"Pak Arka? Kenapa Bapak di sini?" tanya Dinara, terkejut melihat atasannya tiba-tiba muncul di dalam kamar hotelnya. Ia segera mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur dan menatap Arka was-was.
Malam ini ada acara jamuan yang diselenggarakan oleh partner bisnis Arka di sebuah hotel. Dinara tidak sengaja meminum alkohol sesaat lalu ketika Arka tengah sibuk mengobrol dengan koleganya.
Minuman itu membuat kepala Dinara pening dan tubuhnya terasa tidak nyaman, sehingga ia memutuskan kembali ke kamar yang sudah disewa Arka untuknya untuk beristirahat.
“Aku telah memberimu semua yang kupunya, tapi kamu masih menolak untuk berada di sisiku!” lantur pria yang tampak mabuk tersebut, mengabaikan pertanyaan Dinara.
“Bapak mabuk?”
“Sandra…” panggil Arka seperti orang yang benar-benar kehilangan kewarasannya.
Kening Dinara mengernyit. Sandra adalah kekasih Arka yang merupakan seorang model dan saat ini sedang berada di Jerman.
Dinara tersentak, ia langsung panik karena takut Arka mengira bahwa dirinya adalah Sandra. Sambil mendorong tubuh Arka yang hendak menimpanya, Dinara berkata, “Pak, sadarlah! Saya bukan Sandra, saya Dinara!”
"Sstttt!" Arka langsung membungkam mulut Dinara dengan tangannya sedang satu tangannya sibuk melucuti pakaiannya hingga tubuh indah atletisnya terpampang jelas.
Sepasang mata Dinara membelalak. “Pak Arka!”
“Bukankah akan lebih baik jika kamu menikah denganku? Kamu akan hidup dengan aman dan nyaman walau kamu tidak bekerja.”
Belum sempat menghindar, Arka dengan sigap langsung mengurung tubuh kecil Dinara di bawahnya dan mencium lehernya.
Dinara berteriak dan mendorong bosnya itu. Sayang, tenaganya terlalu lemah karena kepalanya benar-benar pusing. Sekuat apapun ia mendorong tubuh Arka, pria itu tak bergerak atau mundur sama sekali, justru semakin kuat menghisapnya.
Tubuh Dinara tersentak karena rasa sakit yang diberikan Arka di lehernya.
“Sadarlah, Pak Arka! Saya Dinara, sekretaris Anda. Saya bukan pacar Anda, saya bukan Sandra!” sentak Dinara, berusaha menghindari serangan dari bosnya yang sudah kehilangan akal sehat.
Alih-alih mendengar, Arka malah menahan kedua tangan Dinara yang terus memberontak dan menyumpal mulut Dinara dengan bibirnya, memberinya lumatan-lumatan lembut yang membuat kepala Dinara semakin pening.
Arka menyeringai saat perlawanan Dinara mulai melemah. Ia semakin bersemangat memberikan rangsangan yang membuat tubuh gadis itu jadi lebih relaks.
Di bawah kungkungan Arka, Dinara bergetar karena kulit polos mereka saling bersentuhan. Seumur hidupnya, ia tak pernah melakukan hal ini.
Gadis itu selalu menjaga dirinya dengan baik. Tetapi bosnya justru dengan tega menerobos paksa mahkota yang sudah ia jaga.
“Ahh!” Dinara menangis dan memekik kesakitan saat pria itu mencoba memaksa menerobos masuk. Rasa sakit, perih, dan nyeri langsung menyerbu di tengah kepalanya yang masih berdenyut pusing.
Dinara mencoba memberontak dengan mendorong dada Arka yang masih berada di atasnya itu, tetapi Arka tidak tampak terusik. Ia justru menyeringai setelah berhasil memasuki inti Dinara sepenuhnya.
“Pak Arka, hentikan!” pinta Dinara mulai menangis dengan kesakitan saat Arka mulai bergerak.
“Stttt, sebentar, Sayang.”
Akibat kabut gairah yang menerjangnya menyatu dengan efek panas alkohol, tubuh Arka mudah bereaksi. Terlebih lagi, tubuh molek Diana membangkitkan hasrat liar yang selama ini terpendam.
Arka tak mampu menahan diri. Di tengah permainannya, ia merunduk untuk mengecup lembut Dinara, lalu berbisik, “Aku bisa menghentikan rasa sakitnya jika kamu menurutiku.”
Dinara terdiam. Ia merasakan jemari hangat Arka menghapus air matanya. Dinara bisa menghirup aroma alkohol dan melihat tatapan tajam Arka yang memerah. Ia tahu bahwa tak akan bisa lari lagi.
