LOGINPerlahan, ia menoleh ke meja Alister.
Pria itu sudah membaca pesannya dan sedang menatapnya dengan ekspresi campuran antara heran dan geli. “Kau serius?” Harika ingin menangis. Dengan panik, ia buru-buru mengetik pesan baru. Harika: Pak, tolong abaikan pesan itu! Itu… um… pesan untuk, eh… riset karakter novel! Alister mengetik balasan cepat. Alister: Jadi kau pikir aku akan mengusirmu? Harika berkeringat dingin. Harika: T-tentu tidak, Pak! Saya hanya bercanda, hehehehe. Alister hanya menatapnya sebentar sebelum kembali bekerja tanpa mengatakan apa-apa. Harika kembali ke mejanya dan menempelkan wajah ke meja. Kenapa aku begini?! Harika baru saja akan menenggelamkan wajahnya ke keyboard ketika notifikasi baru masuk. Alister: Kalau kamu jualan cilok, tolong kabari. Aku suka yang pakai saus kacang, sedikit pedas. Harika nyaris meledak di tempat. APA?! Ia menatap layar ponselnya, lalu melirik pelan ke arah Alister yang masih mengetik serius seperti tidak terjadi apa-apa, tapi dari jarak segitu, Harika bisa bersumpah pria itu menyembunyikan senyum kecil. Harika menganga. Apakah barusan Alister bercanda? TIDAK MUNGKIN. ALISTER ARDIWIJAYA. BERCANDA. Sekretaris ceroboh itu nyaris lupa bernapas. Lalu, perlahan, pipinya mulai memerah. Sepuluh menit kemudian, Fenny kembali muncul di mejanya sambil membawa dua cup boba dan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Aku dengar kamu salah kirim pesan ke Pak Alister?” Harika hanya bisa menatapnya lelah. “Bukan cuma salah kirim. Aku juga nyaris daftar jadi pedagang cilok dadakan.” Fenny terkikik. “Dan reaksi bos bagaimana?” Harika menyeruput bobanya dengan putus asa. “Dia balas pesan. Bilang mau beli cilokku.” Fenny terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak hingga hampir tersedak. “Ya Tuhan, Harika, kamu mungkin sekretaris paling kacau seantero Ardiwijaya Grup, tapi entah bagaimana, kamu bikin bos yang terkenal dingin itu senyum.” Harika mengernyit. “Dia nggak senyum.” “Dia senyum,” kata Fenny yakin. “Percaya sama insting gosipku.” Menjelang sore, saat Harika mulai sedikit tenang dan berpikir mungkin hari ini bisa ditutup tanpa ledakan lagi, tiba-tiba ada suara notifikasi masuk dari sistem email internal perusahaan. SUBJEK: PENGUMUMAN Kepada seluruh karyawan Ardiwijaya Grup, Mulai hari ini, semua surat undangan dan penjadwalan pertemuan harus melalui sistem verifikasi ganda untuk menghindari kesalahan teknis. Contoh kasus: insiden "Hotel Arjuna" pagi ini. Harap menjadi perhatian. Salam, Alister A. Harika membeku. Nama Hotel Arjuna bahkan dicetak tebal. Seluruh kantor membaca pengumuman itu. Tak lama kemudian, Fenny berdiri di belakang kursinya, membacakan keras-keras dengan nada dramatis seperti penyiar berita. “Dan dengan ini, kesalahan Harika diabadikan dalam sejarah perusahaan. Mari kita beri tepuk tangan!” Semua rekan di sekitar langsung tertawa, dan Harika hanya bisa menatap layar dengan pasrah. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah satu pesan pribadi di emailnya, dikirim langsung oleh Alister. Harika, Besok, tolong cek tiga kali sebelum mengirim email, tapi jangan stres. Setidaknya sekarang seluruh perusahaan tahu siapa bintangnya. —A Harika membacanya berkali-kali, lalu tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Mungkin, dia tidak akan dipecat secepat itu atau mungkin juga dia baru saja memenangkan perhatian orang yang paling sulit tersenyum di seluruh gedung dan itu lebih menegangkan daripada salah kirim lokasi rapat. *** Pagi ini, Harika bangun dengan semangat baru. “Hari ini aku harus menjadi sekretaris yang profesional! Tidak ada kesalahan, tidak ada kekacauan, dan tidak ada drama!” Namun, semua orang tahu bahwa Harika dan hari yang berjalan mulus adalah dua hal yang tidak pernah bersatu. Pukul 06.30 pagi, Harika sudah siap berangkat ke kantor. Biasanya, ia selalu terburu-buru, tapi kali ini ia ingin mengubah citranya sebagai sekretaris yang kompeten. Namun, di sinilah letak permasalahannya. Begitu ia melangkah keluar rumah dengan percaya diri, hujan deras turun tiba-tiba dan lebih parahnya lagi, Harika lupa membawa payung. Opsi 1: Balik ke dalam dan ambil payung, tapi itu akan membuang waktu. Opsi 2: Lari menerobos hujan ke halte bus dan berharap tidak berubah jadi ikan lele basah. Sebagai wanita pemberani atau lebih tepatnya, malas balik ke dalam, Harika memilih opsi 2. Ia berlari sekencang mungkin ke halte bus. Sayangnya, di tengah jalan, ia menginjak sesuatu yang licin dan ia jatuh tergelincir dengan pose tidak elegan di tengah jalan. Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat menatapnya kasihan. “Nak, kau baik-baik saja?” Harika mendongak dengan air hujan menetes dari rambutnya. Harga dirinya sudah lenyap. Dengan senyum kaku, ia bangkit dan berkata, “Saya baik-baik saja, Bu hanya sedang menjalani hidup dengan penuh tantangan.” Sampai di kantor, Harika merasa sangat bangga. Meskipun ia basah kuyup dan terlihat seperti kucing kehujanan, ia berhasil tiba tepat waktu. Namun, tantangan berikutnya sudah menunggunya. Pagi ini, Alister membutuhkan beberapa dokumen penting untuk rapat. Harika dengan penuh semangat pergi ke ruang fotokopi untuk menggandakan berkas. Sayangnya mesin fotokopi adalah musuh bebuyutannya. Setelah beberapa percobaan, tiba-tiba layar mesin menampilkan pesan. ERROR: KERTAS MACET. Harika mengerutkan kening. “Oh, cuma kertas nyangkut. Bisa diatasi!” Dengan percaya diri, ia membuka bagian dalam mesin fotokopi dan mencoba menarik kertas yang tersangkut. “AUWWW!” Tangannya malah terjepit. Harika panik. Bagaimana cara melepaskan tangannya tanpa terlihat bodoh?! Tepat saat itu, pintu ruang fotokopi terbuka dan seseorang masuk dan tentu saja, siapa lagi kalau bukan Alister. Mata pria itu langsung menangkap pemandangan Harika yang sedang berusaha menarik tangannya dari mesin fotokopi. "Apa yang kamu lakukan?"Hai! Hai! jatuh di jalan, basah kuyup, dan sekarang nyangkut di mesin fotokopi. Besok apa? Kebakar dispenser? Satu hal pasti, bersama Harika, chaos bukan kemungkinan—itu jaminan mutu. Nantikan bab selanjutnya, karena bersama Harika, setiap hari adalah potensi bencana.
Acara lamaran akhirnya usai. Satu per satu tamu pamit, suasana rumah perlahan kembali tenang. Sisa gelas dan piring sudah ditumpuk di dapur, bunga-bunga hantaran masih tertata rapi di ruang tamu. Harika langsung lari ke kamarnya, lalu menenggelamkan wajahnya ke bantal. "YA TUHAH MALUUU! Kenapa aku bisa salah ambil kotak onde-onde segala tadi?!" gumamnya dengan suara teredam. Ia menggelundung di kasur, menarik selimut sampai kepala. "Udah kayak badut lamaran, bukan calon pengantin." Suara ketukan terdengar di pintu. "Harika, boleh aku masuk?" Suara itu jelas suara Alister. Harika sontak menegakkan tubuh, wajahnya panik. "Jangan! Jangan masuk dulu! Aku…aku masih trauma!" Pintu pelan-pelan terbuka. Alister tetap masuk dengan ekspresi tenang, tapi matanya penuh senyum yang ditahan. "Trauma? Gara-gara salah sebut nama calon mertua sendiri?" "Pak Alister!!" Harika menutupi wajah dengan bantal. "Jangan diingetin! Aku bisa mati konyol detik ini juga!" Alister berjalan mendekat, dud
Kakek Gunawan mendecak pelan, lalu tersenyum samar. "Akhirnya…." Ratih menoleh cepat. "Ayah tahu soal ini?" Kakek Gunawan mengangguk mantap. "Ya. Beberapa hari lalu aku sudah bicara dengan Tirtakusuma, ayah Alister. Kita sepakat, Harika memang seharusnya berjodoh dengan Alister bukan dengan Adeline." Semua mata langsung membelalak ke arahnya. Harika terperangah. "Kakek?! Jadi selama ini kakek udah atur semuanya di belakang aku?" Kakek Gunawan menghela napas panjang. "Bukan mengatur, menyambungkan yang memang sudah seharusnya. Kamu kira dulu aku diam saja melihat Adeline berusaha merebut tempatmu? Tidak. Aku sudah bicara pada orang tua Alister dan mereka akhirnya tahu bahwa yang pantas mendampingi dia bukan Adeline, tapi kamu." Yudhistira menatap istrinya serius. "Iya, dan itu artinya kita harus menyiapkan diri. Kalau Alister datang bersama keluarganya, ini bukan main-main. Mereka akan membawa rombongan besar." Harika mengangkat kedua tangannya panik. "Hah?! Rombongan besar? Jang
