Share

Bab 8. Harika vs mesin fotokopi

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-05-14 10:18:05

Perlahan, ia menoleh ke meja Alister.

Pria itu sudah membaca pesannya dan sedang menatapnya dengan ekspresi campuran antara heran dan geli.

“Kau serius?”

Harika ingin menangis. Dengan panik, ia buru-buru mengetik pesan baru.

Harika: Pak, tolong abaikan pesan itu! Itu… um… pesan untuk, eh… riset karakter novel!

Alister mengetik balasan cepat.

Alister: Jadi kau pikir aku akan mengusirmu?

Harika berkeringat dingin.

Harika: T-tentu tidak, Pak! Saya hanya bercanda, hehehehe.

Alister hanya menatapnya sebentar sebelum kembali bekerja tanpa mengatakan apa-apa.

Harika kembali ke mejanya dan menempelkan wajah ke meja.

Kenapa aku begini?!

Harika baru saja akan menenggelamkan wajahnya ke keyboard ketika notifikasi baru masuk.

Alister: Kalau kamu jualan cilok, tolong kabari. Aku suka yang pakai saus kacang, sedikit pedas.

Harika nyaris meledak di tempat.

APA?!

Ia menatap layar ponselnya, lalu melirik pelan ke arah Alister yang masih mengetik serius seperti tidak terjadi apa-apa, tapi dari jarak segitu, Harika bisa bersumpah pria itu menyembunyikan senyum kecil.

Harika menganga. Apakah barusan Alister bercanda?

TIDAK MUNGKIN.

ALISTER ARDIWIJAYA. BERCANDA.

Sekretaris ceroboh itu nyaris lupa bernapas. Lalu, perlahan, pipinya mulai memerah.

Sepuluh menit kemudian, Fenny kembali muncul di mejanya sambil membawa dua cup boba dan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

“Aku dengar kamu salah kirim pesan ke Pak Alister?”

Harika hanya bisa menatapnya lelah.

“Bukan cuma salah kirim. Aku juga nyaris daftar jadi pedagang cilok dadakan.”

Fenny terkikik. “Dan reaksi bos bagaimana?”

Harika menyeruput bobanya dengan putus asa. “Dia balas pesan. Bilang mau beli cilokku.”

Fenny terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak hingga hampir tersedak. “Ya Tuhan, Harika, kamu mungkin sekretaris paling kacau seantero Ardiwijaya Grup, tapi entah bagaimana, kamu bikin bos yang terkenal dingin itu senyum.”

Harika mengernyit. “Dia nggak senyum.”

“Dia senyum,” kata Fenny yakin. “Percaya sama insting gosipku.”

Menjelang sore, saat Harika mulai sedikit tenang dan berpikir mungkin hari ini bisa ditutup tanpa ledakan lagi, tiba-tiba ada suara notifikasi masuk dari sistem email internal perusahaan.

SUBJEK: PENGUMUMAN

Kepada seluruh karyawan Ardiwijaya Grup,

Mulai hari ini, semua surat undangan dan penjadwalan pertemuan harus melalui sistem verifikasi ganda untuk menghindari kesalahan teknis.

Contoh kasus: insiden "Hotel Arjuna" pagi ini.

Harap menjadi perhatian.

Salam,

Alister A.

Harika membeku.

Nama Hotel Arjuna bahkan dicetak tebal.

Seluruh kantor membaca pengumuman itu. Tak lama kemudian, Fenny berdiri di belakang kursinya, membacakan keras-keras dengan nada dramatis seperti penyiar berita.

“Dan dengan ini, kesalahan Harika diabadikan dalam sejarah perusahaan. Mari kita beri tepuk tangan!”

Semua rekan di sekitar langsung tertawa, dan Harika hanya bisa menatap layar dengan pasrah. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah satu pesan pribadi di emailnya, dikirim langsung oleh Alister.

Harika,

Besok, tolong cek tiga kali sebelum mengirim email, tapi jangan stres. Setidaknya sekarang seluruh perusahaan tahu siapa bintangnya.

—A

Harika membacanya berkali-kali, lalu tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Mungkin, dia tidak akan dipecat secepat itu atau mungkin juga dia baru saja memenangkan perhatian orang yang paling sulit tersenyum di seluruh gedung dan itu lebih menegangkan daripada salah kirim lokasi rapat.

***

Pagi ini, Harika bangun dengan semangat baru.

“Hari ini aku harus menjadi sekretaris yang profesional! Tidak ada kesalahan, tidak ada kekacauan, dan tidak ada drama!”

Namun, semua orang tahu bahwa Harika dan hari yang berjalan mulus adalah dua hal yang tidak pernah bersatu.

Pukul 06.30 pagi, Harika sudah siap berangkat ke kantor. Biasanya, ia selalu terburu-buru, tapi kali ini ia ingin mengubah citranya sebagai sekretaris yang kompeten. Namun, di sinilah letak permasalahannya. Begitu ia melangkah keluar rumah dengan percaya diri, hujan deras turun tiba-tiba dan lebih parahnya lagi, Harika lupa membawa payung.