Dinara benar-benar tak berdaya. Ditambah, dirinya sudah tidak suci lagi. Ia membiarkan Arka membawa tangannya dan mengalungkan ke lehernya.
Setelah merasakan dan memastikan Dinara mulai relaks, Arka kembali menggerakkan pinggulnya, mengentak Dinara.
Tidak ada lagi suara tangis. Yang ada hanyalah suara desahan yang saling berbalas mengiringi aktivitas mereka di sepanjang malam…
***
Keesokan paginya, Dinara membuka mata dan mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk lewat sela-sela gorden hotel.
Kepalanya masih terasa pusing dan tubuhnya terasa sangat sakit, terutama di area sensitifnya yang terasa sangat perih.
Dinara menoleh ke sampingnya, Arka tertidur di sampingnya.
Sejenak Dinara membeku mengingat apa yang terjadi padanya tadi malam. Dinara menutup mulutnya, menahan tangis. Tak lama, gadis itu segera turun dari ranjang dan mengambil pakaiannya, lalu berlari ke kamar mandi.
Dinara hancur, tidak akan ada pria yang mau menikahinya jika mereka mengetahui bahwa Dinara sudah tak suci lagi.
Dinara menangis seraya berpikir di bawah pancuran air shower.
“Apa yang harus aku lakukan? Pak Arka nggak mungkin menikahiku walau aku menuntutnya. Tapi, Papa dan Mama pasti akan marah jika tahu soal ini,” lirihnya.
Begitu tubuhnya sudah kedinginan, Dinara segera menyelesaikan acara mandinya dan memakai pakaiannya.
Ia harus segera pergi dari sini.
Gadis itu membuka pintu toilet perlahan dengan kepala menunduk, berharap Arka belum bangun dan tidak melihatnya. Namun, Dinara malah membeku saat telinganya dengan jelas mendengar suara Arka.
“Soal tadi malam, saya minta maaf,” ujar pria itu dengan nada datar.
Dinara menaikkan pandangan dan melihat Arka sudah berpakaian lengkap. Dinara melirik ranjang mereka yang berantakan dan terdapat noda di sprei putih itu.
“Saya akan memberimu uang jaminan jika kamu bersedia tutup mulut. Saya akan segera transfer uang 50 juta ke rekeningmu.”
Hati Dinara perih mendengarnya. Apakah harga dirinya bisa dibayarkan dengan uang? Dinara bukanlah wanita murahan!
Ia berjalan ke arah Arka, berniat mengatakan penolakannya. Tetapi Arka menatapnya tajam.
“Dinara, bagaimanapun, tadi malam yang terjadi di antara kita adalah ketidaksengajaan. Aku tak akan menikahimu.”
"Dinara? Ya, pasti ini." Raisa tersenyum puas merasa beruntung karena tiba-tiba Dinara mengirimkan pesan pada Hardiansyah. Raisa juga sangat yakin dengan nama Dinara di kontrak ponsel Hardiansyah. Sayangnya Raisa tidak bisa mengambil nomor ponsel Dinara karena Raisa tidak mengetahui password ponsel Hardiansyah.Isi pesan Dinara. "Hai, Har. Apa kabar? Rasanya Uda lama banget ya kita gak ngobrol bareng. Aku ada sedikit problem nih dan aku butuh banget kamu. Kira-kira kapan dan dimana ya kita bisa ketemuan?" Membaca itu, Raisa jadi memiliki ide untuk ikut dengan Hardiansyah saat Hardiansyah pergi nanti. Dengan begitu, Raisa bisa lebih dekat dengan Dinara dan Raisa juga sangat yakin, orang yang bisa membantunya adalah Dinara."Baiklah, aku harus mengenalnya dan dekat dengannya. Dengan begitu, aku akan punya alasan untuk keluar dan mendekatkan diri pada wanita itu." Raisa bermonolog seraya mengembalikan ponsel Hardiansyah.Tak lama, Hardiansyah pulang ke rumah dengan diantar oleh Sandra.
