodohmu."Harika mendecak, pura-pura tersinggung. "Bodoh? Halo, Mbak, ini namanya improvisasi. Kalau aku nggak bodoh, mana bisa bikin orang bingung?"Adeline menghampiri lebih dekat, wajahnya tegang. Harika pura-pura ketakutan, lalu ia tiba-tiba bersin keras. hachiii! Hingga air di gelas Adeline muncrat ke bajunya sendiri."Ya ampun, ba
Alister duduk di ruang tamu rumah besar keluarganya. Hujan gerimis di luar membuat suasana semakin muram. Di depannya, Tirtakusuma, ayahnya, duduk dengan wajah serius, sementara ibunya, menatap penuh tanya. "Ada apa kau datang malam-malam begini, Alister?" suara Tirtakusuma dalam dan mengandung nada ketidakpercayaan. Alister menarik napas panjang. "Aku datang bukan sekadar untuk bicara. Aku ingin kalian tahu kebenaran tentang Adeline." Gayatri berkerut. "Adeline? Apa maksudmu?" Alister mengeluarkan map cokelat besar dari tasnya dan meletakkannya di meja. Tangan ayah dan ibunya refleks menoleh pada map itu. "Adeline bukan seperti yang kalian kira," ucapnya dengan tegas. "Dialah yang menyebabkan dua anak panti itu meninggal. Semua bukti ada di sini. Dia juga mengidap skizofrenia, tapi dia membalikkan fakta, membuat semua orang percaya bahwa justru Harika yang punya penyakit itu." Gayatri langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Tidak mungkin." Tirtakusuma menggeleng pelan,
Ratih menggenggam erat ponselnya yang kini terasa seperti batu. Nafasnya memburu, matanya mencari-cari ke luar jendela, berharap Harika tiba-tiba muncul sambil membawa kantong belanjaan. "Aku nggak bisa duduk diam," katanya lirih Ia meraih jaketnya. "Rendra, ayo kita keliling komplek, tanya orang-orang mungkin ada yang lihat Harika lewat." Rendra langsung mengangguk. "Aku ikut. Kita pisah jalan biar lebih cepat." Kakek Gunawan menahan tongkatnya kuat-kuat, wajah tuanya tegang. "Aku juga ikut. Jangan larang aku! Harika cucuku dan aku tidak akan tinggal diam di rumah menunggu kabar." Ratih sempat ingin membantah, tapi melihat sorot mata keras ayahnya, ia urung. "Baik, tapi jangan jauh-jauh dari aku." Mereka berempat keluar rumah dalam keadaan setengah berlari. Hujan tipis mulai turun, menyisakan aroma tanah basah. Ratih berkeliling dan bertanya pada salah satu warga di sana. "Bu, lihat Harika lewat nggak?" tanyanya kepada seorang ibu yang sedang menyapu teras. Ibu itu menggeleng.
Harika mencoba menghela napas panjang. Semua orang di rumah tampak lebih tenang setelah pesan itu datang, tapi ia justru merasa sebaliknya. Jantungnya tak pernah berhenti berdebar."Aku sebentar ke mini market ya, cuma beli permen sama susu. Nggak lama kok," katanya sambil meraih jaket tipisnya.Ibunya refleks menatap tajam. "Harika, apa nggak bisa nanti saja?"Harika memaksakan senyum. "Kalau aku cuma diam di rumah, kepalaku bisa pecah, Bu. Aku butuh udara segar."Akhirnya dengan berat hati, ibunya mengangguk. Harika keluar, menutup pintu perlahan. Udara pagi masih lembap sisa hujan semalam. Jalanan sepi hanya suara motor sesekali melintas. Ia berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri.Mini market hanya berjarak dua gang. Namun baru setengah jalan, sebuah mobil hitam melaju perlahan dari arah belakang. Harika sempat melirik, tapi tidak curiga. Mobil itu berhenti tepat di sisinya."Harika!"Seseorang dari dalam mobil membuka pintu belakang. Sebelum Harika sempat menoleh sepenuhnya, kai
Malam itu rumah terasa berbeda. Sunyi, tapi sarat ketegangan. Harika masih duduk di samping ibunya, sementara Pak Gunawan menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi rintik hujan. Ayahnya mondar-mandir dan tak bisa duduk diam.“Kita tidak bisa hanya menunggu,” ucap ayahnya akhirnya. “Besok aku ikut, titik. Kalau dia macam-macam, aku tahu harus bagaimana."“Tapi kalau kita datang beramai-ramai, dia bisa curiga," kata Harika pelan. "Pesannya jelas aku harus sendirian.""Sendirian!" Pak Gunawan menggebrak tongkatnya ke lantai. "Adeline sudah keterlaluan. Kalau kau ke sana sendirian, itu sama saja kau menyerahkan diri. Tidak akan kubiarkan cucuku masuk ke sarang harimau."Harika menggigit bibirnya. Air matanya sudah kering, tapi matanya tetap merah. "Aku juga nggak mau sendirian. Aku takut," suaranya pecah.Ibunya kembali memeluknya erat. "Kamu nggak perlu menanggung ini sendirian. Kalau Adeline memang mau balas dendam, biar kita hadapi sama-sama."Namun Harika tahu yang paling dituju Ad