Opsi 1: Balik ke dalam dan ambil payung, tapi itu akan membuang waktu.

Opsi 2: Lari menerobos hujan ke halte bus dan berharap tidak berubah jadi ikan lele basah.

Sebagai wanita pemberani atau lebih tepatnya, malas balik ke dalam, Harika memilih opsi 2. Ia berlari sekencang mungkin ke halte bus. Sayangnya, di tengah jalan, ia menginjak sesuatu yang licin dan ia jatuh tergelincir dengan pose tidak elegan di tengah jalan.

Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat menatapnya kasihan. “Nak, kau baik-baik saja?”

Harika mendongak dengan air hujan menetes dari rambutnya. Harga dirinya sudah lenyap. Dengan senyum kaku, ia bangkit dan berkata, “Saya baik-baik saja, Bu hanya sedang menjalani hidup dengan penuh tantangan.”

Sampai di kantor, Harika merasa sangat bangga. Meskipun ia basah kuyup dan terlihat seperti kucing kehujanan, ia berhasil tiba tepat waktu. Namun, tantangan berikutnya sudah menunggunya.

Pagi ini, Alister membutuhkan beberapa dokumen penting untuk rapat. Harika dengan penuh semangat pergi ke ruang fotokopi untuk menggandakan berkas.

Sayangnya mesin fotokopi adalah musuh bebuyutannya. Setelah beberapa percobaan, tiba-tiba layar mesin menampilkan pesan.

ERROR: KERTAS MACET.

Harika mengerutkan kening. “Oh, cuma kertas nyangkut. Bisa diatasi!”

Dengan percaya diri, ia membuka bagian dalam mesin fotokopi dan mencoba menarik kertas yang tersangkut.

“AUWWW!”

Tangannya malah terjepit. Harika panik. Bagaimana cara melepaskan tangannya tanpa terlihat bodoh?!

Tepat saat itu, pintu ruang fotokopi terbuka dan seseorang masuk dan tentu saja, siapa lagi kalau bukan Alister. Mata pria itu langsung menangkap pemandangan Harika yang sedang berusaha menarik tangannya dari mesin fotokopi.

"Apa yang kamu lakukan?"

Miarosa

Hai! Hai! jatuh di jalan, basah kuyup, dan sekarang nyangkut di mesin fotokopi. Besok apa? Kebakar dispenser? Satu hal pasti, bersama Harika, chaos bukan kemungkinan—itu jaminan mutu. Nantikan bab selanjutnya, karena bersama Harika, setiap hari adalah potensi bencana.

| 3
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 96. Pelarian Manis Harika, Jatuh Ke Pelukan Bos

    Gerbang besar itu terbuka, seorang pria berjas hitam yang wajahnya terlihat tegas dan dewasa keluar menyambut. "Pak Alister?"Alister menoleh. "Erwin."Pria itu tersenyum tipis. “Saya sudah menunggu Anda.""Kenpa kamu bisa tahu ini rumah Harika?" Nada suara Alister ada rasa tidak suka karena Erwin lebih tahu tentang keluaga Harika."Semasa kami kecil, saya pernah diundang ke sini, jadi aku tahu."Alister mengangguk mengerti. Begitu masuk ke ruang tamu, ia langsung disambut Ratih, Rendra, Yudhistira, dan Kakek Gunawan. Wajah mereka semua tegang, jelas-jelas cemas karena Harika yang menghilang."Selamat malam, Pak Alister!" Ratih menyapa dengan suara bergetar. Alister mengangguk dalam, suaranya berat. "Saya sudah dengar dari Erwin, karena itu saya langsung datang. Saya ingin membantu menemukan Harika."Ayahnya Harika menatap Alister lekat-lekat. "Terima kasih! Harika sudah banyak bercerita tentang Anda, tapi sebelum itu mungkin ada sesuatu yang perlu Anda tahu."Alister terdiam. Jantu

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 95. Pelarian Tanpa Naskah

    Harika menempelkan pipinya ke kaca jendela gudang kosong tempat Adeline mengurungnya. Ia bergumam lirih sambil mengembungkan pipi, "Ya ampun, ini kayak film thriller tapi versi low budget. Mana aku jadi pemeran utama yang nggak dikasih naskah."Pintu berderit, Adeline masuk sambil membawa segelas air. Senyumnya tampak manis, tapi tatapannya menusuk."Kamu pikir bisa lolos dariku, Harika?"Harika langsung cengar-cengir, "Eh, lolos? Siapa juga yang mau lolos. Aku mah lagi staycation. Tuh, lihat!" Ia menunjuk lantai berdebu, "Ini kayak karpet hotel bintang minus lima."Adeline menyipitkan mata. "Kamu selalu bisa membuat orang lain tertipu dengan kelakuan bodohmu."Harika mendecak, pura-pura tersinggung. "Bodoh? Halo, Mbak, ini namanya improvisasi. Kalau aku nggak bodoh, mana bisa bikin orang bingung?"Adeline menghampiri lebih dekat, wajahnya tegang. Harika pura-pura ketakutan, lalu ia tiba-tiba bersin keras. hachiii! Hingga air di gelas Adeline muncrat ke bajunya sendiri."Ya ampun, ba