"Temui aku di kantor sekarang juga." Arka menghubungi Sandra dan memintanya segera datang."Oke." Singkat Sandra tersenyum seakan dia menang. Di kantor Arka, tepatnya di dalam ruangan Arka."Bagaimana, Sayang? Aku sudah datang," ujar Sandra mendekat ke arah Arka hendak menggodanya. Namum, bukannya tergoda oleh Sandra, Arka malah terlihat jijik dan menghindari sentuhannya."Duduk di sana." Pinta Arka menunjuk ke arah kursi yang ada di seberang mejanya.Sandra tidak menjawab dan hanya menuruti perintah Arka. Setelah Sandra mendudukkan bokongnya. Barulah obrolan berjalan."Baiklah, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Sandra memulai obrolan karena Arka tak kunjung memulai obrolan."Aku ingin kamu lakukan tes ulang, bukan di rumah sakit yang sama." Pinta Arka secara blak-blakan membuat Sandra sedikit terkejut namun Sandra masih tetap memaksa senyum."Ternyata kamu masih belum percaya aku ya. Bagaimana kalau aku menolak?" Sandra memastikan apa yang saat ini muncul di otaknya.Kalau b
Setelah mandi dan berpakaian, Raisa kembali mendudukkan bokongnya ke bibir ranjang dan menggulung rambutnya tanpa menggunakan apapun. Wangi khas yang semerbak dari Raisa tercium dalam oleh Hardiansyah.Aroma tubuh Raisa bercampur dengan aroma segar dari sabun yang Raisa gunakan selalu menjadi favorit Hardiansyah.Hardiansyah membuka matanya dan bergerak mendekati Raisa, memeluknya lalu menarik tubuh Raisa hingga tubuh Raisa ambruk di atasnya."Temani aku sebentar, Sayang. Tetap dalam posisi ini, ya." Pinta Hardiansyah memejamkan matanya lagi dan mengunci posisi Raisa yang ambruk di atasnya."Tapi aku sudah tidur tadi. Aku gak pengen tidur lagi," ujar Raisa merasa tidak nyaman dengan posisinya sebab tangan Hardiansyah terlalu erat memeluknya.Merasakan ketidaknyamanan Raisa, Hardiansyah segera menaruh tubuh Raisa ke sampingnya dan memeluknya erat."Sebentar saja," ujar Hardiansyah sedikit memelas dengan suara seksinya yang Raisa pun tidak mampu menolaknya selain hanya menghela nafas pa
Di apartemen Sandra."Bagaimana cara kamu melakukannya? Dan soal tadi, terimakasih ya, kamu menyelamatkan aku." Hardiansyah duduk santai di atas sofa memperhatikan Sandra yang baru saja selesai mandi dan bergerak ke sana-kemari tanpa busana.Sandra tersenyum licik. "Kamu mau tau bagaimana caranya?" Wanita jahat itu berjalan ke arah Hardiansyah dengan wajah menggoda kemudian duduk di pangkuan Hardiansyah sedang Hardiansyah hanya diam saja."Aku tidur dengan dokter itu. Aku menjadi selingkuhannya hahaha. Bagaimana menurutmu?" Sejenak Hardiansyah panas dan jijik, tapi Hardiansyah juga harus sadar diri dengan keadaan mereka semua dan status mereka."Apa menurutmu dia merasa puas olehmu? Kamu bisa?" Hardiansyah tampak meremehkan Sandra dari raut wajahnya."Tentu saja. Malah aku yang kurang puas. Aku hanya puas denganmu saja, Sayang. Bagaimana kalau kita," goda Sandra mengajak Hardiansyah."Aku lelah. Aku tadi baru main sama Raisa." Hardiansyah membalas balik melihat reaksi Sandra yang sek
Sesampainya di rumah setelah berdiaman di dalam mobil. Dengan wajah murung Raisa masuk ke dalam rumah lalu langsung masuk ke dalam kamar dengan membantingnya.Raisa tidak ingin Hardiansyah masuk ke dalam kamar, oleh sebab itu Raisa mengunci pintu kamar. "Aku harus cari sesuatu yang bisa membantuku mengetahui siapa aku." Pikir Raisa membongkar isi kamarnya sedang Hardiansyah mencoba membuka pintu dengan membujuk Raisa. Tapi Raisa tidak mendengarnya sama sekali."Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau begini terus, semuanya bisa berantakan." Pikir Hardiansyah menjambak rambutnya kesal."Untung aja Sandra datang di saat yang tepat. Setelah mengurus anak ini, aku akan segera menemui Sandra." Hardiansyah harus menyusun rencana ulang. "Baiklah, aku harus buat Raisa tidur dulu, aku akan kurung dia sebentar di rumah, lalu aku akan pergi menemui Sandra." Tidak ingin menggunakan cara kekerasan, Hardiansyah mencari kunci cadangan pintu kamarnya untuk membuka pintu. Hardiansyah punya beberapa, jad
