Investor mulai saling melirik. Beberapa tampak bingung, sementara yang lain menahan tawa dengan susah payah.
Perlahah sangat perlahan, Alister menoleh ke arah Harika. Tatapannya mengatakan, “Aku harap ini bukan ulahmu.” Harika ingin menghilang jadi butiran debu. Astaga, ini pasti file yang ia buat bersama Fenny kemarin! Kenapa bisa masuk ke laptop bos?! KENAPAAAA?! Alister menarik napas panjang, mencoba bersikap profesional. “Maafkan kesalahan teknis ini.” Tangannya bergerak cepat mencari file yang benar. Namun, slide kedua otomatis muncul. “Kenapa Bos Virgo Lebih Seram dari Polisi Tilang?” Investor mulai tertawa. SITUASI DARURAT. SIAGA SATU. INI KEBODOHAN LEVEL INTERNASIONAL. Harika langsung berdiri dengan panik. “PAK, SAYA AKAN PERBAIKI INI!” Dalam kepanikan luar biasa, ia meraih laptop Alister dan buru-buru menutup file itu. Tangannya gemetar saat membuka file presentasi yang benar. Namun, semua sudah terlambat. Investor kini tertawa terang-terangan. Beberapa bahkan menepuk meja sambil tertawa sampai bahunya naik-turun. Harika tersenyum canggung. “Hehehe Kesalahan teknis, Pak. Maklum, teknologi kadang suka bandel.” Alister tetap diam. Namun, auranya sudah seperti bos mafia yang baru kehilangan kesabaran. Harika menelan ludah. Dari sudut matanya, ia melihat Fenny dari luar ruangan. Wanita itu memegang ponsel, merekam dari celah pintu sambil nyengir puas. Astaga. Aku pasti dipecat setelah ini. Setelah insiden file presentasi maut, Harika berusaha menebus dosa dengan mengambil alih tugas sebagai moderator rapat. Sayangnya, nasib buruknya masih betah menempel. Saat hendak memperkenalkan para investor, ia membaca daftar nama di tangannya dengan percaya diri. “Selamat pagi, semuanya! Saya Harika, sekretaris Pak Alister. Hari ini kita menyambut tamu spesial dari perusahaan Johnson & Wang Group.” Ia tersenyum manis ke arah dua pria paruh baya yang duduk di depan. Namun, bukannya tersenyum balik, keduanya malah menatapnya seperti ia baru saja mengklaim diri sebagai ratu kerajaan asing. Alister berdeham pelan. “Harika.” Harika menoleh. “Ya, Pak?” Alister menatapnya datar. “Perusahaan mereka bukan Johnson & Wang Group.” Harika membelalakkan mata. “Bukan?” Alister mengerjapkan mata sekali, lalu berkata tegas, “Mereka dari Anderson Holdings.” Ruangan hening lagi. Investor mulai saling melirik. Harika ingin menggali lubang di karpet dan masuk ke dimensi lain. Astaga, bagaimana bisa aku salah nama perusahaan mereka?! Investor yang baru saja dipanggil “Pak Johnson” akhirnya tertawa kecil. “Yah, meskipun nama kami bukan Johnson & Wang, setidaknya kami merasa cukup dihormati.” Tawa pecah di ruangan. Harika tersenyum canggung. “Hahaha, iya, Bapak pasti cocok jadi Pak Johnson. Eh, maksud saya.…” Diam, Harika. Semakin banyak bicara, semakin dalam liang kuburmu. Sementara itu, Alister menutup mata sebentar, mungkin sedang menenangkan diri agar tidak melempar laptop ke kepalanya. Harika langsung menundukkan kepala. “Maaf, Pak. Saya akan lebih teliti lagi.” Alister hanya menghela napas panjang, seolah sedang mempertanyakan kenapa Tuhan memberinya sekretaris seperti ini. Setelah rapat selesai, Harika pikir ia bisa sedikit bernapas lega. Namun, hidupnya memang tidak bisa berjalan normal. Saat hendak mengambil tumpukan dokumen dari meja rapat, hak sepatunya tersangkut di kabel proyektor, lalu dalam hitungan detik, ia jatuh dengan dramatis, menjatuhkan semua dokumen dan laptop yang ada di tangannya. Bukan hanya itu. Kertas-kertas berhamburan ke segala arah. Laptop meluncur ke meja seperti seluncuran. Salah satu dokumen penting mendarat tepat di wajah Alister. Oh, Tuhan. Ambillah aku sekarang juga. Ruangan kembali sunyi. Investor menatap dengan ekspresi kaget sekaligus bingung. Alister? Diam. Sangat diam. Harika menatapnya dengan ekspresi ngeri. Ini… ini adalah akhir dari segalanya. Dengan