Harika menutup wajahnya dengan dua tangan. "Tolong! Aku nggak kuat lagi hari ini." Alister menoleh sebentar ke arah Fenny dan Januar, nadanya tetap datar. "Kalian terlalu berisik." "Eh, iya, iya, Pak!" Fenny cepat-cepat menarik Januar pergi sambil cekikikan. "Kami nggak ganggu lagi, sumpah. Aduh, tapi sumpah ini kayak drama Korea live action!" Tinggallah Harika yang masih menutupi wajahnya dan Alister yang berdiri di depannya. "Harika," suara Alister merendah hanya untuknya. "Aku serius dengan semua ucapanku." Harika membuka sedikit tangannya, menatap Alister dengan pipi merah merona. "Saya tahu, Pak, tapi jangan bikin saya deg-degan terus begini, saya bisa pingsan." Alister mendekat, lalu menunduk cukup rendah untuk berbisik. "Kalau kau pingsan, aku yang akan menangkapmu." Harika buru-buru menurunkan tangannya dari wajah. "Pak, jangan ngomong begitu, saya beneran bisa jatuh loh." Alister menatapnya lekat, lalu dengan tenang ia mengambil kursi dan duduk tepat di depanny
Suasana ruang rapat langsung meledak lagi. "WAAAAAHHH!!!" Semua staf berdiri, bertepuk tangan, bahkan ada yang bersiul heboh."Harika Putri Ayyara," suara Alister terdengar berat namun hangat, berbeda jauh dari nada galaknya saat rapat. "Aku ingin kau tahu di hadapan semua orang di sini, aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu. Kau satu-satunya yang bisa membuatku marah sekaligus bahagia dalam satu waktu.”Harika tertegun, matanya berkaca-kaca. "Pak, jangan bercanda, saya bisa pingsan di sini lho," suaranya pelan dan bergetar.Alister tersenyum tipis. "Aku tidak bercanda, Harika, jadi maukah kau menikah denganku?""TERIMA! TERIMA! TERIMA!" Suara teriakan karyawan makin heboh. Ada yang sampai menggedor meja, ada juga yang sudah histeris saking gemasnya.Harika mengerjap cepat, pipinya panas luar biasa. Tangannya menutup mulutnya, lalu perlahan ia menunduk menatap Alister yang masih berlutut. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan."Saya takut kalau ini mimpi. Kalau saya jawab iya teru
Senyum tipis terlukis di wajah keras Tirtakusuma. Ia mengangkat tongkatnya, mengetuk lantai sekali, lalu berkata dengan nada menggoda. "Aku kira kau akan berteriak lagi seperti biasanya, tapi rupanya kalau urusannya Harika, kau langsung jinak, ya?"Gayatri tertawa kecil menutup mulutnya, sementara Alister mendengus jengkel. "Ayah, jangan menggodaku seperti itu."Namun pipinya sendiri memanas sebuah reaksi yang membuat ibunya makin tersenyum lebar."Kalau begitu," ujar ibunya lembut, "Mungkin ini pertama kalinya kita benar-benar sepakat dalam urusan perjodohan, ya?"Alister menarik napas panjang, dadanya sekarang terasa lebih ringan. Ia memandang biodata Harika sekali lagi, lalu bergumam hampir tak terdengar."Sepertinya ini memang takdir."Namun kemudian ia menoleh pada ayahnya, tatapannya serius. "Ayah, boleh aku tahu, kenapa kalian menjodohkanku dengan Harika? Kenapa bukan orang lain? Aku perlu tahu alasannya."Ruangan hening sejenak. Tirtakusuma menundukkan wajahnya seakan mencari
Saat Harika sibuk membereskan berkas di mejanya, suara langkah cepat terdengar mendekat."Harikaaaa!"Belum sempat menoleh, Harika langsung dipeluk erat dari samping hampir saja ia terjungkal bersama kursinya kalau tidak cepat berpegangan ke meja."Woi, Fenny! Aku masih hidup, jangan dipeluk kayak boneka stress!" Harika protes sambil terkekeh, tapi matanya berkaca-kaca karena terharu.Fenny memeluknya lebih kencang. "Ya Tuhan, aku kangen banget sama kamu! Kamu nggak tahu selama kamu nggak ada di sini aku kayak kerja di kantor zombie. Semua orang kaku nggak ada yang bikin rame."Harika tersenyum lebar, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Tenang, sekarang aku balik. Aku siap bikin kamu nggak bisa kerja serius lagi tiap hari."Fenny mengusap air matanya lalu mendengus sambil tertawa. "Iya, iya. Aku bahkan sempat ngobrol sama printer saking sepinya, tau nggak?!"Harika langsung ngakak. "Astaga, printer? Terus jawabannya apa? ‘Tolong isi tinta’?!"Mereka berdua tertawa keras sampai beberap