"Aku seperti mengenal wanita itu. Aku merasa familiar dengannya," jawab Raisa jujur."Baiklah. Sekarang fokus sama kesehatan kamu dulu ya. Dokter dan perawat uda siap. Kamu juga bersiaplah," ujar Hardiansyah memberi arahan pada Raisa.Raisa menurut dan proses pemeriksaan segera berjalan. Hardiansyah diam berdiri memperhatikan Raisa di samping dokter yang memeriksanya menggunakan alat medis yang cukup canggih.Dari layar monitor, terlihat bentuk tengkorak kepala Raisa dan Hardiansyah yang tidak mengerti apapun hanya diam saja melihat dokter membuat catatan di bukunya sambil melihat monitor tersebut.Setelah beberapa saat, pemeriksaan selesai. Hardiansyah dan Raisa diminta menunggu di ruang tunggu sedang dokter membuat rincian dan menganalisa hasil pemeriksaan kepala Raisa."Sayang, aku pasti baik-baik aja kan?" Tanya Raisa pada Hardiansyah yang sejak tadi hanya diam saja memikirkan sesuatu."Aku berharap seperti itu, Sayang." Hardiansyah tersenyum memaksa. Waktu sudah menunjukkan puku
Drtttt... Drtttt ...Hardiansyah menyadari merasakan ponselnya bergetar dari bawah bantalnya, namun karena Hardiansyah sangat mengantuk akhirnya Hardiansyah memilih untuk mengabaikan ponselnya. Pasalnya Hardiansyah baru saja berhasil terlelap setelah mengalami beberapa drama singkat.Sedang di ujung dunia lain, Sandra terlihat sangat kesal karena panggilannya tidak dijawab oleh Hardiansyah."Kenapa dia tidak menjawab telepon ku? Biasanya dia selalu menjawab dengan cepat. Apa dia,-" Sandra mulai menduga-duga."Tidak, ini tidak bisa terjadi. Enak saja dia." Sandra mengomel seraya terus berusaha menghubungi Hardiansyah. Namun baru sekali deringan, panggilan Sandra ditolak. Membuatnya sakit hati dan bertambah kesal hingga Sandra melempar ponselnya ke atas lantai."Sialan!" Makinya tidak senang.Sedang di tempat lain, Hardiansyah merasa terganggu dengan getaran ponselnya yang juga membuat Raisa terbangun. Malas dengan drama mereka, Hardiansyah akhirnya menolak panggilan Sandra dan segera
"Iri denganku? Hah, apa yang bisa dia iri kan dari aku? Aku penyakitan gini, selalu nyusahin orang," jawab Raisa terkekeh mengasihani dirinya sendiri."Huss, Sayang.. Jangan ngomong gitu ah, aku gak suka. Kamu itu gak nyusahin aku kok." Dengan cepat Hardiansyah yang peka dengan perkataan Raisa memeluknya hangat membuat Raisa tersenyum menyeringai."Kalau gitu, aku boleh gak, minta kamu jangan terlalu dekat dengannya dan jangan sering bertemu dengannya? Jujur saja, aku cemburu." Raisa melancarkan rencananya dengan sangat baik."Aku tau, dia temanmu, mungkin kalian juga lebih dulu kenal dari kamu kenal aku. Tapi Sayang, aku kan wanita kamu." Sambungnya lagi sebelum Hardiansyah menjawab.Sedang Hardiansyah entah kenapa menjadi degdegan setelah perlakuan dan ucapan Raisa ini. Hardiansyah diam menatap Raisa seraya menelan ludah kasar. Hardiansyah sadar perasaannya kian berubah karena kehadiran Raisa. Tujuannya bisa goyah. Di sisi lain, Hardiansyah juga tidak bisa berhenti dari perjalanann
Setibanya di rumah sakit. Hardiansyah dengan cepat segera menggendong Raisa masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ruang UGD diikuti oleh para perawat yang siap siaga ketika melihat Hardiansyah."Bapak dan ibu harap tunggu di luar saja ya. Saya akan segera memanggil dokter." Perawatan tersebut meminta agar Hardiansyah dan Sandra keluar dari ruangan ketika Raisa sudah berada di atas ranjang.Hardiansyah dan Sandra menurut. Mereka segera keluar bersama dengan perawat yang akan pergi memanggil dokter tersebut. "Hufttt, menyusahkan saja. Kenapa sih gak dari dulu aja kita lenyap kan dia? Ini juga gara-gara kamu ya." Keluh Sandra pada Hardiansyah.Sedang Hardiansyah yang lelah juga khawatir pada Raisa memilih untuk diam dari pada harus menjawab Sandra yang selalu memarahinya. Apalagi saat ini wanita gila itu sedang mengandung anaknya.Tak lama, dokter datang bersama perawat yang memanggilnya. Hardiansyah hanya bisa berdoa kali ini agar Raisa baik-baik saja.Beberapa waktu kemudian, pintu ru