perlahan, Alister mengambil kertas yang menempel di wajahnya, lalu meletakkannya di meja dengan tenang. Tatapannya lurus ke arah Harika. Harika menelan ludah. “P-Pak… saya….” Alister tidak berkata apa-apa. Ia hanya bangkit dari kursinya, menatap Harika sejenak, lalu berjalan keluar dari ruang rapat tanpa sepatah kata pun. Mampus. Beneran mampus. Investor akhirnya tertawa kecil. “Sepertinya Anda punya sekretaris yang sangat unik, Pak Alister.” Harika hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Setelah semua investor pergi, Harika kembali ke meja kerjanya dengan perasaan hancur berkeping-keping. Namun, sebelum ia bisa bernapas lega pintu ruangan Alister terbuka. “Harika.” Harika langsung menegang. Astaga, ini saatnya interogasi! Ia berdiri pelan dan masuk ke ruangan bosnya. Alister duduk di kursinya, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Duduk!" Harika menelan ludah dan duduk dengan hati-hati. Alister menatapnya lama, seolah sedang menimbang apakah akan memecatnya atau mengirimnya ke Mars. Lalu, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pria perfeksionis itu tersenyum kecil. Senyum yang sangat jarang muncul. “Tapi setidaknya rapat tadi jadi lebih menghibur dari biasanya.” Harika langsung menegakkan punggung. “Jadi Bapak tidak marah?” Alister menyesap kopinya. “Marah? Tentu saja marah, tapi mengingat kau adalah Harika, aku mulai berpikir kalau kekacauan adalah bagian dari paketnya.” Harika mengedip. “Paket apa?” Alister menggeleng. “Lupakan!" Harika tersenyum kecil. Mungkin dia tidak seburuk yang kupikirkan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti ia akan berhenti membuat kekacauan di hari-hari berikutnya."Maaf, saya pembawa kekacauan," balas Harika, pura-pura serius. "Dan anehnya semua kekacauan yang kamu bawa justru bikin semuanya hidup."Harika melirik cepat, tapi tak berani terlalu lama menatapnya."Aku harusnya marah tadi," lanjut Alister pelan. "Tapi begitu lihat kamu teriak ‘meletus balon hijau dor!’ sambil jatuh, rasanya semua beban di kepala langsung hilang.""Apa Pak Alister baru saja bilang saya jadi semacam terapi stres perusahaan?"Alister mengangguk. "Yang mahal, langka, dan tidak tergantikan."Harika terdiam. Angin meniup rambutnya pelan. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan, merasa jantungnya mulai mengetuk pintu akal sehatnya lagi."Pak Alister.""Hmm?""Kalau semua orang punya versi terburuknya, saya kayaknya udah nunjukin semua versi saya ke Bapak."Alister menoleh padanya. Tatapannya lembut, namun tajam seperti biasa."Justru karena itu, aku jadi tahu siapa kamu tanpa topeng dan tahu apa yang aku rasakan."Harika menatap api, tidak berani menoleh. "Apa yang Bapak
Sabtu pagi di lokasi gathering di Villa Ardiwijaya, kawasan PuncakVilla luas berarsitektur modern minimalis itu sudah ramai dengan staf. Halaman belakang menghadap langsung ke pegunungan berkabut, lengkap dengan taman hijau, area BBQ, dan panggung kecil. Suasana santai dan ceria menyambut seluruh karyawan Ardiwijaya Grup. Harika baru turun dari mobil jemputan sambil membawa dua totebag besar berisi perlengkapan acara dan satu bantal leher berbentuk ayam lucu. "AAAKKK!!" Tali totebag sebelah kanan putus. Sekantong keripik, kotak mic karaoke, dan bantal ayam kesayangan Harika berjatuhan di jalan masuk. Ia langsung panik memunguti barang-barangnya dengan gaya khas Harika—panik, heboh, dan setengah mengomel pada diri sendiri. "Ya ampun, ayamku kotor! Aku belum sempat cuci, kenapa nasibnya seperti cilok jatuh ke got?!" Fenny datang tergopoh-gopoh, tertawa sambil ikut membantu. "Kamu tuh emang bawa bala setiap kali acara kantor, tapi setidaknya kamu bawa hiburan gratis." "Saya bawa s