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 94. Kursi Reyot

    Alister duduk di ruang tamu rumah besar keluarganya. Hujan gerimis di luar membuat suasana semakin muram. Di depannya, Tirtakusuma, ayahnya, duduk dengan wajah serius, sementara ibunya, menatap penuh tanya. "Ada apa kau datang malam-malam begini, Alister?" suara Tirtakusuma dalam dan mengandung nada ketidakpercayaan. Alister menarik napas panjang. "Aku datang bukan sekadar untuk bicara. Aku ingin kalian tahu kebenaran tentang Adeline." Gayatri berkerut. "Adeline? Apa maksudmu?" Alister mengeluarkan map cokelat besar dari tasnya dan meletakkannya di meja. Tangan ayah dan ibunya refleks menoleh pada map itu. "Adeline bukan seperti yang kalian kira," ucapnya dengan tegas. "Dialah yang menyebabkan dua anak panti itu meninggal. Semua bukti ada di sini. Dia juga mengidap skizofrenia, tapi dia membalikkan fakta, membuat semua orang percaya bahwa justru Harika yang punya penyakit itu." Gayatri langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Tidak mungkin." Tirtakusuma menggeleng pelan,

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 93. Tawanan Yang Bikin Pusing

    Ratih menggenggam erat ponselnya yang kini terasa seperti batu. Nafasnya memburu, matanya mencari-cari ke luar jendela, berharap Harika tiba-tiba muncul sambil membawa kantong belanjaan. "Aku nggak bisa duduk diam," katanya lirih Ia meraih jaketnya. "Rendra, ayo kita keliling komplek, tanya orang-orang mungkin ada yang lihat Harika lewat." Rendra langsung mengangguk. "Aku ikut. Kita pisah jalan biar lebih cepat." Kakek Gunawan menahan tongkatnya kuat-kuat, wajah tuanya tegang. "Aku juga ikut. Jangan larang aku! Harika cucuku dan aku tidak akan tinggal diam di rumah menunggu kabar." Ratih sempat ingin membantah, tapi melihat sorot mata keras ayahnya, ia urung. "Baik, tapi jangan jauh-jauh dari aku." Mereka berempat keluar rumah dalam keadaan setengah berlari. Hujan tipis mulai turun, menyisakan aroma tanah basah. Ratih berkeliling dan bertanya pada salah satu warga di sana. "Bu, lihat Harika lewat nggak?" tanyanya kepada seorang ibu yang sedang menyapu teras. Ibu itu menggeleng.

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 92. Di balik senyum Adeline

    Harika mencoba menghela napas panjang. Semua orang di rumah tampak lebih tenang setelah pesan itu datang, tapi ia justru merasa sebaliknya. Jantungnya tak pernah berhenti berdebar."Aku sebentar ke mini market ya, cuma beli permen sama susu. Nggak lama kok," katanya sambil meraih jaket tipisnya.Ibunya refleks menatap tajam. "Harika, apa nggak bisa nanti saja?"Harika memaksakan senyum. "Kalau aku cuma diam di rumah, kepalaku bisa pecah, Bu. Aku butuh udara segar."Akhirnya dengan berat hati, ibunya mengangguk. Harika keluar, menutup pintu perlahan. Udara pagi masih lembap sisa hujan semalam. Jalanan sepi hanya suara motor sesekali melintas. Ia berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri.Mini market hanya berjarak dua gang. Namun baru setengah jalan, sebuah mobil hitam melaju perlahan dari arah belakang. Harika sempat melirik, tapi tidak curiga. Mobil itu berhenti tepat di sisinya."Harika!"Seseorang dari dalam mobil membuka pintu belakang. Sebelum Harika sempat menoleh sepenuhnya, kai

  • Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis   Bab 91. Langkah Yang Tertunda

    Malam itu rumah terasa berbeda. Sunyi, tapi sarat ketegangan. Harika masih duduk di samping ibunya, sementara Pak Gunawan menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi rintik hujan. Ayahnya mondar-mandir dan tak bisa duduk diam.“Kita tidak bisa hanya menunggu,” ucap ayahnya akhirnya. “Besok aku ikut, titik. Kalau dia macam-macam, aku tahu harus bagaimana."“Tapi kalau kita datang beramai-ramai, dia bisa curiga," kata Harika pelan. "Pesannya jelas aku harus sendirian.""Sendirian!" Pak Gunawan menggebrak tongkatnya ke lantai. "Adeline sudah keterlaluan. Kalau kau ke sana sendirian, itu sama saja kau menyerahkan diri. Tidak akan kubiarkan cucuku masuk ke sarang harimau."Harika menggigit bibirnya. Air matanya sudah kering, tapi matanya tetap merah. "Aku juga nggak mau sendirian. Aku takut," suaranya pecah.Ibunya kembali memeluknya erat. "Kamu nggak perlu menanggung ini sendirian. Kalau Adeline memang mau balas dendam, biar kita hadapi sama-sama."Namun Harika tahu yang paling dituju Ad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status