Alister duduk di kursinya, membuka halaman demi halaman laporan, tapi konsentrasinya teralih. Ia mengingat ucapan ayahnya. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu, Alister." Lalu ia mengingat lagi senyum ceroboh Harika, tumpahan kopi yang sudah tak terhitung, dan semua gumaman sok berani yang malah terdengar lucu. Dia menghela napas. "Justru karena dia tidak cocok untuk siapa pun, dia jadi cocok untukku." Sementara itu, di kafetaria kantor, Fenny menyenggol bahu Harika yang sedang menyeruput teh tarik. "Jadi kamu sekarang udah bikin dua orang pingsan karena jatuh cinta, satu bos, satu vas." Harika menunduk ke meja. "Tolong, jangan ingatkan aku soal vas itu." "Tapi kamu sadar nggak, akhir-akhir ini Pak Alister makin posesif? Kayak waktu kamu ngobrol sama Mas Januar kemarin, ekspresi dia kayak pengen makan Januar pakai garpu." Harika langsung menutup muka dengan gelas. "Jangan mulai. Jangan mulai. Jangan mulai." Fenny mengaduk minumannya dengan ekspresi jahil. "Harika, ini serius. Ak
Sore hari Harika sedang menuang air panas ke gelas dan seperti biasa terlalu penuh sampai air meluap."Panas! Panas! Aduh, duh, duh, duh!" jeritnya sambil loncat-loncat kecil.Januar yang kebetulan lewat langsung mengulurkan tisu. "Kamu butuh pengawas pribadi sepertinya."Harika tertawa malu-malu. "Atau pelatihan dasar menyeduh teh."Di sudut ruangan, Alister sedang berdiri sambil memeriksa ponselnya, tapi matanya jelas-jelas memperhatikan Harika. Ia melihat tawa Harika yang entah kenapa selalu terasa istimewa dan tawa itu bukan untuknya.Beberapa detik kemudian, ia langsung berjalan menghampiri mereka."Harika!" panggilnya tiba-tiba.Harika menoleh cepat, hampir menjatuhkan gelas. "Ya, Pak?""Mulai minggu depan, kamu ikut saya dalam semua pertemuan dengan investor. Termasuk konferensi pers dan kunjungan proyek di luar kota."Harika mengedip. "Eh? Tapi saya belum pernah....""Anggap ini bagian dari promosi informal. Saya ingin kamu belajar lebih banyak."Januar hanya tersenyum kecil,
Harika duduk di balik mejanya, berpura-pura sibuk membaca catatan rapat. Padahal isi kepalanya berkecamuk. Kata-kata Alister kemarin terus terulang. "Aku tidak suka melihatmu tertawa untuk orang lain terutama kalau bukan aku yang buat kamu tertawa." Harika mengerang pelan dan menampar pelan pipinya sendiri. "Fokus, Harika. Fokus. Jangan meleleh cuma karena cowok dengan rahang tajam dan suara bariton." Dari sudut lorong, Fenny sudah mendekat sambil membawa segelas matcha latte. Ia meletakkannya ke meja Harika. "Aku rasa kamu butuh ini sebelum kamu membakar otakmu sendiri." Harika menatapnya curiga. "Kamu nguping, ya?" Fenny pura-pura berpikir. "Nguping? Enggak kok, aku cuma pas lewat, pelan dan tiba-tiba suara Pak Alister nembus pintu kaca seperti soundtrack film romantis." Harika langsung menutup wajahnya dengan map. "Jangan bahas itu!" Fenny justru duduk dan menyenggol bahunya. "Jadi kamu beneran naksir bos kamu?" Harika mengangkat wajah, mendesah. "Aku nggak tahu, t
Suara Alister lembut, tapi tak terbantahkan.Mereka duduk di sofa yang menghadap jendela kaca besar, menampilkan cahaya kota Jakarta yang berkelip di kejauhan. Harika menyenderkan tubuhnya, tapi menjaga jarak profesional. Alister, di sisi lain, duduk dengan tangan bersilang di pangkuan, mata menatap kosong ke luar jendela."Tadi kamu terlihat sangat bersinar," katanya tiba-tiba.Harika menoleh cepat. "Maksudnya, Pak?""Di acara tadi. Kamu membuat semuanya terasa hidup, bahkan dengan semua kerepotan, kamu tetap memancarkan semangat." Ia menatapnya langsung. "Dan aku tidak bisa berhenti memperhatikanmu."Harika terdiam. Dadanya mulai berdetak lebih cepat, tapi ia memilih mengalihkan pandangan."Saya cuma menjalankan tugas, Pak."Alister tertawa pelan. "Harika, kamu tahu, kamu buruk sekali kalau sedang pura-pura tidak mengerti."Harika menunduk. "Saya tidak mengerti, Pak.""Dan kamu buruk sekali kalau sedang bohong."Suasana jadi hening. Hanya suara mesin pendingin ruangan dan lalu lint